Good Morning, Univers!

i dont know if i've ever felt like that :)

Thursday, October 11, 2012

Semoga saja



Entah, apa salahnya dengan cinta yang hadir di dalam persahabatan. Aditra mampu mengutarakannya. Baginya, tidak ada alasan yang membuatnya tidak jatuh cinta pada Anye. Namun, bagi Anye, entah. Ia merasa awam dengan cinta yang hadir diantara persahabatan. Aditra pun mampu menafsirkan perasaannya. Ini cinta, bukan obsesi.
Terbukti sudah bertahun-tahun mereka bersahabat. Entah sudah berapa ribuan hari mereka jalani bersama. Berapa jutaan lelucon yang saling mereka lontarkan. Tak terhitung Aditra mendengar tawa Anye. Dan tak terhitung pula Anye menangis di hadapan Aditra. Ya, persahabatan ini memang nyata adanya.
“Gue udah sampai rumah, Dit. Sorry, ya, tadi ganggu malam-malam.” Anye memandangi foto dirinya bersama Aditra yang terdapat di atas meja belajarnya. Seolah saat ini ia tidak sedang berbicara di telfon, melainkan bertatap langsung dengan sahabatnya itu. Sahabat yang mencintainya.
“Lo gak perlu berfikir jika saat ini perasaan gue sedang tidak baik. So far im okay. Really. Lo gak perlu mencemaskan apa-apa.”
Aditra masih terdiam mendengar suara Anye di telfon. Kemana Anye yang biasanya? kemana suara lantang Anye yang biasa ia dengar?
“Terimakasih untuk cintanya. Tapi gue lebih nyaman dengan cinta lo sebagai seorang sahabat.”
“Gue masih boleh nunggu lo, kan?” sahut Aditra cepat. Hatinya cemas. Ia tahu, meskipun saat ini hati Anye sedang terluka, namun Anye masih tangguh berdiri seorang diri. Sekalipun ia menawarkan pelukan untuknya. Entah, Anye takut terluka atau memang benar tidak akan pernah ada cinta diantara mereka.
“Hei. Lo ngomong apaan sih, Dit.” Tersengar suara Anye menguap. Jam memang telah menunjukan pukul satu malam. Terlalu sepi jika malam ini hanya diisi dengan suara mereka berdua. Keduanya memang sedang merasa sepi.
“Lo harus tau, Nye. Gue gak akan kemana-mana. Gue akan selalu ada disini.”
“Makasi, ya, Dit. Good night…”
Night too…”
Aditra berdoa dalam hatinya. Tuhan pasti saat ini mendengarnya. Tuhan mengetahui kesepian hati masing-masing umatnya. Ya, semoga. Semoga saja.

Hanya Saja



Malam-malam sekali Anye datang ke rumah Aditra. Kenal lama membuat Anye selalu diterima baik di rumah ini. Jam berapapun. Padahal sore tadi Anye sedang memamerkan kebahagiaannya pada Aditra. Dengan senyum sumringah ia berkata jika ia sudah move on dari Kevin.
Harusnya saat ini Aditra sudah dimanjakan oleh bunga tidurnya. Tapi demi Anye, ia rela terjaga sesaat demi mendengarkan cerita sahabatnya itu. Anye tak akan bisa menunggu sampai esok hari untuk menceritakannya pada Aditra. Tidak juga melalui sambungan telfon.
Dengan mata sayup-sayup Aditra mencoba untuk duduk diam di tepi tempat tidurnya. Tentu bersama Anye.
Aditra diam. Anye berbicara. Aditra memulai satu kalimat. Anye melontarkan sejuta kata. Anye yang manja. Anye yang pemarah. Anye yang selalu ingin didengarkan. Aditra tak pernah memusingkan itu semua. Ia sangat menyayangi Anye. Bukan kah ketika kamu mencintai seseorang itu tandanya kamu harus mengambil seluruh bagian yang tersaji dari mereka? Tidak hanya mengagumi keindahannya saja, namun kamu pun harus menerima seluruh sifat jeleknya.
“Lo tau kan, Dit, gue tuh sebenernya gak rugi, untung malah bisa lepas dari Kevin. Seperti yang lo bilang, seolah-olah gue membuang waktu gue hanya untuk terus bersama dia.”
“Hmmm… iya.”
And you knoooow…” ucap Anye bersemangat, “Tadi sih gak niat kan tuh, jalan sama Echa. Muter-muter mall, dan…” tiba-tiba Anye terdiam.
Aditra masih memandangi Anye. Dengan sabar menunggu kelanjutan kalimat yang akan diucapkannya. Aditra tersenyum kecut dalam hatinya. Ia tidak akan pernah bosan mendengarkan Anya.
“Gue ketemu Kevin…” suara Anye terdengar perlahan. Ditatapnya Aditra sambil tersenyum. “Gue ngeliat dia bersama seseorang, dan… gue tau, mereka terlihat sangat bahagia.” Aditra masih terdiam. Ia tahu, Anye sedih. Sangat sedih. Hanya saja yang ia tahu, Anye sangat tidak ingin dikasihani.
“Ah, udah ahhhhh…. Hahahahahaha…! Gue kesini cuma mau laporan itu aja.” Anye tetap menunjukan wajah cerianya.
“Mungkin udah saatnya lo membuka hati lo untuk orang lain, Nye.” Ucapan Aditra spontan membuat raut wajah Anye sedikit heran. “Gue masih ada di sini buat lo.”
Sesaat Anye terdiam. Namun tak lama ia tertawa kecil sambil beranjak dari tempat tidur Aditra. “Hahaha… apaan sih lo, Dit. Kayaknya udah terlalu malam gue gangguin lo. gue cabut, ya. Bye!”
Lagi-lagi Aditra terdiam. Ia yakin betul sebenarnya Anye sudah tahu perasaannya. Hanya saja… mungkin belum mau mengerti.

