I have so many thought inside me that I want to say but I'm not sure how to say them, so I just keep them bottled inside but one day they're all going to spill out and I'm scared of how that's going to turn out...
Damn, I miss u so much :(
Good Morning, Univers!
i dont know if i've ever felt like that :)
Thursday, December 26, 2013
Monday, December 2, 2013
Hanya Sebuah Ingatan Sederhana
Sepertinya…
untuk sebagian orang, kejadian-kejadian yang pernah terjadi di dalam hidupnya
tidak akan menjadi sebuah ingatan yang berarti.
Tetapi…
bagi sebagian orang lain, hal itu bisa saja menjadi kenangan yang sangat
berharga.
Termasuk
dia.. yang menjadikan ingatan sederhana tentang pertemuannya dengan seseorang,
menjadi sebuah kenangan yang berharga.
Tidak
perduli, bagi seseorang itu, pertemuan dengannya hanya menjadi kenangan yang
sederhana pula.
Berkali-kali
ia mendengar sebuah mitos sederhana akan mimpi…
Yang
katanya, jika seseorang hadir dalam mimpi, itu tandanya orang tersebut tengah
merindukan kita.
Yang
menjadi pertanyaan dia adalah…
Berapa
kali orang itu pernah memimpikannya karna setiap malam ia selalu merindukan
orang itu.
Namun
kemudian dirinya sendirilah yang tidak mempercayai mitos tersebut.
Karna
apa…
Karna
hampir setiap malam ia memimpikan orang tersebut,
Dan
tak mungkin pula orang itu merindukannya.
Hati
paling tahu mana yang akan membuat tuannya bahagia, sekalipun logika memiliki
banyak pilihan terbaik.
Andai
saja ia dapat kembali dalam ingatan sederhananya itu J
Waktu Hujan Tiba
Hujan
selalu mengantarkan kamu pada satu kenangan.
Dan
itu pasti.
Bagaimana
cara mu menikmati hujan…
Aku
tidak menyadari jika kebiasaan mu menikmati hujan,
Kini
kian berganti.
Mendewasakah
yang biasanya kamu selalu berlari pada hujan,
dan
kini kamu hanya menikmatinya termenung
dengan
secangkir kopi…
Aku
tahu kamu tidak menginginkannya kembali,
tetapi
kamu merindukannya.
Dan…
kemudian jiwa mu terasa begitu sepi.
Terkadang
lamunan mu pada hujan mengingatkan mu
akan
satu kesadaran…
Rupanya,
kamu sudah sebesar ini :)
Thursday, November 28, 2013
Curhat Buat Sahabat by DEE
Sahabat ku, usai tawa ini
Izinkan aku bercerita :
Telah jauh ku mendaki
Sesak udara di atas puncak khayalan
Jangan sampai kau di sana
Telah jauh ku terjatuh
Pedihnya luka di dasar jurang kecewa
Dan kini sampailah, aku disini...
Yang cuma ingin diam duduk di tempat ku
Menanti seorang yang biasa saja
Segelas air di tangannya, kala ku terbaring...sakit
Yang sudi dekat, mendekap tangan ku
Mencari teduhnya dalam mataku
Dan berbisik, "Pandang aku, kau tak sendiri..."
Dan demi Tuhan, hanya itulah yang
Itu saja yang kuinginkan
Telah lama ku menanti
Satu malam sunyi untuk kuakhiri
Dan usai tangis ini, aku kan berjanji...
Untuk diam, duduk di tempat ku
Menanti seorang yang biasa saja
Segelas air di tangannya, kala ku terbaring.... sakit
Menentang malam, tanpa bimbang lagi
Demi satu dewi yang lelah bermimpi
Dan berbisik, "Selamat tidur, tak perlu bermimpi bersama ku..."
Wahai Tuhan, jangan bilang lagi itu terlalu tinggi... :)
this is for u al !
Izinkan aku bercerita :
Telah jauh ku mendaki
Sesak udara di atas puncak khayalan
Jangan sampai kau di sana
Telah jauh ku terjatuh
Pedihnya luka di dasar jurang kecewa
Dan kini sampailah, aku disini...
Yang cuma ingin diam duduk di tempat ku
Menanti seorang yang biasa saja
Segelas air di tangannya, kala ku terbaring...sakit
Yang sudi dekat, mendekap tangan ku
Mencari teduhnya dalam mataku
Dan berbisik, "Pandang aku, kau tak sendiri..."
Dan demi Tuhan, hanya itulah yang
Itu saja yang kuinginkan
Telah lama ku menanti
Satu malam sunyi untuk kuakhiri
Dan usai tangis ini, aku kan berjanji...
Untuk diam, duduk di tempat ku
Menanti seorang yang biasa saja
Segelas air di tangannya, kala ku terbaring.... sakit
Menentang malam, tanpa bimbang lagi
Demi satu dewi yang lelah bermimpi
Dan berbisik, "Selamat tidur, tak perlu bermimpi bersama ku..."
Wahai Tuhan, jangan bilang lagi itu terlalu tinggi... :)
this is for u al !
ANDRA
Part of Broken Butterfly by Alaine Any
Andra Ramantra. Siapa yang tidak kenal
dengan remaja 19 tahun yang memiliki segudang teman di kampusnya? Andra yang
tampan. Andra yang memiliki banyak kelebihan materi. Andra yang digilai banyak
wanita. Andra yang bisa berganti wanita sesuai dengan keinginannya. Andra yang
bisa menjalin hubungan dengan wanita manapun tanpa takut merasa patah hati.
Hanya saja, satu yang tidak pernah orang-orang tahu, bahwa ia adalah Andra yang
kesepian. Lucu memang ketika seseorang tertawa paling keras di tengah
keramaian, namun ternyata justru merasakan kesepian yang begitu menyayat hati
terdalamnya. Dari sekian banyak wanita yang hadir ke dalam hidupnya, tak pernah
sekalipun ia membiarkan wanita itu menyentuh lebih jauh ke dalam relung
hatinya. Lagipula, Andra sadar, wanita itu mendekatinya bukan sebatas tulusnya
perasaan, hanya berdasarkan rasa nafsu dan materi. Terbukti jika Andra tidak
mau benar-benar berhubungan dengan wanita yang memang mencintainya.
“Ndra…
kalau ada apa-apa, cerita aja ya, sama aku. Ya, walaupun sekarang kamu
ngejauhin aku, tapi aku gak dendam sama kamu, aku akan selalu jadi teman
terbaik buat kamu…” Andra tersenyum kecut sambil mematikan ponselnya. Voice note dari Kemmy ia dengar dalam
perjalanan pulang ke rumah. Kemmy yang cantik, Kemmy yang malang. Andra
meninggalkan Kemmy setelah ia tahu jika wanita berhati baik itu memberikan
perasaan lebih padanya. Ia tidak mau tenggelam dalam kebaikan dan tulusnya
perasaan Kemmy. Andra tidak ingin jatuh cinta dan terbelenggu dalam rasa patah
hati. Ya… Andra takut patah hati. Sama seperti Tasya. Hari ini ia memutuskan
hubungannya dengan Tasya ketika ia tahu jika Tasya mulai memiliki perasaan
lebih dapanya. Hanya saja, Tasya tak setegar Kemmy.
