Part of Broken Butterfly by Alaine Any
Sebuah mobil yang tengah menunggu di
pintu gerbang kampus sudah menunggu pemiliknya untuk mengantarkan pulang.
Kanaya langsung merangkul lengan Kevin dengan mesra dan berjalan beriringan
masuk ke dalam mobil tersebut. Tentu saja, diiringi dengan sejumlah pasang mata
yang tengah memandang iri ke arah mereka. Baru beberapa bulan menjadi mahasiswa
baru di kampus tersebut, Kanaya dan Kevin sudah menjadi pusat perhatian orang
banyak. Bukankah dicintai orang yang paling kita cintai itu merupakan
kebahagiaan terbesar dalam hidup ini? Melengkapi apa yang memang sudah terlihat
begitu sempurna. Itu lah kehidupan Kanaya.
Dan hampir seluruhnya tahu jika Kanaya
dan Kevin merupakan pasangan kekasih. Bahkan kabarnya mereka sudah bertunangan
dan juga tinggal satu rumah. Dimana ada Kanaya, disitu ada Kevin. Mereka seolah
tak terpisahkan. Walaupun sudah berhubungan lama, kedua orang itu selalu
terlihat seperti pasangan yang sedang jatuh cinta. Dan lagi-lagi, banyak orang
yang iri dengannya.
Iri dengan keadaan yang tak ada satu orangpun mengetahui
kebenarannya.
***
Mobil
melaju dengan kecepatan sedang. Sedetikpun Kanaya tidak melepaskan pelukannya
pada lengan Kevin. Walaupun mereka sedang berada dalam satu mobil, Kanaya tidak
akan pernah melepaskan pelukannya walau hanya sebentar saja. Seolah-olah Kevin
akan lari bila ia melepaskan pelukannya.
“Lepasin tangan aku…” suara dingin Kevin
seolah harus memaksa Kanaya untuk bangun dari mimpi indahnya. Mimpi indah? Kevin memang hanya mimpi
indahnya. Tidak ada yang tahu. Tidak ada yang curiga. Kevin hanya sebatas mimpi
indah yang tertahan oleh kenyataan pahit dalam hidupnya. Kevin bukan
benar-benar tunangan ataupun kekasihnya. Bahkan jika mimpi indah ini berakhir,
Kevin seolah bukan siapa-siapa di dalam hidupnya, sekalipun hanya sekedar
seorang teman.
Kanaya
terdiam. Perlahan ia melepaskan pelukannya dan duduk dengan posisi yang benar.
“Di sini udah gak ada temen-temen lo. Harusnya lo gak perlu nempel-nempel terus
sama gue. Ngerti lo!” ribuan pisau terasa menghujam jantung Kanaya saat itu. Tenang, tenang, batinnya perlahan. Tidak
ada yang salah dengan perlakuan Kevin. Tidak ada yang salah dengan ucapan
Kevin. Dan bukan pertama kalinya ia mendengar hal yang serupa.
Orang
tuanya memang menjodohkan dirinya dengan Kevin tiga tahun yang lalu. Hutang
keluarga Kevin yang begitu besar saat Ayahnya melakukan pinjaman untuk
menyelamatkan perusahaan dari kebangkrutan menjadi permulaan kisah ini. Tidak
segan-segan orang tua Kanaya membantu melunasi hutang-hutang tersebut untuk
menyelamatkan keluarga Kevin dari kemiskinan. Perjodohan mereka sendiri pun
bukan atas syarat balas budi tersebut, namun orang tua Kanaya menginginkan
Kevin untuk menikahi putri semata wayang dari keluarga Bramantya, Kanaya
Bramantya.
