Andra Ramantra. Siapa yang tidak kenal
dengan remaja 19 tahun yang memiliki segudang teman di kampusnya? Andra yang
tampan. Andra yang memiliki banyak kelebihan materi. Andra yang digilai banyak
wanita. Andra yang bisa berganti wanita sesuai dengan keinginannya. Andra yang
bisa menjalin hubungan dengan wanita manapun tanpa takut merasa patah hati.
Hanya saja, satu yang tidak pernah orang-orang tahu, bahwa ia adalah Andra yang
kesepian. Lucu memang ketika seseorang tertawa paling keras di tengah
keramaian, namun ternyata justru merasakan kesepian yang begitu menyayat hati
terdalamnya. Dari sekian banyak wanita yang hadir ke dalam hidupnya, tak pernah
sekalipun ia membiarkan wanita itu menyentuh lebih jauh ke dalam relung
hatinya. Lagipula, Andra sadar, wanita itu mendekatinya bukan sebatas tulusnya
perasaan, hanya berdasarkan rasa nafsu dan materi. Terbukti jika Andra tidak
mau benar-benar berhubungan dengan wanita yang memang mencintainya.
“Ndra…
kalau ada apa-apa, cerita aja ya, sama aku. Ya, walaupun sekarang kamu
ngejauhin aku, tapi aku gak dendam sama kamu, aku akan selalu jadi teman
terbaik buat kamu…” Andra tersenyum kecut sambil mematikan ponselnya. Voice note dari Kemmy ia dengar dalam
perjalanan pulang ke rumah. Kemmy yang cantik, Kemmy yang malang. Andra
meninggalkan Kemmy setelah ia tahu jika wanita berhati baik itu memberikan
perasaan lebih padanya. Ia tidak mau tenggelam dalam kebaikan dan tulusnya
perasaan Kemmy. Andra tidak ingin jatuh cinta dan terbelenggu dalam rasa patah
hati. Ya… Andra takut patah hati. Sama seperti Tasya. Hari ini ia memutuskan
hubungannya dengan Tasya ketika ia tahu jika Tasya mulai memiliki perasaan
lebih dapanya. Hanya saja, Tasya tak setegar Kemmy.
Sambil mengemudikan mobilnya, satu
tangan Andra mulai mencari-cari sebuah nama di dalam ponselnya. Ia menekan
tombol dial setelah menemukan nama yang dicarinya. “Halo Fiola… hah? Tumben?
Perasaan kamu aja kali. Hahaha… enak aja, kamu tuh yang sombong. Hmm… iya iya.
Nih aku lagi di daerah rumah kamu. Oh… gak. Gak sibuk. Ya udah aku ke tempat
kamu sekarang, ya…” Andra mematikan kembali ponselnya. Seperti itulah dirinya
yang sebenarnya. Ia selalu menggunakan wanita-wanita itu jika perasaannya
sedang kalut.
Tak lama ponselnya kembali berbunyi.
Tanpa melihat siapa penelfonnya, Andra pun langsung menerimanya, “Apalagi sih,
sayang?”
“Heh!” teriak penelfon di sebrang sana.
Andra sedikit terkejut. Sepintas ia melihat ke layar ponsel dan tertawa geli
setelah ia tahu jika Stanza lah yang menelfonnya. “Hahahaha. Iyaaaaa, Stanza
sayang maksud gue? Ada apa, toh?
Belum ada sejam pisah sama gue, lo udah nelfon gue. Pasti lo gak puas kan
seharian ketemu sama gue…”
“Berisik
lo! Lo dimanaaaaaa?”
“Tuh, kan? Dari nada suara lo aja,
kayaknya lo pengen tau banget gue ada dimana.”
“Andra, gua serius…”
“Iya, iya, gue lagi di jalan mau ke
rumahnya Fiola. Kenapa? Mau ikut? Jangan, ya. Gue gak biasa threesome. Hahahahaha.”
“Oh.” Tiba-tiba saja sambungan telfon
terputus. Yah, dia ngambek. Andra
tertawa geli. Ia sudah biasa meladeni sifat Stanza yang seperti itu. Stanza
memang selalu seperti itu. Sering menelfoni teman-temannya, hanya sekedar
bertanya lagi apa, dimana, bersama siapa, lalu mematikan sambungan telfon
seenaknya saja. Entahlah, mungkin Stanza hanya iseng menelfon dirinya, pikir
Andra lagi. Buru-buru ia membelokan stirnya memasuki kawasan Pondok Indah.