Sambil mengemudikan mobilnya, satu
tangan Andra mulai mencari-cari sebuah nama di dalam ponselnya. Ia menekan
tombol dial setelah menemukan nama yang dicarinya. “Halo Fiola… hah? Tumben?
Perasaan kamu aja kali. Hahaha… enak aja, kamu tuh yang sombong. Hmm… iya iya.
Nih aku lagi di daerah rumah kamu. Oh… gak. Gak sibuk. Ya udah aku ke tempat
kamu sekarang, ya…” Andra mematikan kembali ponselnya. Seperti itulah dirinya
yang sebenarnya. Ia selalu menggunakan wanita-wanita itu jika perasaannya
sedang kalut.
Tak lama ponselnya kembali berbunyi.
Tanpa melihat siapa penelfonnya, Andra pun langsung menerimanya, “Apalagi sih,
sayang?”
“Heh!” teriak penelfon di sebrang sana.
Andra sedikit terkejut. Sepintas ia melihat ke layar ponsel dan tertawa geli
setelah ia tahu jika Stanza lah yang menelfonnya. “Hahahaha. Iyaaaaa, Stanza
sayang maksud gue? Ada apa, toh?
Belum ada sejam pisah sama gue, lo udah nelfon gue. Pasti lo gak puas kan
seharian ketemu sama gue…”
“Berisik
lo! Lo dimanaaaaaa?”
“Tuh, kan? Dari nada suara lo aja,
kayaknya lo pengen tau banget gue ada dimana.”
“Andra, gua serius…”
“Iya, iya, gue lagi di jalan mau ke
rumahnya Fiola. Kenapa? Mau ikut? Jangan, ya. Gue gak biasa threesome. Hahahahaha.”
“Oh.” Tiba-tiba saja sambungan telfon
terputus. Yah, dia ngambek. Andra
tertawa geli. Ia sudah biasa meladeni sifat Stanza yang seperti itu. Stanza
memang selalu seperti itu. Sering menelfoni teman-temannya, hanya sekedar
bertanya lagi apa, dimana, bersama siapa, lalu mematikan sambungan telfon
seenaknya saja. Entahlah, mungkin Stanza hanya iseng menelfon dirinya, pikir
Andra lagi. Buru-buru ia membelokan stirnya memasuki kawasan Pondok Indah.
Sudah ia putuskan, malam ini, ia akan bermalam di rumah Fiola.
Andra lupa kapan ia menjalin hubungan
dengan gadis kelahiran Sunda Jerman itu. Yang ia ingat, ia tidak lama
berpacaran dengan Fiola, dan saat itu Fiola sendiri juga sudah memiliki
kekasih. Namun setelah kekasih Fiola kembali ke Indonesia, mereka pun sepakat
mengakhiri hubungan mereka. Dan, apakah Andra merasa kehilangan? Tentu tidak.
Baginya, selama bersama Fiola, Fiola hanya teman tidur dan berbagi
kesenangannya saja. Fiola hanya tertarik dengan ketampanan dan hubungan seks,
tidak lebih. Lagipula, Andra bisa mendatangi Helen, Sisca, Dara, Julia, dan
sederet nama teman wanita lainnya.
“Halo… iya sayang. Udah, kok, udah. Nih
udah mau tidur…” samar-samar suara Fiola terdengar di telinga Andra. Entah
sudah berapa lama ia berada di kamar Fiola. Yang pasti, sesampainya ia di rumah
besar wanita ini, Fiola langsung menganjak Andra ke kamarnya dan melakukan
sesuatu yang memang seolah menjadi keharusan bagi mereka bila bertemu. Andra
berada di atas tempat tidur. Ia memiringkan badannya membelakangi Fiola.
Memandangi pakaian mereka yang tersebar di lantai. Entah, bagaimana prosesnya
baju itu bisa berserakan dilantai. Andra sendiri merasa jika pikirannya pun
entah berada dimana.
“Udah, udah aku kunci semua. Mami sama
Papi masih di Boston. Makanya kamu cepat balik ke Jakarta…” Fiola sedang asik
menelfon kekasihnya di sudut ruangan. Tubuh mulusnya hanya ditutupi oleh
selembar selimut. Sesekali tawa centilnya menggelitik di telinga Andra. Ia sama
sekali tidak cemburu. Hanya saja, ia mulai merasa bosan berada di kamar ini.
Andra turun dari tempat tidurnya dan mulai memakai pakaiannya. Mata Fiola terus
memperhatikan gerak-gerik Andra sambil terus menelfon. “Sayang, sebentar, ya.
Aku pengen pipis, nih. Nanti aku telfon balik.”
Buru-buru Fiola mendekati Andra. Seolah
tidak rela harus melihat kepergian Andra malam ini.
“Kamu mau kemana, sih?”
Andra tersenyum manis. Senyum yang
mampu menyembunyikan seluruh kegundahan dalam hatinya. “Kamu marah, ya, aku
cuekin?” Fiola memeluk Andra manja. Satu tangannya tetap memegangi selumut yang
sedang membungkus tubuhnya.
“Aku harus pergi, nih. Stanza bbm aku. Dia bilang lagi butuh bantuan
aku.” Fiola langsung melepaskan pelukannya. Andra mengecup kening Fiola. “Kapan
aja kan aku bisa ke tempat kamu.” Fiola mengangguk mengiyakan. “Aku pergi dulu,
ya.” Dalam sekejap Andra pun segera meninggalkan rumah Fiola. Saat keluar dari
kamar pun, samar-samar Andra mendengar suara Fiola yang kembali menelfon
kekasihnya. Kemudian Andra langsung menuju rumahnya. Stanza tidak benar-benar
meminta bantuannya. Ia hanya beralasan pada Fiola.
Ada apa dengan, Andra? Mengapa Andra
seperti ini? Terlihat sepi. Terlihat kosong. Terlihat hampa. Padahal usianya
masih terbilang muda, tetapi Andra sudah terjebak dalam pergaulan yang teramat
bebas, tanpa larangan. Andra pernah berfikir, jika memang benar setiap harinya
Tuhan selalu menjatahkan satu kotak tertawa pada manusia, rasanya ia hanya bisa
membuka kotak tertawanya bila sedang bersama teman-temannya.
