“Sayang,
kamu lagi dimana? Kamu kok dari tadi aku telfon gak diangkat. Aku nyariin tahu.
Kalau kemana-mana tuh bilang. Jadi aku gak nyariin.”
Tara
sedikit tertegun mendengar suara lembut Fabian di sebrang sana. Dari tadi
Fabian memang menelfonnya tapi baru sekarang ia mengangkatnya. Awalnya Tara
sempat ragu untuk mengangkatnya. Ia merasa perlu waktu untuk berfikir mengenai
hubungannya dengan Fabian.
Namun
akhirnya Tara mengangkat juga telfon dari Fabian. Dan kini didengarnya nada
bicara Fabian yang seakan memang benar-benar sangat mengkhawatirkannya. Ia
tahu, jika sedang baik seperti ini pasti Fabian sedang ada maunya. Beda sekali
dengan nada bicara Fabian tadi siang.
“Aku
gak kemana-mana. Aku di rumah.”
“Oh.
Gitu yah. Yang, aku lagi di bengkel nih. Mobil ku masuk bengkel barusan. Aku
belum dapet uang. Kamu bisa tolong transferin aku sekarang bisa gak?”
Tara
terdiam. Entah mengapa hatinya terasa sangat sedih. Fabian tidak benar-benar
mencari dirinya karna mengkhawatirkan dirinya.
“Oh.
Itu. Hmmm, besok aku kasih cash aja
yah.”
“Oke
deh. Makasih sayang. Bye.”
Tara
kembali terdiam. Majalah yang tadi sedang dibacanya rasanya sudah tidak menarik
lagi. Ia berfikir sejenak. Entah mengapa ia benar-benar baru menyadari jika
Fabian tidak benar-benar menyayanginya. Fabian hanya mempertahankannya dengan
satu alasan. Keuntungan yang bisa Fabian dapatkan dari dirinya. Sikap manis
yang ia terima barusan dari Fabian semata-mata memang karna Fabian sedang
membutuhkannya.
Diluar
itu? Entah kenapa Tara selalu menutup mata dan telinganya akan kejanggalan itu.
Ia baru menyadari jika ia mirip sekali dengan si Bodoh dalam cerita yang di
ceritakan tadi siang oleh Monika. Kini Tara tidak bisa menyangkal lagi. Ia
memang telah lama terbelenggu dengan kebodohannya sendiri. Ia terlalu takut
untuk melihat di sekelilingnya. Tara harus mengakhiri semua ini. Ia tidak mau
lagi menjadi si Bodoh dalam cerita yang diceritakan oleh Monika. Ia harus
memikirkan kebahagiaan untuknya. Kebahagiaan sesungguhnya yang tidak pernah ia
dapatkan dari Fabian.
***
Pagi
ini Tara datang ke sekolah dengan memantapkan perubahan di dirinya. Walau masih
agak takut tapi ia tetap harus melakukan suatu tindakan. Ia berfikir semalaman.
Ia memikirkan kata-katanya sendiri saat mengomentari si Bodoh dalam cerita yang
diceritakan oleh Monika. Mungkin perubahan ini hanya ada dua alasan. Karna ia
sudah belajar cukup banyak atau karna ia sudah terlalu disakiti cukup banyak.
Tara
tersenyum senang saat melihat Monika dan Vanya di dekat gerbang sekolah.
Tampaknya mereka juga baru sampai. Tara langsung menghampiri kedua sahabatnya.
Tapi yang disapanya terlebih dahulu adalah Vanya. Ia tahu kemarin ia baru saja
terlibat pertengkaran kecil dengan sahabatnya ini.
“Kita
baikan ya.”
“Siapa
yang marahan.” Sahut Vanya santai.
“Kan
lo yang kemarin marah-marah sama gue.”
“Ngaco!”
Monika
tersenyum geli. Ia hafal betul. Jika Tara dan Vanya habis bertengkar, pasti
esok harinya ia akan mendapati Vanya yang bersikap seolah-olah jika tidak
terjadi apa-apa.
Tiba-tiba
perhatian mereka teralih karna melihat ada Fabian di parkiran. Fabian juga
tampaknya baru sampai.
“Gue
kesana dulu yah.” Pamit Tara pada Vanya dan Monika. Vanya mendengus kesal. Ia
seperti tidak rela jika sahabatnya itu masih berhubungan dengan Fabian. Namun
mereka berdua nyatanya tidak meninggalkan parkiran. Vanya dan Monika seperti
ingin mengetahui apa yang ingin dibicarakan oleh Tara dan Fabian.
Melihat
Tara datang, raut wajah Fabian langsung gembira. Tara tahu kalau Fabian akan
bersikap manis kepadanya karna ada satu hal yang diminta Fabian tadi malam.
“Kamu
bawa motor?” Tara melirik motor yang baru saja diparkir oleh Fabian.
“Iya
sayang. Kan mobilnya masih di bengkel, hehehe.” Tara berfikir, tumben sekali
Fabian memanggilnya dengan sebutan sayang.
“Kamu
jadi minjemin aku uang kan?”
Tara
tersenyum tipis. “Hmm, tadinya. Tapi kayaknya gak jadi deh. Kan kamu bukan
pacar aku lagi sekarang. Mungkin kamu bisa cari pinjaman ke pacar-pacar kamu
yang lain kali.”
