Part 1
Sore
hari. Di sebuah sekolah.
“Fabian…”
“Apa
sih, Tara? Aku buru-buru nih.”
Tara
sempat menunggu Fabian di luar kelas. Namun saat Fabian keluar, Fabian seolah
tidak menghiraukan Tara, dan terus saja berjalan meninggalkan kekasihnya itu.
Tara agak kesal. Dengan cepat ia langsung mengikuti langkah kaki Fabian.
“Masa
aku minta tolong sama kamu sekali aja kamu gak bisa sih?” Tara terus saja
mengikuti langkah kaki Fabian yang semakin cepat. Wajahnya kesal. Entah mengapa
ia selalu harus memohon tiap kali meminta pertolongan pada Fabian. Ia tidak
perduli beberapa pasang mata yang tengah melihat ke arahnya. Bubaran usai
sekolah membuat lorong-lorong tampak ramai dengan siswa-siswa lainnya.
“Ya
emang gak bisa sekarang. Kalau aku bilang nggak bisa ya berarti emang aku gak
bisa.” Fabian tidak menoleh sedikitpun pada Tara. Ia terus saja berjalan sambil
menuruni anak tangga.
“Tapi
kan kamu gak bisa cuma karna janjian sama Alina. Masa nganter Alina ke toko
buku kamu bisa. Sedangkan aku, pacar kamu sendiri, susah banget kayaknya mau
minta tolong sama kamu.”
Saat
ini Tara sedang membawa sebuah kardus berukuran sedang yang berisi peralatan
mading-nya. Ia tampak kesulitan dengan bawaannya tersebut. Belum lagi ia harus
bejalan cepat mengikuti langkah kaki Fabian saat ini.
Tara
sengaja meminta bantuan Fabian untuk mengantarnya pulang. Biasanya Tara memang
jarang sekali meminta Fabian untuk mengantarnya pulang, namun karna kali ini
bawaannya cukup banyak, dan ia tahu Fabian ke sekolah membawa mobil sendiri
sehingga akan memudahkan Tara pulang ke rumah jika bersama Fabian mengingat ia harus
membawa pulang kardus berisi peralatan mading-nya tersebut.
Fabian
menghentikan langkahnya. Ia menatap Tara kesal.
“Kamu
pulang naik taksi aja deh. Lagian kamu mau aja sih disuruh bawa pulang
begituan.”
“Loh
ini kan emang tugas aku. Kan kamu tahu sendiri aku pengurus mading.”
“Ya
emang suruh yang lain gak bisa? Kan gak perlu ngerepotin aku kayak gini.”
“Oh.
Kamu ngerasa direpotin sama aku sedangkan sekarang kamu mau pergi sama Alina.”
Tarisa tersenyum tipis. Ia berusaha menahan amarahnya. “Kamu suka kan sama
Alina?”
“Kalau
ngomong jangan ngaco yah! Kalau aku suka sama Alina, yang ada kamu aku putusin
dan aku pacaran sama si Alina. Ya asal kamu jangan bikin aku sampai suka sama
Alina aja gara-gara aku kesal sama ucapan kamu barusan.”
Lalu
Fabian berlalu begitu saja. Tara hanya menarik nafas perlahan. Kenapa ia sampai
bertengkar dengan Fabian hanya karna memintanya untuk mengantarnya pulang. Entah
mengapa ia tidak pernah merasa jika Fabian menyayanginya. Tidak seperti
pasangan-pasangan yang lainnya. Sudah hampir satu tahun mereka berpacaran, tapi
tetap saja Tara merasa jika Fabian terlalu cuek kepadanya. Namun perasaan suka
telah membutakan Tara.
Kejadian
barusan ternyata dilihat oleh sahabat-sahabat Tara, Monika dan Vanya. Mereka
menghampiri Tarisa setelah tahu Fabian telah pergi. Mereka berdua seakan tidak
heran melihat kejadian barusan. Sudah sering sekali meleka melihat Tara
bertengkar dengan Fabian. Tapi yang mereka heran, entah mengapa Tara masih saja
mempertahankan Fabian.
Monika
menepuk pundak Tara sambil tersenyum kecil. Sedangkan Vanya seolah menatap
kepergian Fabian dengan tatapan kesal.
“Gila
ya si Fabian. Enak banget ngomong kayak gitu.” Sahut Vanya kesal.
Vanya,
cewek cantik berambut pendek sebahu tampaknya memang mendengar jelas ucapan
dari mulut Fabian tadi. Kemudian ia menatap Tara dengan pandangan kasihan. Tara
nampak tidak perduli. Ia memang sering mendengar ucapan-ucapan seperti itu dari
Vanya ataupun Monika. Tapi percuma saja, Tara seolah-olah tidak menyadari sifat buruk Fabian
terhadapnya.