Sudah ia putuskan, malam ini, ia akan bermalam di rumah Fiola.
Andra lupa kapan ia menjalin hubungan
dengan gadis kelahiran Sunda Jerman itu. Yang ia ingat, ia tidak lama
berpacaran dengan Fiola, dan saat itu Fiola sendiri juga sudah memiliki
kekasih. Namun setelah kekasih Fiola kembali ke Indonesia, mereka pun sepakat
mengakhiri hubungan mereka. Dan, apakah Andra merasa kehilangan? Tentu tidak.
Baginya, selama bersama Fiola, Fiola hanya teman tidur dan berbagi
kesenangannya saja. Fiola hanya tertarik dengan ketampanan dan hubungan seks,
tidak lebih. Lagipula, Andra bisa mendatangi Helen, Sisca, Dara, Julia, dan
sederet nama teman wanita lainnya.
“Halo… iya sayang. Udah, kok, udah. Nih
udah mau tidur…” samar-samar suara Fiola terdengar di telinga Andra. Entah
sudah berapa lama ia berada di kamar Fiola. Yang pasti, sesampainya ia di rumah
besar wanita ini, Fiola langsung menganjak Andra ke kamarnya dan melakukan
sesuatu yang memang seolah menjadi keharusan bagi mereka bila bertemu. Andra
berada di atas tempat tidur. Ia memiringkan badannya membelakangi Fiola.
Memandangi pakaian mereka yang tersebar di lantai. Entah, bagaimana prosesnya
baju itu bisa berserakan dilantai. Andra sendiri merasa jika pikirannya pun
entah berada dimana.
“Udah, udah aku kunci semua. Mami sama
Papi masih di Boston. Makanya kamu cepat balik ke Jakarta…” Fiola sedang asik
menelfon kekasihnya di sudut ruangan. Tubuh mulusnya hanya ditutupi oleh
selembar selimut. Sesekali tawa centilnya menggelitik di telinga Andra. Ia sama
sekali tidak cemburu. Hanya saja, ia mulai merasa bosan berada di kamar ini.
Andra turun dari tempat tidurnya dan mulai memakai pakaiannya. Mata Fiola terus
memperhatikan gerak-gerik Andra sambil terus menelfon. “Sayang, sebentar, ya.
Aku pengen pipis, nih. Nanti aku telfon balik.”
Buru-buru Fiola mendekati Andra. Seolah
tidak rela harus melihat kepergian Andra malam ini.
“Kamu mau kemana, sih?”
Andra tersenyum manis. Senyum yang
mampu menyembunyikan seluruh kegundahan dalam hatinya. “Kamu marah, ya, aku
cuekin?” Fiola memeluk Andra manja. Satu tangannya tetap memegangi selumut yang
sedang membungkus tubuhnya.
“Aku harus pergi, nih. Stanza bbm aku. Dia bilang lagi butuh bantuan
aku.” Fiola langsung melepaskan pelukannya. Andra mengecup kening Fiola. “Kapan
aja kan aku bisa ke tempat kamu.” Fiola mengangguk mengiyakan. “Aku pergi dulu,
ya.” Dalam sekejap Andra pun segera meninggalkan rumah Fiola. Saat keluar dari
kamar pun, samar-samar Andra mendengar suara Fiola yang kembali menelfon
kekasihnya. Kemudian Andra langsung menuju rumahnya. Stanza tidak benar-benar
meminta bantuannya. Ia hanya beralasan pada Fiola.
Ada apa dengan, Andra? Mengapa Andra
seperti ini? Terlihat sepi. Terlihat kosong. Terlihat hampa. Padahal usianya
masih terbilang muda, tetapi Andra sudah terjebak dalam pergaulan yang teramat
bebas, tanpa larangan. Andra pernah berfikir, jika memang benar setiap harinya
Tuhan selalu menjatahkan satu kotak tertawa pada manusia, rasanya ia hanya bisa
membuka kotak tertawanya bila sedang bersama teman-temannya.
Harusnya tidak seperti ini. Tidak jika
Bella masih ada di sisinya. Empat tahun yang lalu, saat ia masih duduk di kelas
satu SMA. Ia bertemu dengan perempuan tercantik dalam hidupnya. Kakak kelasnya
yang berusia dua tahun lebih tua darinya, Bella. Mereka berpacaran. Bagi Andra,
Bella lah pengganti sosok ibunya yang telah lama meninggal. Bella yang baik
hati. Bella yang sederhana. Andra tidak perduli jika Bella hanya seorang anak
penjual sayur di Pasar. Tak perduli dengan cibiran teman-temannya. Baginya,
Bella lah yang terbaik.