Harusnya tidak seperti ini. Tidak jika
Bella masih ada di sisinya. Empat tahun yang lalu, saat ia masih duduk di kelas
satu SMA. Ia bertemu dengan perempuan tercantik dalam hidupnya. Kakak kelasnya
yang berusia dua tahun lebih tua darinya, Bella. Mereka berpacaran. Bagi Andra,
Bella lah pengganti sosok ibunya yang telah lama meninggal. Bella yang baik
hati. Bella yang sederhana. Andra tidak perduli jika Bella hanya seorang anak
penjual sayur di Pasar. Tak perduli dengan cibiran teman-temannya. Baginya,
Bella lah yang terbaik.
Karna faktor ekonomi, Bella tidak melanjutkan
kejenjang yang lebih tinggi. Ia hanya tercatat sebagai lulusan SMA. Dan mereka
masih menjalin hubungan selama kurang lebih satu tahun. Tapi sayang, cinta
memang tetap menjadi cinta, namun materi tetaplah menomor satukan harga diri
bagi orang-orang yang mementingkan kenikmatan hidup. Bella menerima lamaran
seorang duda kaya yang tertarik padanya. Dengan menikahi duda tersebut, derajat
keluarga Bella akan segera terangkat. Orang tuanya pun tak perlu berjualan lagi
di pasar. Bahkan pria itu pun berniat memboyong Bella untuk menikah di Belanda.
“Kamu…
mau nikah?”
“Iya,
Ndra. Maafin aku. Harus ada yang bisa aku lakukan untuk membahagiakan orang tua
aku. Kami ini keluarga miskin. Kami butuh uang untuk mencukupi hidup kami. Kami
juga capek jadi orang kesusahan terus.”
“Bella,
aku yakin kamu bukan orang seperti itu. Kalau soal uang, aku bisa bantu. Kamu
gak perlu nikah sama orang yang gak kamu cintai. Ada aku disini.”
“Apa
yang bisa aku harapkan dari anak sekolah seperti kamu? Uang aja aku yakin kamu
masih minta sama orang tua kamu. Dan soal cinta? Aku yakin, cinta itu akan
datang dengan sendirinya. Dan mulai sekarang, jangan pernah ingat-ingat aku
lagi…”
Untuk pertama kalinya, Andra tahu bagaimana
rasanya patah hati. Dan, apakah karna itu Andra mati rasa? Bukan. Bukan karna
Bella pergi meninggalkannya. Ia masih berusaha untuk bangkit. Ia masih mencoba
berdiri dengan sisa-sisa kepingan hatinya yang sudah tak terbentuk. Namun,
kenyataan pahit lainnya harus ia dapatkan. Pria yang dinikahi Bella adalah…
Papahnya.
Hubungan Andra dengan Papahnya pun tak
terlalu dekat. Sang Ayah sendiri berpendapat jika Andra hanya membutuhkan
uangnya saja, tak lebih. Dan Andra akui, ia memang hanya membutuhkan uang si
tua bangka ini. Papahnya hanya manusia biasa. Mamahnya meninggal dalam
kecelakaan pesawat saat ia berusia 10 tahun. Tentu Papahnya membutuhkan
pendamping baru untuknya. Ya… walaupun yang ia nikahi sama sekali tidak
memiliki sosok keibuan. Papahnya menikahi Bella untuk teman hidupnya, bukan
mencarikan Ibu baru untuk Andra.
Apa Andra dendam dengan Papahnya karna
telah menikahi Bella? Jawabannya tidak. Andra tahu, Papahnya tidak pernah tahu
jika Bella adalah kekasihnya, namun Andra yakin, Bella sangat tahu jika yang ia
nikahi adalah Ayah kandung dari kekasihnya. Andra tidak akan pernah bisa
membunuh perasaannya sendiri meskipun saat ini ia sangat membenci Bella.
Kenangan yang ditorehkan terlalu dalam. Andra menyimpan baik-baik kenangan
manisnya bersama Bella. Namun, wanita yang kini bersama Ayahnya, tak lain ia
sebut sebagai jalang.
Jam menunjukan pukul dua malam saat ia
masuk ke dalam rumahnya. Ia sempat melihat mobil Papahnya di depan rumah. Dan
itu tandanya, di dalam rumah ini ada Bella. Sambil menahan kantuk, Andra
melangkahkan kakinya ke dalam rumah. Lampu-lampu meja hanya menjadi penerang
kala itu. Tak mau berpapasan dengan siapapun di dalam rumah, Andra langsung
berlari menaiki anak tangga menuju lantai dua, kamarnya. Ia melempar jaketnya
saat melewati sofa. Wangi Fiola yang begitu menyengat rupanya menempel pada jaket
yang dipakainya, dan itu sedikit membuatnya merasa mual. Entah mengapa jika
berjauhan dengan wanita-wanita itu, perut Andra selalu merasa mual. Mual
mengingat perbuatannya sendiri.
Andra menutup pintu keras-keras. Saat
ia menyalakan lampu kamar, betapa terkejutnya ia ketika ada seseorang yang
langsung memeluknya dari belakang. “Aaaargghhh…” Andra berusaha melepaskan
pelukannya itu. Dan dilihatnya sosok Bella yang menatap nakal padanya. Bella
pasti menunggunya pulang. Menyebalkan, pikir Andra dalam hati. Bella memakai
baju tidur yang sangat seksi. Warna lipsticknya merah merona. Rambutnya
berwarna coklat terang. Benar-benar sosok wanita penggoda. Lagi-lagi Andra
ingin mual melihat Bella yang seperti itu. Beda sekali dengan Bella yang
pertama ia kenal. Dulu Bella berambut hitam dan… sepertinya, memakai bedak pun
tak pernah. Oh, tapi lihatlah Bella yang sekarang.
“Kamu kemana, sih, Ndra? Aku nungguin
kamu udah dari tadi. Papah kamu udah tidur di kamarnya. aku sengaja datang ke
kamar kamu, karna aku pengen tidur sama kamu.” Andra sontak menyingkirkan wajah
Bella yang hendak menyiumnya. Bella sangat bernafsu kala itu.
“Apa sih, Bel!” bentak Andra setengah
berbisik. “Lo udah gila, ya? Keluar lo dari kamar gue sekarang juga.”
“Udah, lah, Ndra. Emang aku gak tau?
Kamu masih cinta kan sama aku?”
“Gak! Bagi gue, lo tuh udah lama mati.
Kan lo sendiri yang bilang kalau kita harus menjalankan hidup kita
masing-masing.”
“Oh, ya?” Bella tertawa sinis. “Lalu
ngapain kamu manggil-manggil nama aku sewaktu kamu tertidur?” Andra terdiam.
