Siapa bilang mencintai itu tidak membutuhkan
keberanian?
Awalnya aku hanya merasa jika apa yang
diucapkan Melly pada ku hanya sebagian dari ribuan kalimat sederhana yang
sering ia lontarkan, mengenai kisah asmaranya, hubungan percintaan antara dua
manusia di dunia, atau hanya sekedar perasaan spele yang mudah datang dan
pergi.
“Lo pikir mencintai pria yang sudah memiliki
istri itu tidak butuh keberanian? Hahaha.”
Ah, Melly memang nekat. Terang saja ku bilang
nekat. Apa lagi memang kata yang tepat kalau bukan nekat menyukai mantan teman
semasa kuliahnya yang tengah memiliki seorang istri. Melly bertemu dengan Andra
saat mereka tidak sengaja bertemu di sebuah mall setelah dua tahun tidak
bertemu. Semenjak pertemuan itu, Melly mengaku pada ku jika ia terlibat
hubungan emosional dengan pria yang baru saja lima bulan menikah.
“Dia itu sama istrinya dijodohin, Ra.”
“Ya, terus kenapa? Terus kalau hubungan
pernikahan mereka berdasarkan perjodohan, jadi lo merasa tidak berdosa gitu
masuk ke dalam hubungan mereka?”
“Bukan gue yang mau kali.”
Aku benar-benar tidak mengerti lagi. Aku juga
mengenal Andra karna kita berteman dari SMA. Sampai akhirnya aku melanjutkan
kuliah di tempat yang sama dengan Andra dan kemudian mempertemukan ku dengan
Melly. Dan semenjak itu aku menjadi teman baik Melly. Melly orang yang sangat
ceria. Orang yang sangat menikmati hidup. Dan yang paling aku suka darinya
adalah, ia sangat jujur pada perasaannya sendiri. Tapi bukan berarti aku
mendukung perasaannya pada Andra. Bagaimana pun juga, Andra juga teman ku. Aku
tidak mau Melly merusak hubungan rumah tangga yang baru berjalan lima bulan.
“Andra bilang apa?”
“Dia bilang kalau dia naksir gue dari
jaman-jaman kuliah.”
“Hah?”
“Hahahaha… lo tau kan kalau gue gak pernah
lama sama cowok. Dikit-dikit ganti pacar. Dan itu yang bikin dia takut buat
deketin gue.”
“Terus karna sekarang dia udah nikah, jadi dia
berani deketin lo, gitu?”
“Gue kok yang deketin dia.” Melly terdiam
sesaat seolah melambungi kenangannya yang sempat terlewati. “Waktu dia buat
pengakuan seperti itu, gue merasa ingin membalas perasaannya yang dulu. Tapi
siapa sangka gue pun sekarang mencintai dia.”
“Dan lo mau merebut Andra?”
“Ya, gak laaaahhh… yang namanya mencintai itu
kan berarti membebaskan. Dan seperti yang gue bilang….” Melly menoleh pada ku.
Mata kami bertemu. “Mencintai itu butuh keberanian. Termasuk keberanian untuk
menjadi patah hati. Dari awal gue tidak menganggap hal ini merupakan kesenangan
semata, kok. Gue tau yang gue lakukan itu butuh keberanian yang besar.
Keberanian untuk membebaskan perasaan gue. Membiarkan ia mencintai sampai puas.
Tidak mengekang dan juga menutupi. Setidaknya kalaupun rasa sakit itu akhirnya
datang, gue akan merasakan sakit yang memang sudah sewajarnya, bukan karena
perbuatan gue sendiri.”
“Maksudnya?”
“Masa lo gak paham, sih? Mencintai Andra itu
otomatis memang akhirnya akan patah hati. Tapi bukan sakit yang terjadi karna
kita dengan sengaja memendam perasaan itu.”
Tiba-tiba saja aku seolah dapat mengerti
ucapan Melly barusan. Dan entah mengapa aku seolah memberi izin pada Melly
untuk melakukan apa yang ia suka, yaa.. walaupun dengan atau tanpa izin ku, ia
memang tetap akan melakukannya.
Dan sore itu, aku merasa telah memahami apa
yang menurutku hanya sekedar kalimat sederhana. Ternyata benar adanya,
mencintai seseorang itu memang butuh keberanian. Termasuk keberanian
setelahnya.
Sayangnya… aku tidak pernah sebenari Melly.
Sainganku kini bertambah. Tanpa bersabarpun
aku sudah kalah. Selamanya aku akan tetap mencintai Andra, secara diam-diam.