Karna faktor ekonomi, Bella tidak melanjutkan
kejenjang yang lebih tinggi. Ia hanya tercatat sebagai lulusan SMA. Dan mereka
masih menjalin hubungan selama kurang lebih satu tahun. Tapi sayang, cinta
memang tetap menjadi cinta, namun materi tetaplah menomor satukan harga diri
bagi orang-orang yang mementingkan kenikmatan hidup. Bella menerima lamaran
seorang duda kaya yang tertarik padanya. Dengan menikahi duda tersebut, derajat
keluarga Bella akan segera terangkat. Orang tuanya pun tak perlu berjualan lagi
di pasar. Bahkan pria itu pun berniat memboyong Bella untuk menikah di Belanda.
“Kamu…
mau nikah?”
“Iya,
Ndra. Maafin aku. Harus ada yang bisa aku lakukan untuk membahagiakan orang tua
aku. Kami ini keluarga miskin. Kami butuh uang untuk mencukupi hidup kami. Kami
juga capek jadi orang kesusahan terus.”
“Bella,
aku yakin kamu bukan orang seperti itu. Kalau soal uang, aku bisa bantu. Kamu
gak perlu nikah sama orang yang gak kamu cintai. Ada aku disini.”
“Apa
yang bisa aku harapkan dari anak sekolah seperti kamu? Uang aja aku yakin kamu
masih minta sama orang tua kamu. Dan soal cinta? Aku yakin, cinta itu akan
datang dengan sendirinya. Dan mulai sekarang, jangan pernah ingat-ingat aku
lagi…”
Untuk pertama kalinya, Andra tahu bagaimana
rasanya patah hati. Dan, apakah karna itu Andra mati rasa? Bukan. Bukan karna
Bella pergi meninggalkannya. Ia masih berusaha untuk bangkit. Ia masih mencoba
berdiri dengan sisa-sisa kepingan hatinya yang sudah tak terbentuk. Namun,
kenyataan pahit lainnya harus ia dapatkan. Pria yang dinikahi Bella adalah…
Papahnya.
Hubungan Andra dengan Papahnya pun tak
terlalu dekat. Sang Ayah sendiri berpendapat jika Andra hanya membutuhkan
uangnya saja, tak lebih. Dan Andra akui, ia memang hanya membutuhkan uang si
tua bangka ini. Papahnya hanya manusia biasa. Mamahnya meninggal dalam
kecelakaan pesawat saat ia berusia 10 tahun. Tentu Papahnya membutuhkan
pendamping baru untuknya. Ya… walaupun yang ia nikahi sama sekali tidak
memiliki sosok keibuan. Papahnya menikahi Bella untuk teman hidupnya, bukan
mencarikan Ibu baru untuk Andra.
Apa Andra dendam dengan Papahnya karna
telah menikahi Bella? Jawabannya tidak. Andra tahu, Papahnya tidak pernah tahu
jika Bella adalah kekasihnya, namun Andra yakin, Bella sangat tahu jika yang ia
nikahi adalah Ayah kandung dari kekasihnya. Andra tidak akan pernah bisa
membunuh perasaannya sendiri meskipun saat ini ia sangat membenci Bella.
Kenangan yang ditorehkan terlalu dalam. Andra menyimpan baik-baik kenangan
manisnya bersama Bella. Namun, wanita yang kini bersama Ayahnya, tak lain ia
sebut sebagai jalang.
Jam menunjukan pukul dua malam saat ia
masuk ke dalam rumahnya. Ia sempat melihat mobil Papahnya di depan rumah. Dan
itu tandanya, di dalam rumah ini ada Bella. Sambil menahan kantuk, Andra
melangkahkan kakinya ke dalam rumah. Lampu-lampu meja hanya menjadi penerang
kala itu. Tak mau berpapasan dengan siapapun di dalam rumah, Andra langsung
berlari menaiki anak tangga menuju lantai dua, kamarnya. Ia melempar jaketnya
saat melewati sofa. Wangi Fiola yang begitu menyengat rupanya menempel pada jaket
yang dipakainya, dan itu sedikit membuatnya merasa mual. Entah mengapa jika
berjauhan dengan wanita-wanita itu, perut Andra selalu merasa mual. Mual
mengingat perbuatannya sendiri.