“Gua
sih ya, kalau jadi lo, udah gue tinggalin si Fabian itu.” Ucap Vanya sinis. “Lo
juga sih Ra! Lo kenapa jadi bego banget sih? Harga diri lo kayak diinjak-injak
banget deh. Cowok lo itu gak mau nganterin lo karna punya janjian jalan sama
cewek lain. Emang lo gak cemburu apa?”
Tara
sempat menghelang nafas panjang. “Ngapain gue cemburu. Fabian kan pacar gue.
Dia udah jadi milik gue. Gak ada gunanya juga gue cemburu.” Dari cara bicara
Tara, terdengar sekali jika kini ia berusaha untuk setenang mungkin. “Mungkin
emang Fabian udah keburu punya janji sama Alina kali.”
“Astaga
Tara…” Vanya seakan sempat kesulitan berkata-kata. Ia tidak menyangka tanggapan
Tara akan seperti itu saja. “Satu sekolah juga tahu kali mereka dekatnya kayak
bukan teman biasa. Gue sebagai sahabat lo cuma gak suka aja lihat lo kayak
gini. Fabian tuh kayak gak pernah nganggep lo tahu gak? Fabian hanya ada disaat
dia yang butuh lo. Tapi apa? Mana pernah dia ada disaat lo butuh dia. Bahkan
untuk hal kecil kayak gini aja dia gak bisa kan?”
“Kok
lo jadi jelek-jelekin Fabian sih?”
“Gue?
Jelek-jelekin cowok yang emang kelakuannya udah jelek itu? Gue lihat kenyataan
kali. Lo tuh dipelet kali ya sampai segitunya sama Fabian. Dia hanya manfaatin
lo aja, Ra. Masih banyak cowok yang benar-benar tulus sayang sama lo. Contohnya
si Kian. Kenapa sih gak lo tinggalin Fabian dan lo kasih kesempatan buat Kian
deketin lo?”
“Kok
lo jadi ngatur hidup gue sih? Gak usah sok tahu ya, Nya. Pacar aja lo gak
punya. Tahu apa sih lo soal hubungan gue? Gak usah sok tahu deh.”
Vanya
sempat terdiam. Ia sadar jika dirinya memang tidak punya kekasih. Ia semakin
kesal dengan sahabatnya yang satu ini.
“Gue
lebih milih jomblo, dari pada punya pacar tapi jadi orang bego kayak lo.”
“Terserah
lo!” sahut Tara cuek. Monika yang dari tadi diam jadi merasa serba salah.
Dengan
kesal Vanya langsung pergi meninggalkan koridor sekolah. Ia kesal dengan Tara
yang susah sekali untuk dinasehati. Padahal Vanya sayang sekali dengan Tara.
Monika yang hanya diam dari tadipun jadi merasa tidak enak. Ini bukan pertama
kalinya Vanya dan Tara bertengkar hanya karna urusan Fabian. Monika sendiri
juga tidak menyangkal apa yang diucapkan Vanya barusan. Hanya saja ia tidak
terlalu berani mengucapkan terang-terangan seperti itu pada Tarisa.
Tiba-tiba
cowok yang tadi sempat disebut oleh Vanya datang. Ia adalah Kian. Cowok tampan
yang ramah ini memang sudah lama menyukai Tara. Namun Kian adalah cowok yang
sopan dan baik hati. Ia tidak pernah memaksa Tara untuk mau menjadi pacarnya.
“Tara.
Ini puisi yang mau gue sumbangin buat di mading.” Kian menyodorkan selembar
kertas yang berisi penuh dengan tulisan tangan. Karna Tara kesulitan menerima
kertas tersebut, Monika langsung mengambilnya dan menyelipkannya ke dalam
kardus yang sedang dibawa Tarisa.
“Oke.
Makasih ya.” Ucap Tara sambil tersenyum pada Kian.
“Oh
iya. Ngomong-ngomong, lusa nanti lo ada acara gak? Di balai kota ada pameran
lukisan gitu loh. Lo mau datang nggak sama gue?” ajak Kian sopan.
Mendengar
ajakan Kian, justru Monika yang terlihat tersenyum senang. Sebenarnya ai juga
lebih menyukai Kian daripada Fabian, tapi apa daya, tampaknya Tara belum mau
membuka hatinya untuk Kian.
“Maaf
ya Kian. Lo tahu kan gue udah punya cowok. Apa kata orang kalau gue jalan sama
orang lain?”
Kian
langsung mengangguk. Setelah mengucapkan terimakasih ia langsung pergi
meninggalkan Tara dan Monika. Monika menatap Tara heran. Heran dengan ucapan
Tara barusan.
“Lo
mikirin apa kata orang?” tanya Monika heran.
“Terus
apa kabar sama Fabian yang jalan sama cewek lain?” sahutnya kemudian. Tara
langsung melirik sebal pada Monika. Namun Monika buru-buru mengalihkan
pembicaraan. “Eh. Yuk. Lo pulang bareng gue aja ya?”
Tara
langsung mengangguk perlahan.
***