Sebagai
anak laki satu-satunya sekaligus penerus kekayaan orangtuanya, tentu Kevin tak
banyak bicara atas keinginan orangtuanya tersebut. Kevin sangat patuh dan
penurut. Di depan orangtuanya dan juga keluarga Bramantya, Kevin sangat
perhatian dan senang dengan Kanaya. Ucapannya lembut. Sikapnya begitu manis, membuat
kedua belah pihak itu merasa sangat tepat dengan keputusan yang telah mereka
buat. Dimata mereka, Kevin dan Kanaya saling mencintai. Kanaya yang tidak punya
kakak atau adik. Kanaya yang selalu ditinggal kedua orangtuanya bekerja. Kanaya
yang tidak memiliki banyak teman. Dan Kanaya yang selalu merasa kesepian,
mungkin akan merasa jika Kevin lah pelipur laranya. Apalagi kini keluarga
Bramantya menampung Kevin untuk tinggal di rumahnya selama orangtuanya berada
di luar negri. Dan Kanaya jatuh cinta pada Kevin untuk yang pertama kalinya
mereka bertemu.
Sayangnya,
Kevin tidak.
Saat
itu Kanaya masih bisa mengerti posisi Kevin yang mungkin saja, belum siap
dengan perjodohan ini. Ia pun mengerti alasan Kevin untuk mengajaknya
berpura-pura mesra setiap kali mereka berhadapan dengan keluarga Bramantya
ataupun keluarga Kevin sendiri. Semua berjalan dengan lancar. Semua memainkan
peran dengan baik. Bahkan di depan teman-teman Kanaya pun, Kevin akan bersikap
bahwa ia adalah pria terbaik untuk Kanaya. Pria yang sangat mencintai Kanaya.
Tak heran bila banyak orang yang sangat iri dengan hubungan mereka. Iri dengan kemesraan
mereka. Andai saja kami benar saling
mencintai, itu lah yang selalu terlintas di dalam hati Kanaya setiap kali
ia sedang bersama Kevin di muka umum.
Tawa,
senyum, pelukan, cium, genggaman, canda, kasih, hanya itu yang mereka dapatkan
bila melihat kebersamaan Kanaya dan Kevin di depan teman-temannya. Andai kalian tahu, Kevin memang sedang
bersama ku, tapi aku tidak tahu dimana hatinya saat ini berada, batin
Kanaya kembali berbicara.
Sayangnya,
Kanaya tidak bisa profesional dengan perannya sendiri. Ia mencintai Kevin. Ia
tidak bisa menolak perasaan itu. Ia membiarkan rasa itu terus menggerogoti
hatinya. Ia membiarkan rasa itu bernaung dalam dirinya walaupun terasa sakit.
Seolah bagai menyimpan seekor lintah penghisap darah dalam tubuhnya sendiri. Ia
tahu jiwanya tersiksa, tapi sedikitpun ia tidak sanggup jika harus mengusir
paksa rasa yang telah bernaung di dalam hatinya. Kevin menerimanya hanya bentuk
balas budi. Dan, apa pernah Kanaya
mengadukan hal ini kepada orangtuanya? Jawabannya tidak. Ia tidak akan pernah
tega untuk memberi tahu orangtuanya. Ada kecemasan dan rasa takut dalam hatinya
bila mereka tahu jika Kevin tidak mencintainya. Kanaya takut jika orangtuanya
justru akan melepaskan Kevin.
“Kenapa
sih, selama kepura-puraan kita atas hubungan ini, gak lo manfaatin untuk
mencari cowok lain di luar sana?”
“Karna
gue cintanya sama lo, Vin.”
Kevin
terdiam setelah mendengar pengakuan Kanaya waktu itu. Ia merasa jika telah
salah membiarkan hatinya jatuh cinta kepadanya.
“Gue
gak bisa bohong, Vin. Gue jatuh cinta sama lo dari awal pertemuan kita.”
“Tapi
kan lo gak tau kalau sedikitpun gue gak ada perasaan apa-apa sama lo.”
“Tolong
biarkan gue seperti ini. Biarkan gue menikmati kepura-puraan ini.”