Benarkah ia memanggil nama Bella saat sedang tertidur. Seperti itukah dirinya
setiap malam? Tersiksa dalam mimpi dan memanggil-manggil nama Bella? Memalukan!
Lagi-lagi Bella berusaha merengkuh
wajah Andra dan berusaha untuk menciumnya. Bibirnya hampir saja bersentuhan
dengan bibir Bella. “Ndra, plis. Jangan tolak aku lagi. Aku kangen sama kamu,
Ndra. Kamu tau kan alasan aku nikah sama Papah kamu itu hanya karna materi. Aku
cintanya sama kamu, Ndra.” Andra kesal. Ia merasa jijik. Sangat jijik.
Buru-buru dilepaskannya cengkraman Bella. “Lepasin gue!” teriak Andra dengan
suara keras. Ditariknya tangan Bella dan membawanya keluar dari kamarnya. Bella
menahan diri. Namun Andra berhasil membawanya keluar kamar.
“Jangan pernah sentuh gue lagi!”
Bella langsung memeluk Andra dengan
kuat. Dan Andra pun langsung mendorong tubuh Bella dengan kuat. Namun hal yang
tidak diinginkan pun terjadi, Papah Andra yang terbangun, rupanya tengah berjalan
ke lantai atas dan kini memergoki mereka berdua. Dan saat itu Andra tengah
memegangi kedua lengan Bella.
“Andra! Bella!” teriaknya keras.
Rambutnya sudah hampir memutih keseluruhan. Dahinya berkerut. Tubuhnya tinggi
besar. Dan kini matanya terlihat tajam memandang keduanya. Andra langsung
melepaskan pegangannya. Bella menangis dan berlari ke pelukan suaminya.
“Lihat, apa yang dilakukan anak mu! Dia
kembali mencoba merayuku, sayang. Aku sedang menonton televisi di ruang ini, ia
datang dan kemudian merayuku.” Suara Bella terdengar parau. Rupanya, selain menjadi jalang, Bella
berbakat menjadi seorang aktris, batin Andra dalam hati. Dan entah apa yang
dikatakan Bella lagi kepada Papahnya. Membela diripun tak ada gunanya. Papahnya
akan selalu mendengarkan perkataan istri mudanya itu. Dan seperti sudah tahu
apa yang akan terjadi selanjutnya, Andra pun tetap diam di tempat. Menanti sang
Ayah mendekatinya.
“Anak kurang ajar!” sebuah bogem mentah
langsung melayang ke pipi Andra. Hatinya menangis. Sakit sekali. Berkali-kali
Papahnya memukuli dirinya. Dari sudut matanya, Andra melihat Bella yang
tersenyum sinis padanya. Kemudian perlahan menuruni anak tangga. “Sudah ku
bilang, jangan pernah berani mengganggu Bella!” Andra tersungkur. Hidungnya
mengeluarkan darah. Rahangnya terasa sakit. Tak lama badannya terasa begitu
lemas. Papahnya menghentikan pukulannya setelah ia merasa hukuman yang
diberikan cukup. “Besok aku dan Bella akan kembali ke Belanda.” Ucapnya kesal
dan kemudian pergi meninggalkan Andra.
Dadanya terasa sesak. Nafasnya
tersengal-sengal. Ia menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya. Ini bukan pertama
kalinya Papahnya memukulinya seperti ini. Baginya, ini seperti sebuah hukuman
karna ia tidak pernah mau menuruti permintaan Bella. Bella yang licik. Bella
yang selalu berada di belakang Papahnya. Mengatakan kebohongan. Melampiaskan
amarah karna keinginannya tak tercapai. Dan ini lah yang sebenarnya terjadi. Ia
selalu berkata pada teman-temannya jika luka memar yang ia dapat karna dihajar
oleh kekasih wanita-wanitanya itu hanya bohong belaka. Papahnya lah yang
menorehkan luka ini. Dan luka terdalamnya, Bella yang mengkaryakannya. Bella
ibarat seniman sejati. Ukuran yang ia buat di dalam hati Andra akan tetap
abadi.
“Stan…”
“Apa?”
Andra mencoba menghubungi Stanza dengan
telfon genggamnya. Ia harus bicara dengan seseorang. Harus. Bukan untuk
mengadukan apa yang telah terjadi. Ia hanya ingin berbicara dengan seseorang,
itu saja.
“Sori ya, gue nelfon jam segini.”
“Iya, lagian gue masih di jalan, kok.”
“Lagi dimana?”
“Dimana-mana hati ku senang…”
“Yeee… nyebelin. Ternyata begini, ya,
rasanya jadi lo kalau lagi mau ngomong malah dibecandain.”
“Ciyeee, kepikiran gue, ya?”
“Udah deh jangan bercanda dulu, lagi
gak bisa bercanda nih, sakit mulut gue.”
“Hahahaha… makanya, jangan kebanyakan
ciuman.”
“Iya. Dicium sama pacarnya Fiola.”
“What????
Lo threesome sama cowoknya Fiola? Eh,
gilaaaaaa, lo Ndra. Hahahahaha. Sumpah, gue ketawa beneran, gak bohooooong.”
“Lo gilaaaaaaaa.”
“Hahaha. Udah, deh Ndra…” Suara Stanza
mulai terdengar melemah. “Lo bebas kok pacaran sama cewek manapun yang lo mau,
tapi kalau bisa jangan sama kekasih orang lain. Jaga-jaga aja, supaya jangan
ada yang tersakiti.”
“Iya, nih. Gue yang tersakiti, soalnya
gue yang ditonjok.”
“Ya udah, jangan lupa dikompres, ya
lukanya…”
“Ya, udah. Sampai ketemu di kampus.”
“Sampai ketemu juga, Ndra.”
Andra meletakan ponselnya di atas
tempat tidur. Ia kembali bersandar pada sisi ranjang sambil memegangi perutnya.
Sakit. Terasa sangat sakit. Namun yang ia rasakan bukanlah sakit pada luka
memar yang ada di tubuhnya, melainkan hati terdalamnya. Tadinya ia berfikir
akan sedikit mengalihkan perhatiannya dengan menelfon salah satu temannya.
Namun rasa sakit ini terlalu dasyat. Terlalu merajai jiwanya.
Andra kembali menangis. Ia menangis
dalam ruang yang kosong. Menangis dalam kesendirian. Andra merasa sangat
kesepian. Pelipur laranya memang telah berubah menjadi ujung tombak yang selalu
menusukan runcingnya tepat di dalam hatinya. Tak ada bedanya dengan wanita
jalang di luar sana. Namun rasa kebencian itu terasa sakit. Sakit sekali. Karna
saat ini, Andra begitu merindukan pelipur laranya. Andra merindukan Bella.
Rindu yang tak akan tersampaikan. Rindu yang mengoyak jiwa kesepiannya.
