Kini, Araka memang telah menjadi
pelipur lara orang lain. Namun, apakah semua perasaan cinta yang tengah
dirasakan oleh Moza seorang diri ini akan ia lepaskan begitu saja? Ternyata tidak
semudah itu. Lucu memang ketika kita sangat mencintai seseorang, namun orang
itu kini tengah menceritakan orang lain dengan tatapan mata yang sangat
bahagia. Moza hanya dapat mendengarkannya dengan senyum tipis.
“Jadi, kapan giliran lo untuk mencari
cinta yang baru?”
“Cinta yang baru apa?”
“Loh, kan lo sendiri yang bilang sama
gue kalau cowok yang lo suka itu lagi pergi jauh.”
Seperti biasa, Moza dan Araka tengah
berada di kafe yang biasa mereka datangi. Tempat dimana pertama kali mereka
bertemu beberapa tahun silam.
Moza tersenyum kecut. “Gue selalu
percaya sama perasaan gue. mungkin saat ini ia sedang berada di tempat yang
jauh, tapi mungkin saja, one day, dia
akan datang kembali. Karna gue yakin jika rumah yang sebenarnya ada di sini.”
Moza berucap tanpa menatap Araka.
Tak lama Araka pun keluar dari kafe
mendahului Moza. Dari balik jendela ia lihat kekasih Araka tengah menjemputnya.
Mereka terlihat sangat bahagia. Dan Moza pun hanya dapat tersenyum. Walau hati
menangis, ia berusaha tetap yakin.
Seorang pelayan yang sudah sangat
mengenal Moza pun menghampirinya dengan sebuah teh hangat. Ia tertawa kecil
memandang apa yang kini tengah dilihat Moza.
“Ya, ampun, mbak. Masih aja sih
ngarepin si teman, mbak itu. Gila, loh nanti lama-lama.”
Moza tertawa kecil. “Memang, apa yang
salah dari sebuah penantian?”
Si pelayan hanya tersenyum kecil
sambil meninggalkan Moza.
Moza pun kembali pada lamunannya. “Aku tidak percaya jika merelakan merupakan
bentuk dari mencintai. Aku yakin dengan mencintaimu. Aku tidak akan
kemana-mana. Hingga sampai saatnya tiba nanti kau pulang ke padaku. Aku akan
pastikan jika akan selalu ada orang di rumah. Selalu ada aku…”