Saat
itu Kevin diam. Dan Kanaya pun memang menikmati kepura-puraannya ini untuk
benar-benar mencintai Kevin. Bahkan semakin menikmatinya. Ia semakin senang
jika berada bersama Kevin di depan orang yang mereka kenal. Karna hanya
saat-saat itu Kevin akan memperlakukannya sebagaimana hatinya meminta. Bahkan
Kanaya merasa jika ia mendapati dua orang Kevin yang berbeda. Aku menyukai
Kevin, sekalipun ia hanya aku miliki jika kami berada di tengah orang-orang
yang kami kenal. Setidaknya lebih baik, daripada aku tidak bisa memilikinya
sama sekali. Kanaya tahu dirinya kesepian. Maka dari itu, Kanaya
membutuhkannya.
“Gue
mohon, hanya di depan orang tua kita dan juga teman-teman, bersikaplah jika lo
memang benar-benar seperti kekasih gue…” itulah yang Kanaya minta saat Kevin
selalu meminta Kanaya untuk melepaskannya. “Gue tidak akan meminta lo untuk
nantinya menikah dengan gue. Gue akan melepaskan lo perlahan. Tapi mohon,
bersikaplah dengan baik di depan mereka, Vin.” Dan jadilah mereka sepasang
kekasih yang bahagia di depan orang-orang. Bahkan terlalu bahagia.
Mobil
telah sampai di depan rumah megah milik keluarga Bramantya. Seorang penjaga
rumah tergesa-gesa membukakan pintu untuk Kanaya. Bagaikan seorang putri,
perlahan Kanaya keluar dari mobil. Dilihatnya Kevin yang tengah berjalan cepat
ke dalam rumah. Ia tahu, Kevin menghindarinya. Semenjak mencintai Kevin, ia
selalu merasa sedih jika harus kembali pulang ke rumah. Itu tandanya, ia harus
mendapati Kevin yang bagaikan orang asing untuknya. Tapi kesedihannya sedikit
menghilang bila mengingat waktu makan malam. Walau tidak setiap saat,
setidaknya ia bisa mendapati perlakuan Kevin yang baik padanya di depan Ayah
dan Ibunya.
Kanaya
akan terlihat begitu senang, begitu ceria, dan begitu menikmati setiap
kebersamaannya dengan orang-orang yang ada di dekatnya. Tidak lain dan tidak
bukan, karna ia merasa jika saat itu Kevin benar-benar menyayanginya. Ia sadar
jika ini tidak nyata, tapi sedetikpun Kanaya tidak akan pernah rela
meninggalkannya. Dengan perlahan Kevin menuangkan air putih ke dalam gelas
miliknya. Kemudian mengambilkan makanan di atas piringnya. Saat itu Kanaya akan
menceritakan kegiatannya di kampus dengan wajah riang. Raut wajah senang pun
terpancar dari kedua orangtuanya. Selain senang mendengar cerita Kanaya, mereka
juga senang melihat dua sejoli yang ada di hadapan mereka saat ini. Bahkan
sesekali Kanaya dan Kevin dapat bercanda dengan saling pukul bila sedang ada di
meja makan. Dan tawa pun akan terdengar dari ruangan itu.
Namun
sebelum Kanaya benar-benar paham dengan situasinya ini, ia pun pernah marah
dengan Kevin. Marah dengan ketidak nyamanan yang ia rasakan. Tapi, Kevin selalu
mengatakan hal yang dapat menampar dirinya dengan keras. Tamparan yang
memaksanya untuk bangun. “Gue ada bersama
lo bukan karna keinginan gue. Bukan karna hati gue. Secara tidak langsung,
orang tua lo lah yang telah membayar keberadaan gue saat ini. Gue ada di sini
karna orang tua gue berhutang banyak sama keluarga lo.” Jelas Kevin sama
sekali tidak mencintainya.