Dan Andra, tersiksa.
KANAYA
Part of Broken Butterfly by Alaine Any
Sebuah mobil yang tengah menunggu di
pintu gerbang kampus sudah menunggu pemiliknya untuk mengantarkan pulang.
Kanaya langsung merangkul lengan Kevin dengan mesra dan berjalan beriringan
masuk ke dalam mobil tersebut. Tentu saja, diiringi dengan sejumlah pasang mata
yang tengah memandang iri ke arah mereka. Baru beberapa bulan menjadi mahasiswa
baru di kampus tersebut, Kanaya dan Kevin sudah menjadi pusat perhatian orang
banyak. Bukankah dicintai orang yang paling kita cintai itu merupakan
kebahagiaan terbesar dalam hidup ini? Melengkapi apa yang memang sudah terlihat
begitu sempurna. Itu lah kehidupan Kanaya.
Dan hampir seluruhnya tahu jika Kanaya
dan Kevin merupakan pasangan kekasih. Bahkan kabarnya mereka sudah bertunangan
dan juga tinggal satu rumah. Dimana ada Kanaya, disitu ada Kevin. Mereka seolah
tak terpisahkan. Walaupun sudah berhubungan lama, kedua orang itu selalu
terlihat seperti pasangan yang sedang jatuh cinta. Dan lagi-lagi, banyak orang
yang iri dengannya.
Iri dengan keadaan yang tak ada satu orangpun mengetahui
kebenarannya.
***
Mobil
melaju dengan kecepatan sedang. Sedetikpun Kanaya tidak melepaskan pelukannya
pada lengan Kevin. Walaupun mereka sedang berada dalam satu mobil, Kanaya tidak
akan pernah melepaskan pelukannya walau hanya sebentar saja. Seolah-olah Kevin
akan lari bila ia melepaskan pelukannya.
“Lepasin tangan aku…” suara dingin Kevin
seolah harus memaksa Kanaya untuk bangun dari mimpi indahnya. Mimpi indah? Kevin memang hanya mimpi
indahnya. Tidak ada yang tahu. Tidak ada yang curiga. Kevin hanya sebatas mimpi
indah yang tertahan oleh kenyataan pahit dalam hidupnya. Kevin bukan
benar-benar tunangan ataupun kekasihnya. Bahkan jika mimpi indah ini berakhir,
Kevin seolah bukan siapa-siapa di dalam hidupnya, sekalipun hanya sekedar
seorang teman.
Kanaya
terdiam. Perlahan ia melepaskan pelukannya dan duduk dengan posisi yang benar.
“Di sini udah gak ada temen-temen lo. Harusnya lo gak perlu nempel-nempel terus
sama gue. Ngerti lo!” ribuan pisau terasa menghujam jantung Kanaya saat itu. Tenang, tenang, batinnya perlahan. Tidak
ada yang salah dengan perlakuan Kevin. Tidak ada yang salah dengan ucapan
Kevin. Dan bukan pertama kalinya ia mendengar hal yang serupa.
Orang
tuanya memang menjodohkan dirinya dengan Kevin tiga tahun yang lalu. Hutang
keluarga Kevin yang begitu besar saat Ayahnya melakukan pinjaman untuk
menyelamatkan perusahaan dari kebangkrutan menjadi permulaan kisah ini. Tidak
segan-segan orang tua Kanaya membantu melunasi hutang-hutang tersebut untuk
menyelamatkan keluarga Kevin dari kemiskinan. Perjodohan mereka sendiri pun
bukan atas syarat balas budi tersebut, namun orang tua Kanaya menginginkan
Kevin untuk menikahi putri semata wayang dari keluarga Bramantya, Kanaya
Bramantya.
Sebagai
anak laki satu-satunya sekaligus penerus kekayaan orangtuanya, tentu Kevin tak
banyak bicara atas keinginan orangtuanya tersebut. Kevin sangat patuh dan
penurut. Di depan orangtuanya dan juga keluarga Bramantya, Kevin sangat
perhatian dan senang dengan Kanaya. Ucapannya lembut. Sikapnya begitu manis, membuat
kedua belah pihak itu merasa sangat tepat dengan keputusan yang telah mereka
buat. Dimata mereka, Kevin dan Kanaya saling mencintai. Kanaya yang tidak punya
kakak atau adik. Kanaya yang selalu ditinggal kedua orangtuanya bekerja. Kanaya
yang tidak memiliki banyak teman. Dan Kanaya yang selalu merasa kesepian,
mungkin akan merasa jika Kevin lah pelipur laranya. Apalagi kini keluarga
Bramantya menampung Kevin untuk tinggal di rumahnya selama orangtuanya berada
di luar negri. Dan Kanaya jatuh cinta pada Kevin untuk yang pertama kalinya
mereka bertemu.
Sayangnya,
Kevin tidak.
Saat
itu Kanaya masih bisa mengerti posisi Kevin yang mungkin saja, belum siap
dengan perjodohan ini. Ia pun mengerti alasan Kevin untuk mengajaknya
berpura-pura mesra setiap kali mereka berhadapan dengan keluarga Bramantya
ataupun keluarga Kevin sendiri. Semua berjalan dengan lancar. Semua memainkan
peran dengan baik. Bahkan di depan teman-teman Kanaya pun, Kevin akan bersikap
bahwa ia adalah pria terbaik untuk Kanaya. Pria yang sangat mencintai Kanaya.
Tak heran bila banyak orang yang sangat iri dengan hubungan mereka. Iri dengan kemesraan
mereka. Andai saja kami benar saling
mencintai, itu lah yang selalu terlintas di dalam hati Kanaya setiap kali
ia sedang bersama Kevin di muka umum.
Tawa,
senyum, pelukan, cium, genggaman, canda, kasih, hanya itu yang mereka dapatkan
bila melihat kebersamaan Kanaya dan Kevin di depan teman-temannya. Andai kalian tahu, Kevin memang sedang
bersama ku, tapi aku tidak tahu dimana hatinya saat ini berada, batin
Kanaya kembali berbicara.
Sayangnya,
Kanaya tidak bisa profesional dengan perannya sendiri. Ia mencintai Kevin. Ia
tidak bisa menolak perasaan itu. Ia membiarkan rasa itu terus menggerogoti
hatinya. Ia membiarkan rasa itu bernaung dalam dirinya walaupun terasa sakit.
Seolah bagai menyimpan seekor lintah penghisap darah dalam tubuhnya sendiri. Ia
tahu jiwanya tersiksa, tapi sedikitpun ia tidak sanggup jika harus mengusir
paksa rasa yang telah bernaung di dalam hatinya. Kevin menerimanya hanya bentuk
balas budi. Dan, apa pernah Kanaya
mengadukan hal ini kepada orangtuanya? Jawabannya tidak. Ia tidak akan pernah
tega untuk memberi tahu orangtuanya. Ada kecemasan dan rasa takut dalam hatinya
bila mereka tahu jika Kevin tidak mencintainya. Kanaya takut jika orangtuanya
justru akan melepaskan Kevin.