Fabian
terlihat bingung. Ia seakan tidak percaya dengan apa yang didengarnya saat ini.
Tara yang dianggapnya sangat penurut itu tidak biasanya berkata seperti ini.
“Maksud
kamu?”
“Kita
putus.” Jawab Tara santai.
Tara
pergi meninggalkan Fabian dan menghampiri Vanya dan Monika yang masih berdiri
di tempat yang sama. Vanya dan Monika seakan-akan seperti tidak percaya apa
yang baru saja mereka dengar. Tara tertawa kecil sambil merangkul kedua
sahabatnya untuk masuk ke dalam sekolah. Terdengar Fabian berteriak-teriak
memanggil namanya. Namun Tara tidak mau menoleh ke belakang lagi. Ia akui jika
dirinya masih menyayangi Fabian. Namun cukup sudah ia dibutakan oleh
perasaannya sendiri. Kini saatnya ia memikirkan kebahagiaan untuk hatinya. Ia
hanya tersenyum kecil dan mulai menempatkan Fabian sebagai masa lalunya.
Tara
menghentikan langkahnya ketika ia melihat Kian yang sedang berdiri di dekat
lapangan basket. Tara langsung melepaskanrangkulannya pada Monika dan Vanya. Ia
menghampiri Kian. Kian sendiri tampak tidak percaya saat Tara mendatanginya.
“Hai.
Besok pamerannya jam berapa?” Tanya Tara ramah.
Kian
terbengong. Tapi sebelum Tara meninggalkannya, ia langsung semangat menjawab
pertanyaan Tara barusan. “Oh. Itu. Sore sih.”
“Hmmm…
lo jadi mau ngajak gue kan?”
“Hah?”
Kian terlihat benar-benar masih tidak percaya.
“Lo
jemput gue, ya?”
“Emang
nggak apa-apa lo jalan sama gue?”
“Emang
ada larangan cewek jomblo jalan sama teman cowok-nya ya?” Tara tertawa kecil. Ia
tidak menjadikan Kian sebagai tempat pelariannya. Ia hanya mencoba mencari
kebahagiaan itu pada Kian.
Ya…
semoga saja.
Sementara
itu Vanya dan Monika menatap Tara takjub. Seakan-akan itu bukan Tara yang mereka
kenal. Tapi setidaknya lebih baik. Tentu ini menjadi sebuah kejutan baik yang
diperlihatkan olah sahabat mereka. Vanya masih saja terheran-heran. Sedangkan
Monika, ia sadar, mungkin cerita tentang si Bodoh dan si Penjahat yang ia ceritakan
pada Tara telah menyadarkan sahabatnya itu.
“Gue
benar-benar heran si Tara kesambet apa. Dari tadi dia gak berhenti-berhenti
ngasih kejutan ke kita. Tapi yang pasti, gue benar-benar ngerasa lega dan
bersyukur banget kalau ia bisa melepas si Fabian.”
“Kita
tunggu aja sampai dia yang cerita.”
Monika
tersenyum dan mengajak Vanya untuk masuk ke dalam kelas. Mereka membiarkan
temannya sedang bahagia. Di sana masih ada Tara dan Kian yang nampaknya sedang
asik berbicara. Sesekali Tara terlihat tertawa ketika mendengar celotehan Kian.
Sebelumnya ia memang tidak pernah berbicara banyak dengan Kian seperti
sekarang. Tapi ternyata Kian anak yang asik dan sopan. Bahkan sesekali
ucapan-ucapan Kian mampu menimbulkan gelak tawa.
“Bagus
deh. Gue gak akan lagi berantem-berantem sama Tara karna soal Fabian.”
Monika
tertawa kecil. “Ngomong-ngomong, Fabian jomblo tuh.”
“Terus
kenapa?”
“Siapa
tau lo mau jadi pacarnya gantiin Tara.”
“MONIKAAAA…!”
Teriak Vanya keras. Monika langsung berlari kencang sebelum Vanya berhasil
mencubitnya.
Berjuang
untuk perubahan itu memang susah. Tapi terkadang yang menyebabkan sulit itu
adalah meninggalkan apa yang telah berada lama di sisi kita.
Namun
Tara sadar. Ia memang menempatkan Fabian di sisinya, tapi dirinya, tidak pernah
ada di sisinya. Dan Tarisa tidak perlu lagi takut untuk melepaskan Fabian dari
sisinya. Karna satu fakta tentang kehidupan, apakah baik atau buruk, semua
harus tetap berjalan. Mungkin tidak ada salahnya jika ia mulai membuka mata dan
hatinya untuk Kian.
Mungkin
terdengar lucu ketika bagaimana seseorang lari dari orang-orang yang mencoba
membuat mereka bahagia namun orang itu justru berjuang untuk orang-orang yang
telah membuat mereka menangis. Seperti itu lah Tara yang kemarin. Tapi kini
semua sudah berubah. Sepertinya si Bodoh memutuskan untuk melihat orang baik di
kota lain dari pada terus untuk tinggal di rumah sang Penjahat.
Kemudian
si Bodoh mengganti namanya menjadi si Bahagia. Jangan khawatir tentang
bagaimana hal-hal yang mungkin berubah. Hanya ingat bahwa tidak ada yang datang
kepada seseorang selama orang itu tidak berani untuk mencobanya.
No comments:
Post a Comment