“Ada
cerita apa tentang kalian hari ini?” tanya sang bunda kepada anak semata
wayangnya. Kanaya menghentikan makannya, ia melirik Kevin yang ada di
sebelahnya, seolah berkata, drama apa yang akan kita ceritakan padanya hari
ini?
Dengan
senyum mengembang, dengan segera Kevin langsung menjawab pertanyaan Mamahnya
Kanaya, “Hari ini dia sibuk sama teman-temannya.” Jawaban Kevin langsung
disambut tawa oleh Kanaya. Tentu saja tawa itu termasuk di dalam drama mereka
setiap waktu makan malam.
“Kevin
nya aja yang gak pernah mau gabung sama temen-temen, ku.”
“Aku
gak enak, Nay. Kan kamu tahu kalau diantara kalian cuma kamu yang punya pacar.
Hahaha…” Mamah pun ikut tertawa sembari mendengar perkataan Kevin barusan. Benar-benar makan malam yang menyenangkan,
ucap Kanaya dalam hati, menyenangkan bila
semua perasaan ini nyata.
“Loh,
bukannya Andra, temen kamu itu punya pacar?” tanya Mamah.
“Andra
sih jangan ditanya. Saking banyaknya, aku aja gak tahu mana yang pacar dia dan
mana yang bukan.”
“Playboy kelas berat tuh temen mu.”
“Kamu
gak berniat untuk ganti-ganti kekasih kayak Andra?” tatapan mata Kevin
sekaligus perkataannya barusan sangat mengena di hatinya. Mungkin bagi Mamah
akan terdengar seperti bercandaan kala itu. Tapi Kanaya sadar sekali, mata
Kevin ikut berbicara kala itu. Menatapnya dengan tajam. Memojokan dirinya.
Menyindir. Sekaligus seolah terdengar selayaknya sebuah permintaan.
Alhasil,
Kanaya hanya membalas ucapan Kevin dengan senyum simpul. Dan kini ia hanya
mendengar suara obrolan Mamah bersama Kevin sepanjang makan malam. Makan malam
yang selalu penuh dengan drama. Drama yang menyakitkan sekaligus tak bisa ia
tinggalkan begitu saja.
Usai
makan malam, Kevin kembali ke kamarnya. Malam ini Kanaya benar-benar merindukan
Kevin. Cara merindukan seseorang paling buruk adalah dengan berada di dekat
orang tersebut, tapi ia tahu jika sampai kapanpun ia tidak akan benar-benar
bisa menyentuhnya. Ia tidak bisa menyentuh hati Kevin.
“Vin…” Kanaya mengintip di balik pintu kamar
Kevin. “Vin, lagi apa? Gue masuk, ya?” dilihatnya Kevin sedang duduk di depan
meja. Tubuhnya membelakangi Kanaya saat itu. Perlahan Kanaya masuk ke dalam dan
menutup pintu kamar Kevin. Dilihatnya jendela kamar Kevin yang dibiarkan
terbuka. Tirai gorden berwarna putih seolah menari perlahan tertiup angin
malam.
“Tutup,
ya, Vin? Angin malam, tuh, gak bagus.” Kanaya mulai menutup jendela kamar
Kevin. “Nanti kalau lo sakit gimana?”
“Ah,
gak apa-apa, kok. Lagian sering kebuka gitu.”
Kanaya
menoleh. Dilihatnya Kevin tengah membungkus sebuah kotak dengan pita berwarna
coklat muda. Walaupun tidak tersenyum, wajah Kevin terlihat senang saat itu.
Ketika kita sangat mencintai seseorang, mungkinkah kita seolah bisa masuk ke
dalam matanya. Melihat yang tertera dalam hati melalui pandangannya. Termasuk
tatapan palsu yang selalu Kanaya dapati jika ia sedang bersama Kevin di tengah
banyak orang.
