Terdiam kita menyimpan beribu bahasa. Menyembah kebisuan merajai
ketiadakataan. Aku di sini. Aku berdiam diri. Menyeruakan amarah melalui
tatapan mata, namun enggan ku melihat kamu.
Sepengecutkah aku yang seperti itu? Lalu bagaimana dengan kamu yang tak
berani menawarkan rasa pada sang pengecut seperti aku?
Sampai akhirnya aku yang
berteriak pada jiwa yang kesepian. Tatkala ku pandu semua persemayaman kata
yang belum pernah tereja oleh lidah kelu. Kamu terdiam. Mematunglah kamu dengan
sejuta perasaan yang sudah kau tinggalkan. Lalu berteriak mencaci waktu dan
keadaan.
Dan kemudian…
Aku bersembunyi. Dari ketiadakataan rasa yang tak terucap aku
bersembunyi. Cukup saja hati kita yang berteriak. Cukup hati kita yang mengadu
pada ketidak adilan keadaan. Haruskah kita menangis? Mengemis pada remah waktu
yang tak bisa kita gapai? Untuk apa kita mengejar? Untuk apa kita merangkak
mengumpulkan butiran detik-detik yang telah kita ludahi sendiri.
Menerobos ruang lingkup yang bernama kehampaan. Kamu mencoba
memaksakan. Namun aku tersakiti. Lagi-lagi kita berteriak mengadu pada
ketiadakataan yang terlambat untuk tereka. Ini salah ku. Sudah aku ungkapkan
ketidak adilan ini semua asalnya dari aku. Aku takut. Dan kemudian aku
bersembunyi.
Hingar bingar di luar menerpa kesombongan hati yang tak juga mau
mengakui bahwa kita sedang berjudi dengan himpitan keegoisan rasa. Kita yang
selalu meneriakan kepada senja untuk mempercepat malam. Tak akan pernah takut
dengan gelap yang dirasa. Seperti itulah kita. kesombongan itulah kita.
Hmmmm… sudahlah :)
No comments:
Post a Comment