Thursday, September 13, 2012

One Day



Kini, Araka memang telah menjadi pelipur lara orang lain. Namun, apakah semua perasaan cinta yang tengah dirasakan oleh Moza seorang diri ini akan ia lepaskan begitu saja? Ternyata tidak semudah itu. Lucu memang ketika kita sangat mencintai seseorang, namun orang itu kini tengah menceritakan orang lain dengan tatapan mata yang sangat bahagia. Moza hanya dapat mendengarkannya dengan senyum tipis.
“Jadi, kapan giliran lo untuk mencari cinta yang baru?”
“Cinta yang baru apa?”
“Loh, kan lo sendiri yang bilang sama gue kalau cowok yang lo suka itu lagi pergi jauh.”
Seperti biasa, Moza dan Araka tengah berada di kafe yang biasa mereka datangi. Tempat dimana pertama kali mereka bertemu beberapa tahun silam.
Moza tersenyum kecut. “Gue selalu percaya sama perasaan gue. mungkin saat ini ia sedang berada di tempat yang jauh, tapi mungkin saja, one day, dia akan datang kembali. Karna gue yakin jika rumah yang sebenarnya ada di sini.” Moza berucap tanpa menatap Araka.
Tak lama Araka pun keluar dari kafe mendahului Moza. Dari balik jendela ia lihat kekasih Araka tengah menjemputnya. Mereka terlihat sangat bahagia. Dan Moza pun hanya dapat tersenyum. Walau hati menangis, ia berusaha tetap yakin.
Seorang pelayan yang sudah sangat mengenal Moza pun menghampirinya dengan sebuah teh hangat. Ia tertawa kecil memandang apa yang kini tengah dilihat Moza.
“Ya, ampun, mbak. Masih aja sih ngarepin si teman, mbak itu. Gila, loh nanti lama-lama.”
Moza tertawa kecil. “Memang, apa yang salah dari sebuah penantian?”
Si pelayan hanya tersenyum kecil sambil meninggalkan Moza.
Moza pun kembali pada lamunannya. “Aku tidak percaya jika merelakan merupakan bentuk dari mencintai. Aku yakin dengan mencintaimu. Aku tidak akan kemana-mana. Hingga sampai saatnya tiba nanti kau pulang ke padaku. Aku akan pastikan jika akan selalu ada orang di rumah. Selalu ada aku…”

Tak Tereka oleh Rasa




“Za…”
“Ya…”
“Pernah kamu membayangkan jika ada seseorang yang mampu menyentuh hidupmu dengan begitu hebat? Begitu tak terbayangkan sampai-sampai membuat kamu tidak menyesal karna telah dilahirkan ke dunia ini?”
“Aku…”
“Kamu harus tahu sesuatu…”
“Soal apa?”
Araka meraih kedua tangan Moza yang berada di atas meja. Perlahan, dan kemudian genggaman itu menjadi begitu erat. Sangat erat. Araka pun menatap mata Moza lekat-lekat. Dengan sangat berhati-hati ia memulai ucapannya kembali.
“Aku, Araka, bersumpah pada Tuhan, tidak akan mengkhianati seseorang yang telah dikirimkan untuknya padaku. Orang yang mampu merubah pandanganku akan dunia. Orang yang mampu menyentuh hatiku dengan begitu dalam. Orang yang mampu membuatku sangat berarti di dunia ini.”
Moza terdiam. Bibirnya kelu. Dan ia kembali mendengarkan ucapan Araka.
“Kamu lah orang itu. Aku yakin, datangnya kau di kehidupanku tidak dengan tanpa alasan. Aku mencintai…kamu.”
Moza tersenyum kecil pada Araka. Perlahanpun Araka mulai melepaskan pegangan tangannya.
Satu detik…
Dua detik…
Tiga detik…
Sepuluh detik…
“Hahahaha…” Tak lama Araka tertawa sambil mengacak rambut depan Moza. “Payah banget ya gue, mau nembak cewe aja harus latihan sama lo.”
“Iya, emang lo payah.” Canda Moza. “Ya sudah sana, biasanya kan jam segini dia udah keluar dari kampusnya.”
Araka langsung bangun dari kursi yang di dudukinya. “Oke. Doain gue ya. Terimakasih banget loh, Za.” Araka pun perlahan mulai meninggalkan kafe dimana kini ia dan Moza berada. Tak lama ia pun menoleh lagi pada Moza sambil tersenyum kecil.
“Hei. Gue tunggu kabar baik dari lo. Semoga lo juga cepat mendapatkan pendamping hidup.”
Moza hanya tersenyum kecil. Ia tidak menoleh. Selepas kepergian Araka, perlahan air matanya mulai terjatuh. Perasaan hati terdalamnya pun ikut menangis. Hati terdalamnya saat ini telah ditinggalkan. Bukan salah Araka. Araka memang tidak tahu jika Moza sebenarnya sangat menyukai dirinya. Dan kini, yang bisa Moza lakukan hanya mendoakan kebahagiaan Araka.