“Ada
apa?” tanya Kevin dengan wajah datar. Ia membuka laci meja dan kemudian
meletakan kotak berpita tersebut ke dalamnya. Mata Kanaya terus mengikuti
kemana kotak itu pergi. “Kenapa, Nay?” tanya Kevin lagi.
“Buat
siapa?”
“Temen.”
“Cewek,
ya?”
“Kalau
iya, emang kenapa?” Kanaya benci tatapan itu. Tatapan yang seolah sedang
menantangnya. Menantang dirinya sembari berkata, kalau gue suka sama cewek lain, terus, lo mau apa?
“Pacar?”
“Pacar
gue atau bukan, itu bukan urusan lo.” Kevin menjauhi Kanaya. Ia mendekati sofa
yang tidak jauh dari tempat tidurnya. Kevin mulai menyibukan diri dengan
membuka-buka sebuah majalah. Kanaya terlihat tidak puas dengan jawaban yang ia
dapat. Hatinya mendadak tidak tenang. Bertahun-tahun ia mencintai Kevin,
bertahun-tahun ia berpura-pura menjadi kekasih Kevin, ia memang tidak pernah
sedikitpun mendengar ada nama wanita lain. Dan kini, hal yang paling ia takuti
mungkin saja terjadi.
Kanaya
terdiam. Ia terlihat menahan rasa kesalnya. Walau tak tahu kebenarannya tentu
saja rasa cemburu itu seketika singgah di dalam dirinya. Baru saja ia akan
membuka mulutnya, Kevin lebih dahulu memanggilnya.
“Kanaya…”
Kevin menutup majalahnya. Dilihatnya Kevin tersenyum kecil. Senyum pada
keadaan, bukan pada dirinya. “Gue…” saat itu jantung Kanaya seolah melemah. Tak
kuat berdetak. Perasaannya semakin tidak enak. Jangan katakan apapun, jangan!
“Gue...”
Kevin menggantung kalimatnya. Dan ia…tertawa kecil. Kevin tertawa, dan ia terlihat bahagia. Entah apa yang saat itu
dibayangkannya, dan tak mampu bagi Kanaya untuk ikut membayangkannya pula.
Kevin
kembali menatapnya. “Gue jatuh cinta.”
Demi
Tuhan, dunia Kanaya seolah runtuh saat itu juga. Butiran air mata seolah sudah
berkumpul di ujung matanya dan bersiap untuk ditumpahkan. “Oh, ya? Sama siapa?”
Demi Tuhan, Kevin. Jangan pernah katakan
siapa nama wanita itu. Jangan pernah memberi tahu aku, siapa orang terkutuk
itu. Orang yang telah merampas keseluruhan hati mu disaat aku sedang
mengumpulkannya sedikit demi sedikit.
Dan
air mata Kanaya akhirnya jatuh juga.
“Lo
benar-benar mau tau?”
“Bilang
sama gue siapa orang itu?”
Kevin
menghelang nafasnya. “Lo gak harusnya sedih, Nay. Lo tahu kan cepat atau lambat
hal ini akan datang juga.” Perlahan Kevin mendekati Kanaya. Berdiri berhadapan
dengan Kanaya. Ia tahu hati wanita ini terluka, tapi ia pun ingin membahagiakan
hatinya sendiri. Ia tidak bisa terus berpura-pura dengan Kanaya.
“Kenapa
lo harus cari orang lain, sih, Vin? Jelas-jelas lo tau ada gue di dekat lo! Gue
yang paling mencintai lo! Kenapa lo gak pernah menoleh sedikitpun ke gue, Vin?”
Kanaya setengah berteriak. Ia sadar, jika di balik pintu kamar Kevin ada orang
lain, pasti orang tersebut akan dengan sangat jelas dapat mendengar percakapan
mereka.
