Entah,
apa salahnya dengan cinta yang hadir di dalam persahabatan. Aditra mampu
mengutarakannya. Baginya, tidak ada alasan yang membuatnya tidak jatuh cinta
pada Anye. Namun, bagi Anye, entah. Ia merasa awam dengan cinta yang hadir
diantara persahabatan. Aditra pun mampu menafsirkan perasaannya. Ini cinta,
bukan obsesi.
Terbukti
sudah bertahun-tahun mereka bersahabat. Entah sudah berapa ribuan hari mereka
jalani bersama. Berapa jutaan lelucon yang saling mereka lontarkan. Tak terhitung
Aditra mendengar tawa Anye. Dan tak terhitung pula Anye menangis di hadapan
Aditra. Ya, persahabatan ini memang nyata adanya.
“Gue
udah sampai rumah, Dit. Sorry, ya,
tadi ganggu malam-malam.” Anye memandangi foto dirinya bersama Aditra yang
terdapat di atas meja belajarnya. Seolah saat ini ia tidak sedang berbicara di
telfon, melainkan bertatap langsung dengan sahabatnya itu. Sahabat yang
mencintainya.
“Lo
gak perlu berfikir jika saat ini perasaan gue sedang tidak baik. So far im
okay. Really. Lo gak perlu mencemaskan apa-apa.”
Aditra
masih terdiam mendengar suara Anye di telfon. Kemana Anye yang biasanya? kemana
suara lantang Anye yang biasa ia dengar?
“Terimakasih
untuk cintanya. Tapi gue lebih nyaman dengan cinta lo sebagai seorang sahabat.”
“Gue
masih boleh nunggu lo, kan?” sahut Aditra cepat. Hatinya cemas. Ia tahu,
meskipun saat ini hati Anye sedang terluka, namun Anye masih tangguh berdiri
seorang diri. Sekalipun ia menawarkan pelukan untuknya. Entah, Anye takut
terluka atau memang benar tidak akan pernah ada cinta diantara mereka.
“Hei.
Lo ngomong apaan sih, Dit.” Tersengar suara Anye menguap. Jam memang telah
menunjukan pukul satu malam. Terlalu sepi jika malam ini hanya diisi dengan
suara mereka berdua. Keduanya memang sedang merasa sepi.
“Lo
harus tau, Nye. Gue gak akan kemana-mana. Gue akan selalu ada disini.”
“Makasi,
ya, Dit. Good night…”
“Night too…”
Aditra
berdoa dalam hatinya. Tuhan pasti saat ini mendengarnya. Tuhan mengetahui
kesepian hati masing-masing umatnya. Ya, semoga. Semoga saja.