Senja Terakhirnya
Awan putih tampak
menggantung di atas langit jingga. Menari-nari indah memenuhi senja. Aku menatap
haru seraya mengikuti gerak bianglala yang berdiri tegak menatap angkasa. Sejam
yang lalu, aku masih berada di putarannya. Bersama kekasih yang paling ku
cinta.
“Mengapa kau
membawa ku ke sini?” matanya menatap penuh tanya.
“Tak, apa.” Jawabku
sembari diikuti senyum tipis. Sesekali angin meniup halus rambutku. “Aku hanya
ingin tahu, seberapa besar cintamu pada ku?”
“Apa maksudmu? Kamu
masih meragukan aku?”
“Tidak juga, sih. Kecuali
kalau...,”
Dia menatap
bingung. Semakin tak sabar dengan lanjutan kalimatku. “Kecuali apa?”
“Kecuali kalau kamu
mau lompat dari atas sini.”
“Kau gila!”
teriaknya tak percaya.
“Itu pun kalau kau
lebih mencintai dia. Karena tadi malam, baru saja ku dorong dia dari atas
gedung apartemennya.”
“Ka...,
kamu......?!” dia semakin ketakutan. Dan aku semakin kegirangan. Posisi ku
tepat berada di atas. Ku buka pengait pintu bianglalaku, dan ku dorong ia
dengan cepat. Dapat ku lihat wajahnya yang ketakutan bersama teriakannya dan
suara gaduh orang di bawah sana.
“Apa yang terjadi?”
suara seorang pengunjung membuyarkan lamunanku.
Segera ku memasang
wajah sendu. “Dia memaksa mengajakku menikah, tetapi aku tak mau. Lalu ia
mengancam loncat dari atas. Aku sudah mencegahnya, tetapi ia nekat, dan
tenaganya lebih kuat. Lalu... lalu....” aku terisak. Senangnya orang itu
terlihat iba dengan ku. Sama seperti para petugas kepolisian yang sempat
menanyaiku keterangan. Mereka membebaskanku. Mayatnya pun sudah dibawa pergi.
Seputar bianglala
pun sudah dibersihkan dan ditutup sementara. Namun aku masih diam menatapi
bianglala yang berputar di langit senja. Aku tersenyum kecil. Siapa suruh
berselingkuh dengan sahabatku sendiri. Karena ku sayang kalian, maka ku
persatukan kalian. Di bawah bianglala ini, ku kenang saat-saat terakhir
bersamamu.
No comments:
Post a Comment