JANJI YANG HARUS DITEPATI
"Mira, aku harus pergi sebelum ibumu datang."
"Jangan tinggalin aku, Mas!"
"Besok aku akan datang lagi. Aku janji."
"Nggak, Mas. Kamu nggak boleh pergi meninggalkan aku!"
Suara langkah terdengar jelas mengarah ke pintu kamar Mira. Mira dan Gama saling berpandangan. Mira menangis. Ia perpegangan erat pada lengan Gama. Ia berharap pria yang dicintainya itu akan segera membawanya pergi.
"Aku sudah berjanji akan selalu bersamamu, Mas. Kemana pun kau berada!"
"Maaf, Mira! Tapi ibumu membawa seseorang yang sangat kuat. Orang yang dapat memisahkan kita untuk selamanya."
"Mas...." Gama melepas paksa genggaman tangan Mira. Beruntung ia berhasil melepaskannya saat pintu kamar Mira terbuka. Ana muncul bersama seorang Pak Tua yang berwajah sangar. Ia memakai kalung batu dan juga cincin besar. Jenggotnya yang panjang menamba kesangaran wajahnya.
"HEI! PERGI KAU DARI KAMAR MIRA!!!" Teriaknya lantang.
"MAS GAMAAAA.....!!! JANGAN TINGGALIN AKUUUUU.....!!!"
"Lepasin, nak! Relakan, suamimu. Dia sudah meninggal!!!"
Ana memeluk anak gadisnya yang tampak lusuh. Ia tidak tahan lagi melihat kondisi Mira yang semakin hari semakin tak menentu. Apalagi harus mendengar Mira yang selalu berteriak tiap malam memanggil nama mendiang suaminya yang meninggal hampir setengah tahun lalu.
"Tapi aku mau ikut Mas Gama, Bu," Mira terisak sembari berusaha melepaskan pelukan ibunya. "Lepasin Mira, Bu. Kasihan Mas Gama menunggu Mira setiap malam."
"Sadar, sayang! Nggak ada Mas Gama. Mas Gama sudah nggak ada!"
"Mas Gamaaaa!!! Jangan tinggalin Miraaaaa, Mas!!!" Mira berteriak ke arah sudut ruangan. Matanya seolah menangkap sesosok yang hendak meninggalkannya. Ana mencari sumber tatapan Ana. Dilihatnya hanya ada lemari tua berdiri tegak di sudut ruangan. Ia tidak melihat siapa-siapa.
Sementara si Pak Tua terus membacakan mantra sembari menyiprat-nyipratkan air dari dalam kendi kecil yang dibawanya. Matanya mendelik ke seluruh ruangan.
"Hey, kau! Pergi!!! Jangan ganggu penghuni rumah ini lagi! Alammu sudah berbeda! Pergilah kau!"
Teriakan Mira semakin keras. Ia seperti orang kesurupan. Ana terus menangis sambil memeluk Mira. Ia berharap anaknya dapat sembuh dari halusinasinya. Pak Tua beralih pada Mira. Sambil membacakan mantra, ia memegangi kepala Mira. Tak lama Mira pun tak sadarkan diri. Ana berkali-kali mengucap syukur. Akirnya Mira dapat ditenangkan.
"Hantu pria itu sudah pergi." sahut Pak Tua dengan nada perlahan.
"Syukurlah..." Ana bernafas lega sembari mengusap kepala Mira yang terkulai lemas.
***
"Saya pamit dulu, Bu Anna."
"Terima kasih banyak, Pak."
Pak Tua pun pergi meninggalkan rumah Ana. Jam menunjukan hampir pukul 3 pagi. Ana berharap ia masih dapat beristirahat sebelum matahari muncul dari peraduannya.
Sungguh malang nasib Mira. Baru menikah selama satu minggu, ia sudah ditinggal suaminya untuk selama-lamanya. Gamma meninggal akibat ditusuk di bagian perut oleh preman yang ditemuinya saat pulang ke rumah. Semenjak itu, Mira selalu berhalusinasi melihat sosok Gama setiap malam. Bahkan ia sering berteriak meminta Gama untuk membawanya pergi.
"Ibu...,"
Ana menoleh. Dilihatnya Mira berdiri di pintu kamarnya. Matanya berkaca-kaca. Ia tampak lemah dan hampir rapuh. "Bu...," panggilnya sekali lagi.
Buru-buru Mira langsung menghampiri Ana dan memeluknya.
"Miraaa! Ini kamu, nak? Kamu sudah sadar, nak?"
"Apa yang terjadi, Bu....?"
"Sudah, nak. Tidak ada apa-apa." Mira tak dapat membendung air matanya. Ia lega karna Mira yang ada di dalam pelukannya benar-benar Mira anaknya.
"Ibu senang akhirnya ka......." Ana terdiam. Dilepasnya pelukan Ana. Perlahan ia melihat ke arah perutnya. Sebuah pisau tertancap sempurna di perutnya. Darah segar mengalir dengan derasnya. Ana kehabisan kata-kata. Tubuhnya tak lagi mampu menopangnya untuk berdiri tegap. Ia terkulai lemas. Di sisa-sisa napasnya, ia mendengar Mira tertawa lantang. Menertawai kebodohannya.
"Maaf, Bu. Aku tidak mau ibu menghalangiku lagi. Aku sudah berjanji pada Mas Gama akan selalu bersamanya. Hahahahaha....."
"Mi......., Mira........"