Andra menutup pintu keras-keras. Saat
ia menyalakan lampu kamar, betapa terkejutnya ia ketika ada seseorang yang
langsung memeluknya dari belakang. “Aaaargghhh…” Andra berusaha melepaskan
pelukannya itu. Dan dilihatnya sosok Bella yang menatap nakal padanya. Bella
pasti menunggunya pulang. Menyebalkan, pikir Andra dalam hati. Bella memakai
baju tidur yang sangat seksi. Warna lipsticknya merah merona. Rambutnya
berwarna coklat terang. Benar-benar sosok wanita penggoda. Lagi-lagi Andra
ingin mual melihat Bella yang seperti itu. Beda sekali dengan Bella yang
pertama ia kenal. Dulu Bella berambut hitam dan… sepertinya, memakai bedak pun
tak pernah. Oh, tapi lihatlah Bella yang sekarang.
“Kamu kemana, sih, Ndra? Aku nungguin
kamu udah dari tadi. Papah kamu udah tidur di kamarnya. aku sengaja datang ke
kamar kamu, karna aku pengen tidur sama kamu.” Andra sontak menyingkirkan wajah
Bella yang hendak menyiumnya. Bella sangat bernafsu kala itu.
“Apa sih, Bel!” bentak Andra setengah
berbisik. “Lo udah gila, ya? Keluar lo dari kamar gue sekarang juga.”
“Udah, lah, Ndra. Emang aku gak tau?
Kamu masih cinta kan sama aku?”
“Gak! Bagi gue, lo tuh udah lama mati.
Kan lo sendiri yang bilang kalau kita harus menjalankan hidup kita
masing-masing.”
“Oh, ya?” Bella tertawa sinis. “Lalu
ngapain kamu manggil-manggil nama aku sewaktu kamu tertidur?” Andra terdiam.
Benarkah ia memanggil nama Bella saat sedang tertidur. Seperti itukah dirinya
setiap malam? Tersiksa dalam mimpi dan memanggil-manggil nama Bella? Memalukan!
Lagi-lagi Bella berusaha merengkuh
wajah Andra dan berusaha untuk menciumnya. Bibirnya hampir saja bersentuhan
dengan bibir Bella. “Ndra, plis. Jangan tolak aku lagi. Aku kangen sama kamu,
Ndra. Kamu tau kan alasan aku nikah sama Papah kamu itu hanya karna materi. Aku
cintanya sama kamu, Ndra.” Andra kesal. Ia merasa jijik. Sangat jijik.
Buru-buru dilepaskannya cengkraman Bella. “Lepasin gue!” teriak Andra dengan
suara keras. Ditariknya tangan Bella dan membawanya keluar dari kamarnya. Bella
menahan diri. Namun Andra berhasil membawanya keluar kamar.
“Jangan pernah sentuh gue lagi!”
Bella langsung memeluk Andra dengan
kuat. Dan Andra pun langsung mendorong tubuh Bella dengan kuat. Namun hal yang
tidak diinginkan pun terjadi, Papah Andra yang terbangun, rupanya tengah berjalan
ke lantai atas dan kini memergoki mereka berdua. Dan saat itu Andra tengah
memegangi kedua lengan Bella.
“Andra! Bella!” teriaknya keras.
Rambutnya sudah hampir memutih keseluruhan. Dahinya berkerut. Tubuhnya tinggi
besar. Dan kini matanya terlihat tajam memandang keduanya. Andra langsung
melepaskan pegangannya. Bella menangis dan berlari ke pelukan suaminya.
“Lihat, apa yang dilakukan anak mu! Dia
kembali mencoba merayuku, sayang. Aku sedang menonton televisi di ruang ini, ia
datang dan kemudian merayuku.” Suara Bella terdengar parau. Rupanya, selain menjadi jalang, Bella
berbakat menjadi seorang aktris, batin Andra dalam hati. Dan entah apa yang
dikatakan Bella lagi kepada Papahnya. Membela diripun tak ada gunanya. Papahnya
akan selalu mendengarkan perkataan istri mudanya itu. Dan seperti sudah tahu
apa yang akan terjadi selanjutnya, Andra pun tetap diam di tempat. Menanti sang
Ayah mendekatinya.