Kevin
tak bergeming. Ia menatap Kanaya dengan datar. “Lo ingat, gue pernah tanya sama
lo, kenapa lo bisa jatuh cinta sama gue? Dan lo menjawab, lo gak tau, karna
cinta itu yang memilih gue, bukan lo.” Kanaya terdiam. Ia ingat. “Dan sekarang
pun gue mengerti kenapa lo menjawab seperti itu. Karna gue pun merasakan hal
demikian. Bukan gue yang memilih, tapi cinta itu sendiri yang memilih orang
itu. Dan orang itu bukan lo.”
“Tapi
lo gak akan pernah bisa menikah sama dia!” Kanaya mulai merasakan amarah dalam
dirinya. Ia tidak terima. Tidak akan pernah terima jika ada wanita lain yang
bertahta di dalam hati Kevin. “Lo gak lupa kan kalau orang tua kita sudah
menjodohkan kita.”
“Lo…?”
Kevin langsung terdiam. Ia merasa tengah diancam.
“Iya,
gue tau. Yang kemarin emang pura-pura. Dan gue pernah bilang, asalkan lo mau
bersikap baik di depan teman-teman gue, di depan orang-orang, gue gak masalah
kalau memang hanya pura-pura. Tapi apa lo pikir gue akan melepaskan lo begitu
aja?” ditatapnya Kevin dengan mata berkaca-kaca. “Gak, Vin! Gue berubah
pikiran! Gue akan tetap mempertahankan lo. Gak perduli lo menerima atas balas
budi atau gak, tapi lo harus tau, Vin… Ini cinta, Vin. Cinta….” Kanaya menangis
sambil menunjuk dadanya. Kanaya tidak pernah percaya dengan kata-kata ‘cinta
tidak harus memiliki’, karna cinta itu pasti ingin memiliki. Ia mencintai
Kevin, dan ia ingin memilikinya. Ia lupa dengan perjanjiannya. Ia lupa dengan kepura-puraannya.
Tapi kali ini, mendengar Kevin jatuh cinta dengan orang lain, itu terdengar
seperti ancaman untuknya.
“Gue
akan jujur sama orang tua gue. Dan gue juga akan jujur sama orang tua lo. Gue
akan kerja keras, cari uang yang banyak untuk menggantikan hutang-hutang bokap
gue yang udah dibayar sama keluarga lo.” mata Kevin terlihat sangat sedih, dan
itu terlihat begitu menusuk di hati Kanaya. Sebegitunyakah Kevin ingin melepas
diri darinya. Sebesar itukan rasa cinta Kevin terhadap wanita itu sehingga
mampu membuat diri ingin memberontak. Ya, saat ini yang Kanaya lihat, Kevin
tengah memberontak.
Kevin
tersenyum sinis. “Jangan lo pikir selama ini gue gak tersiksa sama perasaan gue
sendiri, Nay. Gue coba, Nay. Gue pernah kok coba untuk bisa catuh cinta sama,
lo. Tapi emang gak pernah bisa!” Rahang Kevin mengeras. Matanya merah. Kesal
sedih bercampur di dalam dirinya. Ia tidak sedang melawan Kanaya. Ia sedang
melawan perasaan Kanaya yang mengikat dirinya.
“Lo
pikir dengan jujur sama mereka, hubungan lo dengan dengan wanita itu bisa
berjalan dengan lancar. Gak semudah itu, Vin. Ingat! Udah berapa lama lo
membohongi mereka? Terus sekarang tiba-tiba lo jujur ke orang tua lo, ke orang
tua gue, kalau semua cuma pura-pura? Lo pikir mereka akan menerima gitu aja?”
Kevin mulai merasa terpojok dengan perkataan Kanaya. “Gak semudah itu, Vin.
Orang tua lo itu sudah terikat sama keluarga Bramantya. Usaha perhotelan di
Belanda yang dijalankan orang tua lo itu sebenarnya adalah milik keluarga
Bramantya. Keluarga lo itu udah gak punya apa-apa.”
“Gue
gak perduli!” bentak Kevin. “Gue akan tetap membatalkan pertunangan ini!”