“Kenapa
sih, selama kepura-puraan kita atas hubungan ini, gak lo manfaatin untuk
mencari cowok lain di luar sana?”
“Karna
gue cintanya sama lo, Vin.”
Kevin
terdiam setelah mendengar pengakuan Kanaya waktu itu. Ia merasa jika telah
salah membiarkan hatinya jatuh cinta kepadanya.
“Gue
gak bisa bohong, Vin. Gue jatuh cinta sama lo dari awal pertemuan kita.”
“Tapi
kan lo gak tau kalau sedikitpun gue gak ada perasaan apa-apa sama lo.”
“Tolong
biarkan gue seperti ini. Biarkan gue menikmati kepura-puraan ini.”
Saat
itu Kevin diam. Dan Kanaya pun memang menikmati kepura-puraannya ini untuk
benar-benar mencintai Kevin. Bahkan semakin menikmatinya. Ia semakin senang
jika berada bersama Kevin di depan orang yang mereka kenal. Karna hanya
saat-saat itu Kevin akan memperlakukannya sebagaimana hatinya meminta. Bahkan
Kanaya merasa jika ia mendapati dua orang Kevin yang berbeda. Aku menyukai
Kevin, sekalipun ia hanya aku miliki jika kami berada di tengah orang-orang
yang kami kenal. Setidaknya lebih baik, daripada aku tidak bisa memilikinya
sama sekali. Kanaya tahu dirinya kesepian. Maka dari itu, Kanaya
membutuhkannya.
“Gue
mohon, hanya di depan orang tua kita dan juga teman-teman, bersikaplah jika lo
memang benar-benar seperti kekasih gue…” itulah yang Kanaya minta saat Kevin
selalu meminta Kanaya untuk melepaskannya. “Gue tidak akan meminta lo untuk
nantinya menikah dengan gue. Gue akan melepaskan lo perlahan. Tapi mohon,
bersikaplah dengan baik di depan mereka, Vin.” Dan jadilah mereka sepasang
kekasih yang bahagia di depan orang-orang. Bahkan terlalu bahagia.
Mobil
telah sampai di depan rumah megah milik keluarga Bramantya. Seorang penjaga
rumah tergesa-gesa membukakan pintu untuk Kanaya. Bagaikan seorang putri,
perlahan Kanaya keluar dari mobil. Dilihatnya Kevin yang tengah berjalan cepat
ke dalam rumah. Ia tahu, Kevin menghindarinya. Semenjak mencintai Kevin, ia
selalu merasa sedih jika harus kembali pulang ke rumah. Itu tandanya, ia harus
mendapati Kevin yang bagaikan orang asing untuknya. Tapi kesedihannya sedikit
menghilang bila mengingat waktu makan malam. Walau tidak setiap saat,
setidaknya ia bisa mendapati perlakuan Kevin yang baik padanya di depan Ayah
dan Ibunya.
Kanaya
akan terlihat begitu senang, begitu ceria, dan begitu menikmati setiap
kebersamaannya dengan orang-orang yang ada di dekatnya. Tidak lain dan tidak
bukan, karna ia merasa jika saat itu Kevin benar-benar menyayanginya. Ia sadar
jika ini tidak nyata, tapi sedetikpun Kanaya tidak akan pernah rela
meninggalkannya. Dengan perlahan Kevin menuangkan air putih ke dalam gelas
miliknya. Kemudian mengambilkan makanan di atas piringnya. Saat itu Kanaya akan
menceritakan kegiatannya di kampus dengan wajah riang. Raut wajah senang pun
terpancar dari kedua orangtuanya. Selain senang mendengar cerita Kanaya, mereka
juga senang melihat dua sejoli yang ada di hadapan mereka saat ini. Bahkan
sesekali Kanaya dan Kevin dapat bercanda dengan saling pukul bila sedang ada di
meja makan. Dan tawa pun akan terdengar dari ruangan itu.
Namun
sebelum Kanaya benar-benar paham dengan situasinya ini, ia pun pernah marah
dengan Kevin. Marah dengan ketidak nyamanan yang ia rasakan. Tapi, Kevin selalu
mengatakan hal yang dapat menampar dirinya dengan keras. Tamparan yang
memaksanya untuk bangun. “Gue ada bersama
lo bukan karna keinginan gue. Bukan karna hati gue. Secara tidak langsung,
orang tua lo lah yang telah membayar keberadaan gue saat ini. Gue ada di sini
karna orang tua gue berhutang banyak sama keluarga lo.” Jelas Kevin sama
sekali tidak mencintainya.
“Ada
cerita apa tentang kalian hari ini?” tanya sang bunda kepada anak semata
wayangnya. Kanaya menghentikan makannya, ia melirik Kevin yang ada di
sebelahnya, seolah berkata, drama apa yang akan kita ceritakan padanya hari
ini?
Dengan
senyum mengembang, dengan segera Kevin langsung menjawab pertanyaan Mamahnya
Kanaya, “Hari ini dia sibuk sama teman-temannya.” Jawaban Kevin langsung
disambut tawa oleh Kanaya. Tentu saja tawa itu termasuk di dalam drama mereka
setiap waktu makan malam.
“Kevin
nya aja yang gak pernah mau gabung sama temen-temen, ku.”
“Aku
gak enak, Nay. Kan kamu tahu kalau diantara kalian cuma kamu yang punya pacar.
Hahaha…” Mamah pun ikut tertawa sembari mendengar perkataan Kevin barusan. Benar-benar makan malam yang menyenangkan,
ucap Kanaya dalam hati, menyenangkan bila
semua perasaan ini nyata.
“Loh,
bukannya Andra, temen kamu itu punya pacar?” tanya Mamah.
“Andra
sih jangan ditanya. Saking banyaknya, aku aja gak tahu mana yang pacar dia dan
mana yang bukan.”
“Playboy kelas berat tuh temen mu.”
“Kamu
gak berniat untuk ganti-ganti kekasih kayak Andra?” tatapan mata Kevin
sekaligus perkataannya barusan sangat mengena di hatinya. Mungkin bagi Mamah
akan terdengar seperti bercandaan kala itu. Tapi Kanaya sadar sekali, mata
Kevin ikut berbicara kala itu. Menatapnya dengan tajam. Memojokan dirinya.
Menyindir. Sekaligus seolah terdengar selayaknya sebuah permintaan.