“Anak kurang ajar!” sebuah bogem mentah
langsung melayang ke pipi Andra. Hatinya menangis. Sakit sekali. Berkali-kali
Papahnya memukuli dirinya. Dari sudut matanya, Andra melihat Bella yang
tersenyum sinis padanya. Kemudian perlahan menuruni anak tangga. “Sudah ku
bilang, jangan pernah berani mengganggu Bella!” Andra tersungkur. Hidungnya
mengeluarkan darah. Rahangnya terasa sakit. Tak lama badannya terasa begitu
lemas. Papahnya menghentikan pukulannya setelah ia merasa hukuman yang
diberikan cukup. “Besok aku dan Bella akan kembali ke Belanda.” Ucapnya kesal
dan kemudian pergi meninggalkan Andra.
Dadanya terasa sesak. Nafasnya
tersengal-sengal. Ia menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya. Ini bukan pertama
kalinya Papahnya memukulinya seperti ini. Baginya, ini seperti sebuah hukuman
karna ia tidak pernah mau menuruti permintaan Bella. Bella yang licik. Bella
yang selalu berada di belakang Papahnya. Mengatakan kebohongan. Melampiaskan
amarah karna keinginannya tak tercapai. Dan ini lah yang sebenarnya terjadi. Ia
selalu berkata pada teman-temannya jika luka memar yang ia dapat karna dihajar
oleh kekasih wanita-wanitanya itu hanya bohong belaka. Papahnya lah yang
menorehkan luka ini. Dan luka terdalamnya, Bella yang mengkaryakannya. Bella
ibarat seniman sejati. Ukuran yang ia buat di dalam hati Andra akan tetap
abadi.
“Stan…”
“Apa?”
Andra mencoba menghubungi Stanza dengan
telfon genggamnya. Ia harus bicara dengan seseorang. Harus. Bukan untuk
mengadukan apa yang telah terjadi. Ia hanya ingin berbicara dengan seseorang,
itu saja.
“Sori ya, gue nelfon jam segini.”
“Iya, lagian gue masih di jalan, kok.”
“Lagi dimana?”
“Dimana-mana hati ku senang…”
“Yeee… nyebelin. Ternyata begini, ya,
rasanya jadi lo kalau lagi mau ngomong malah dibecandain.”
“Ciyeee, kepikiran gue, ya?”
“Udah deh jangan bercanda dulu, lagi
gak bisa bercanda nih, sakit mulut gue.”
“Hahahaha… makanya, jangan kebanyakan
ciuman.”
“Iya. Dicium sama pacarnya Fiola.”
“What????
Lo threesome sama cowoknya Fiola? Eh,
gilaaaaaa, lo Ndra. Hahahahaha. Sumpah, gue ketawa beneran, gak bohooooong.”
“Lo gilaaaaaaaa.”
“Hahaha. Udah, deh Ndra…” Suara Stanza
mulai terdengar melemah. “Lo bebas kok pacaran sama cewek manapun yang lo mau,
tapi kalau bisa jangan sama kekasih orang lain. Jaga-jaga aja, supaya jangan
ada yang tersakiti.”
“Iya, nih. Gue yang tersakiti, soalnya
gue yang ditonjok.”
“Ya udah, jangan lupa dikompres, ya
lukanya…”
“Ya, udah. Sampai ketemu di kampus.”
“Sampai ketemu juga, Ndra.”
Andra meletakan ponselnya di atas
tempat tidur. Ia kembali bersandar pada sisi ranjang sambil memegangi perutnya.
Sakit. Terasa sangat sakit. Namun yang ia rasakan bukanlah sakit pada luka
memar yang ada di tubuhnya, melainkan hati terdalamnya. Tadinya ia berfikir
akan sedikit mengalihkan perhatiannya dengan menelfon salah satu temannya.
Namun rasa sakit ini terlalu dasyat. Terlalu merajai jiwanya.
Andra kembali menangis. Ia menangis
dalam ruang yang kosong. Menangis dalam kesendirian. Andra merasa sangat
kesepian. Pelipur laranya memang telah berubah menjadi ujung tombak yang selalu
menusukan runcingnya tepat di dalam hatinya. Tak ada bedanya dengan wanita
jalang di luar sana. Namun rasa kebencian itu terasa sakit. Sakit sekali. Karna
saat ini, Andra begitu merindukan pelipur laranya. Andra merindukan Bella.
Rindu yang tak akan tersampaikan. Rindu yang mengoyak jiwa kesepiannya.
Dan Andra, tersiksa.
No comments:
Post a Comment