Gemblong, Kemarin, dan Cinta
Hari ini aku dilempari gemblong.
“Pluk!” gemblong lengket berwarna coklat mendarat
mulus di kepalaku. Aku tahu siapa pelakunya. Pasti si tukang gemblong sialan
itu.
“Heh! Sembarangan!” teriak ku lantang pada si pemilik
tubuh kurus kering yang biasa menjajakan jualan gemblong di pasar becek dekat
stasiun kereta. “Lihat, nih! Gara-gara kamu rambut saya jadi lengket.”
Ia pura-pura tak mendengarkan amarah ku. Dan yang
membuat ku semakin kesal, justru ia menatapku dengan tatapan sengit. Mengajak ribut!
Kesal! Semua ini gara-gara majikan ku yang jarang di rumah. Aku jadi keliling
mencari makanan tiap sore. Dan kemudian bertemulah aku dengan si tukang
gemblong sialan itu.
“Hih, dia pikir dia siapa?” curhat ku pada Mimin, teman ku yang sering
berkeliaran di dekat penjual kue basah. “Aku kan tidak tertarik dengan gemblong
sialan itu! Tidak juga dengan si penjualnya yang bau tanah itu.”
“Memang apa yang membuat kamu dilempari gemblong?”
“Aku...” sesaat aku ragu mengatakannya pada Mimin. “Aku
menghamili Junet.”
“Apaaaaa????” Pantas saja ia begitu kesal kepadamu.
“Tapi kan aku tidak sengaja. Aku dan Junet pun saling
mencintai.”
“Tapi kan kamu tau kalau si tukang gemblong bau apek
itu suka sayang sekali pada Junet.”
“Biar saja!”
Aku kesal. Sepertinya Mimin tak memihak ke padaku. Ku pulang
saja. Siapa tahu majikan ku sudah pulang dari acara arisan berliannya bersama
ibu-ibu komplek.
“Guguuu...! mau makan, nggak?” suara majikan ku dari
kejauhan membuat ku berlari semakin kencang. Tiba-tiba saja suara itu lebih
menarik dari cinta kemarin. Dan membuatku lupa pada si tukang gemblong sialan
itu.
“Pusss... sini kucing manis...!” lagi-lagi teriakan
gemas dari majikan ku membuat ku melupakan kejadian hari ini. Siapa suruh
kucing kampung suka sama kucing keren seperti aku.