Alhasil,
Kanaya hanya membalas ucapan Kevin dengan senyum simpul. Dan kini ia hanya
mendengar suara obrolan Mamah bersama Kevin sepanjang makan malam. Makan malam
yang selalu penuh dengan drama. Drama yang menyakitkan sekaligus tak bisa ia
tinggalkan begitu saja.
Usai
makan malam, Kevin kembali ke kamarnya. Malam ini Kanaya benar-benar merindukan
Kevin. Cara merindukan seseorang paling buruk adalah dengan berada di dekat
orang tersebut, tapi ia tahu jika sampai kapanpun ia tidak akan benar-benar
bisa menyentuhnya. Ia tidak bisa menyentuh hati Kevin.
“Vin…” Kanaya mengintip di balik pintu kamar
Kevin. “Vin, lagi apa? Gue masuk, ya?” dilihatnya Kevin sedang duduk di depan
meja. Tubuhnya membelakangi Kanaya saat itu. Perlahan Kanaya masuk ke dalam dan
menutup pintu kamar Kevin. Dilihatnya jendela kamar Kevin yang dibiarkan
terbuka. Tirai gorden berwarna putih seolah menari perlahan tertiup angin
malam.
“Tutup,
ya, Vin? Angin malam, tuh, gak bagus.” Kanaya mulai menutup jendela kamar
Kevin. “Nanti kalau lo sakit gimana?”
“Ah,
gak apa-apa, kok. Lagian sering kebuka gitu.”
Kanaya
menoleh. Dilihatnya Kevin tengah membungkus sebuah kotak dengan pita berwarna
coklat muda. Walaupun tidak tersenyum, wajah Kevin terlihat senang saat itu.
Ketika kita sangat mencintai seseorang, mungkinkah kita seolah bisa masuk ke
dalam matanya. Melihat yang tertera dalam hati melalui pandangannya. Termasuk
tatapan palsu yang selalu Kanaya dapati jika ia sedang bersama Kevin di tengah
banyak orang.
“Ada
apa?” tanya Kevin dengan wajah datar. Ia membuka laci meja dan kemudian
meletakan kotak berpita tersebut ke dalamnya. Mata Kanaya terus mengikuti
kemana kotak itu pergi. “Kenapa, Nay?” tanya Kevin lagi.
“Buat
siapa?”
“Temen.”
“Cewek,
ya?”
“Kalau
iya, emang kenapa?” Kanaya benci tatapan itu. Tatapan yang seolah sedang
menantangnya. Menantang dirinya sembari berkata, kalau gue suka sama cewek lain, terus, lo mau apa?
“Pacar?”
“Pacar
gue atau bukan, itu bukan urusan lo.” Kevin menjauhi Kanaya. Ia mendekati sofa
yang tidak jauh dari tempat tidurnya. Kevin mulai menyibukan diri dengan
membuka-buka sebuah majalah. Kanaya terlihat tidak puas dengan jawaban yang ia
dapat. Hatinya mendadak tidak tenang. Bertahun-tahun ia mencintai Kevin,
bertahun-tahun ia berpura-pura menjadi kekasih Kevin, ia memang tidak pernah
sedikitpun mendengar ada nama wanita lain. Dan kini, hal yang paling ia takuti
mungkin saja terjadi.
Kanaya
terdiam. Ia terlihat menahan rasa kesalnya. Walau tak tahu kebenarannya tentu
saja rasa cemburu itu seketika singgah di dalam dirinya. Baru saja ia akan
membuka mulutnya, Kevin lebih dahulu memanggilnya.
“Kanaya…”
Kevin menutup majalahnya. Dilihatnya Kevin tersenyum kecil. Senyum pada
keadaan, bukan pada dirinya. “Gue…” saat itu jantung Kanaya seolah melemah. Tak
kuat berdetak. Perasaannya semakin tidak enak. Jangan katakan apapun, jangan!
“Gue...”
Kevin menggantung kalimatnya. Dan ia…tertawa kecil. Kevin tertawa, dan ia terlihat bahagia. Entah apa yang saat itu
dibayangkannya, dan tak mampu bagi Kanaya untuk ikut membayangkannya pula.
Kevin
kembali menatapnya. “Gue jatuh cinta.”
Demi
Tuhan, dunia Kanaya seolah runtuh saat itu juga. Butiran air mata seolah sudah
berkumpul di ujung matanya dan bersiap untuk ditumpahkan. “Oh, ya? Sama siapa?”
Demi Tuhan, Kevin. Jangan pernah katakan
siapa nama wanita itu. Jangan pernah memberi tahu aku, siapa orang terkutuk
itu. Orang yang telah merampas keseluruhan hati mu disaat aku sedang
mengumpulkannya sedikit demi sedikit.
Dan
air mata Kanaya akhirnya jatuh juga.
“Lo
benar-benar mau tau?”
“Bilang
sama gue siapa orang itu?”
Kevin
menghelang nafasnya. “Lo gak harusnya sedih, Nay. Lo tahu kan cepat atau lambat
hal ini akan datang juga.” Perlahan Kevin mendekati Kanaya. Berdiri berhadapan
dengan Kanaya. Ia tahu hati wanita ini terluka, tapi ia pun ingin membahagiakan
hatinya sendiri. Ia tidak bisa terus berpura-pura dengan Kanaya.
“Kenapa
lo harus cari orang lain, sih, Vin? Jelas-jelas lo tau ada gue di dekat lo! Gue
yang paling mencintai lo! Kenapa lo gak pernah menoleh sedikitpun ke gue, Vin?”
Kanaya setengah berteriak. Ia sadar, jika di balik pintu kamar Kevin ada orang
lain, pasti orang tersebut akan dengan sangat jelas dapat mendengar percakapan
mereka.
Kevin
tak bergeming. Ia menatap Kanaya dengan datar. “Lo ingat, gue pernah tanya sama
lo, kenapa lo bisa jatuh cinta sama gue? Dan lo menjawab, lo gak tau, karna
cinta itu yang memilih gue, bukan lo.” Kanaya terdiam. Ia ingat. “Dan sekarang
pun gue mengerti kenapa lo menjawab seperti itu. Karna gue pun merasakan hal
demikian. Bukan gue yang memilih, tapi cinta itu sendiri yang memilih orang
itu. Dan orang itu bukan lo.”
“Tapi
lo gak akan pernah bisa menikah sama dia!” Kanaya mulai merasakan amarah dalam
dirinya. Ia tidak terima. Tidak akan pernah terima jika ada wanita lain yang
bertahta di dalam hati Kevin. “Lo gak lupa kan kalau orang tua kita sudah
menjodohkan kita.”
“Lo…?”
Kevin langsung terdiam. Ia merasa tengah diancam.