“Kevin…”
suara lain terdengar dari arah pintu. Kanaya dan Kevin serempak menoleh ke asal
suara itu. Dan saat itu tengah berdiri seorang wanita cantik berambut hitam
dengan panjang sebahu di depan pintu kamar Kevin yang terbuka. Wanita itu
menatap tajam pada Kevin.
“Mamah…”
ucap Kevin perlahan.
Kanaya
pun tak kalah terkejutnya. Entah sudah sejak kapan Maria berdiri di depan pintu
kamar Kevin. Setahu Kanaya, kedua orang tua Kevin sedang berada di Belanda, dan
ia tidak mendengar kabar mengenai kepulangan mereka ke Indonesia. Maria
tersenyum pada Kanaya. Ia merentangkan tangannya seolah menyuruh Kanaya untuk
segera memeluk dirinya.
Awalnya
Kanaya ragu. Mungkinkah ia mendengar semua percakapannya dengan Kevin? “Sini
sayang…” ucapnya dengan suara lembut. Perlahan Kanaya mendekat dan memeluk
Maria dengan erat. Perlahan ia merasakan tangan Maria mengelus kepalanya dan
kemudian berbisik, “Jangan menangis, sayang. Air mata kamu terlalu mahal.
Pergilah keluar sebentar, biar tante yang berbicara dengan Kevin.”
Kanaya
langsung keluar dari kamar Kevin setelah melepas pelukannya pada Maria. Dari
balik celah pintu yang sedikit terbuka, Kanaya melihat Maria tengah menampar
pipi Kevin dengan keras. Dan saat itu pula air mata Kanaya mengalir dengan
deras. Samar-samar Kanaya mendengar pembicaraan di dalam sana. Rupanya Maria
mendengar semua ucapannya dengan Kevin. Dan tentunya, ia sudah tahu dengan
kepura-puraan ini.
Maaf, Vin. Maafin aku.
Dan
sesungguhnya, disaat banyak orang yang mengirikan hubungannya dengan Kevin,
justru ia pun juga merasa sangat iri dengan hubungan orang-orang. Hubungan yang
nyata. Hubungan yang sederhana.
Kanaya
masuk ke dalam kamarnya. Ia mengecek handphone.
Rupanya ada missed call dari Maira.
Kanaya langsung menelfon balik Maira. Ia duduk di lantai dengan menyandar badan
tempat tidur. Sesekali menyeka air matanya. Ia berusaha melupakan pembicaraan
bersama Kevin barusan dengan bercerita hal-hal yang menyenangkan bersama Maira.
Setelah
mematikan sambungan telfonnya, baru Kanaya benar-benar menangis. Tangis yang
tidak pernah ada satupun yang mengetahuinya. Tangis yang tak pernah dibayangkan
oleh orang-orang yang memujanya. Namun, ini lah kenyataannya. Ini lah yang
sebenarnya terjadi. Kanaya sadar, orang tua Kevin tak benar-benar
menyayanginya. Mereka menyayangi harta dan kekayaannya. Mereka menjual Kevin
demi menyelamatkan kembali hidup mewah mereka yang hampir lenyap. Hati kecilnya
berbisik, tidak ada inisiatif perjodohan, ia lah yang meminta orang tuanya
untuk menjodohkannya dengan Kevin.
Terlalu
naif bila berfikiran jika cinta dapat dibeli dengan uang. Nyatanya, Kanaya
mencintai Kevin, dan ia membelinya. Sekalipun hal itu tidak membuatnya
benar-benar bahagia. Setidaknya, orang lain melihat kehidupannya mendekati
sempurna. Atau bahkan hampir sempurna. Mereka tidak pernah tahu, pada malam
harinya, berapa banyak air mata yang harus menggantikan senyum di pagi hari?
Biarkan saja orang-orang itu memuja kepalsuan hubungannya.
No comments:
Post a Comment