“Iya,
gue tau. Yang kemarin emang pura-pura. Dan gue pernah bilang, asalkan lo mau
bersikap baik di depan teman-teman gue, di depan orang-orang, gue gak masalah
kalau memang hanya pura-pura. Tapi apa lo pikir gue akan melepaskan lo begitu
aja?” ditatapnya Kevin dengan mata berkaca-kaca. “Gak, Vin! Gue berubah
pikiran! Gue akan tetap mempertahankan lo. Gak perduli lo menerima atas balas
budi atau gak, tapi lo harus tau, Vin… Ini cinta, Vin. Cinta….” Kanaya menangis
sambil menunjuk dadanya. Kanaya tidak pernah percaya dengan kata-kata ‘cinta
tidak harus memiliki’, karna cinta itu pasti ingin memiliki. Ia mencintai
Kevin, dan ia ingin memilikinya. Ia lupa dengan perjanjiannya. Ia lupa dengan kepura-puraannya.
Tapi kali ini, mendengar Kevin jatuh cinta dengan orang lain, itu terdengar
seperti ancaman untuknya.
“Gue
akan jujur sama orang tua gue. Dan gue juga akan jujur sama orang tua lo. Gue
akan kerja keras, cari uang yang banyak untuk menggantikan hutang-hutang bokap
gue yang udah dibayar sama keluarga lo.” mata Kevin terlihat sangat sedih, dan
itu terlihat begitu menusuk di hati Kanaya. Sebegitunyakah Kevin ingin melepas
diri darinya. Sebesar itukan rasa cinta Kevin terhadap wanita itu sehingga
mampu membuat diri ingin memberontak. Ya, saat ini yang Kanaya lihat, Kevin
tengah memberontak.
Kevin
tersenyum sinis. “Jangan lo pikir selama ini gue gak tersiksa sama perasaan gue
sendiri, Nay. Gue coba, Nay. Gue pernah kok coba untuk bisa catuh cinta sama,
lo. Tapi emang gak pernah bisa!” Rahang Kevin mengeras. Matanya merah. Kesal
sedih bercampur di dalam dirinya. Ia tidak sedang melawan Kanaya. Ia sedang
melawan perasaan Kanaya yang mengikat dirinya.
“Lo
pikir dengan jujur sama mereka, hubungan lo dengan dengan wanita itu bisa
berjalan dengan lancar. Gak semudah itu, Vin. Ingat! Udah berapa lama lo
membohongi mereka? Terus sekarang tiba-tiba lo jujur ke orang tua lo, ke orang
tua gue, kalau semua cuma pura-pura? Lo pikir mereka akan menerima gitu aja?”
Kevin mulai merasa terpojok dengan perkataan Kanaya. “Gak semudah itu, Vin.
Orang tua lo itu sudah terikat sama keluarga Bramantya. Usaha perhotelan di
Belanda yang dijalankan orang tua lo itu sebenarnya adalah milik keluarga
Bramantya. Keluarga lo itu udah gak punya apa-apa.”
“Gue
gak perduli!” bentak Kevin. “Gue akan tetap membatalkan pertunangan ini!”
“Kevin…”
suara lain terdengar dari arah pintu. Kanaya dan Kevin serempak menoleh ke asal
suara itu. Dan saat itu tengah berdiri seorang wanita cantik berambut hitam
dengan panjang sebahu di depan pintu kamar Kevin yang terbuka. Wanita itu
menatap tajam pada Kevin.
“Mamah…”
ucap Kevin perlahan.
Kanaya
pun tak kalah terkejutnya. Entah sudah sejak kapan Maria berdiri di depan pintu
kamar Kevin. Setahu Kanaya, kedua orang tua Kevin sedang berada di Belanda, dan
ia tidak mendengar kabar mengenai kepulangan mereka ke Indonesia. Maria
tersenyum pada Kanaya. Ia merentangkan tangannya seolah menyuruh Kanaya untuk
segera memeluk dirinya.
Awalnya
Kanaya ragu. Mungkinkah ia mendengar semua percakapannya dengan Kevin? “Sini
sayang…” ucapnya dengan suara lembut. Perlahan Kanaya mendekat dan memeluk
Maria dengan erat. Perlahan ia merasakan tangan Maria mengelus kepalanya dan
kemudian berbisik, “Jangan menangis, sayang. Air mata kamu terlalu mahal.
Pergilah keluar sebentar, biar tante yang berbicara dengan Kevin.”
Kanaya
langsung keluar dari kamar Kevin setelah melepas pelukannya pada Maria. Dari
balik celah pintu yang sedikit terbuka, Kanaya melihat Maria tengah menampar
pipi Kevin dengan keras. Dan saat itu pula air mata Kanaya mengalir dengan
deras. Samar-samar Kanaya mendengar pembicaraan di dalam sana. Rupanya Maria
mendengar semua ucapannya dengan Kevin. Dan tentunya, ia sudah tahu dengan
kepura-puraan ini.
Maaf, Vin. Maafin aku.
Dan
sesungguhnya, disaat banyak orang yang mengirikan hubungannya dengan Kevin,
justru ia pun juga merasa sangat iri dengan hubungan orang-orang. Hubungan yang
nyata. Hubungan yang sederhana.
Kanaya
masuk ke dalam kamarnya. Ia mengecek handphone.
Rupanya ada missed call dari Maira.
Kanaya langsung menelfon balik Maira. Ia duduk di lantai dengan menyandar badan
tempat tidur. Sesekali menyeka air matanya. Ia berusaha melupakan pembicaraan
bersama Kevin barusan dengan bercerita hal-hal yang menyenangkan bersama Maira.
Setelah
mematikan sambungan telfonnya, baru Kanaya benar-benar menangis. Tangis yang
tidak pernah ada satupun yang mengetahuinya. Tangis yang tak pernah dibayangkan
oleh orang-orang yang memujanya. Namun, ini lah kenyataannya. Ini lah yang
sebenarnya terjadi. Kanaya sadar, orang tua Kevin tak benar-benar
menyayanginya. Mereka menyayangi harta dan kekayaannya. Mereka menjual Kevin
demi menyelamatkan kembali hidup mewah mereka yang hampir lenyap. Hati kecilnya
berbisik, tidak ada inisiatif perjodohan, ia lah yang meminta orang tuanya
untuk menjodohkannya dengan Kevin.
Terlalu
naif bila berfikiran jika cinta dapat dibeli dengan uang. Nyatanya, Kanaya
mencintai Kevin, dan ia membelinya. Sekalipun hal itu tidak membuatnya
benar-benar bahagia. Setidaknya, orang lain melihat kehidupannya mendekati
sempurna. Atau bahkan hampir sempurna. Mereka tidak pernah tahu, pada malam
harinya, berapa banyak air mata yang harus menggantikan senyum di pagi hari?
Biarkan saja orang-orang itu memuja kepalsuan hubungannya.
Subscribe to:
Posts (Atom)