Good Morning, Univers!

i dont know if i've ever felt like that :)

Thursday, September 13, 2012

One Day



Kini, Araka memang telah menjadi pelipur lara orang lain. Namun, apakah semua perasaan cinta yang tengah dirasakan oleh Moza seorang diri ini akan ia lepaskan begitu saja? Ternyata tidak semudah itu. Lucu memang ketika kita sangat mencintai seseorang, namun orang itu kini tengah menceritakan orang lain dengan tatapan mata yang sangat bahagia. Moza hanya dapat mendengarkannya dengan senyum tipis.
“Jadi, kapan giliran lo untuk mencari cinta yang baru?”
“Cinta yang baru apa?”
“Loh, kan lo sendiri yang bilang sama gue kalau cowok yang lo suka itu lagi pergi jauh.”
Seperti biasa, Moza dan Araka tengah berada di kafe yang biasa mereka datangi. Tempat dimana pertama kali mereka bertemu beberapa tahun silam.
Moza tersenyum kecut. “Gue selalu percaya sama perasaan gue. mungkin saat ini ia sedang berada di tempat yang jauh, tapi mungkin saja, one day, dia akan datang kembali. Karna gue yakin jika rumah yang sebenarnya ada di sini.” Moza berucap tanpa menatap Araka.
Tak lama Araka pun keluar dari kafe mendahului Moza. Dari balik jendela ia lihat kekasih Araka tengah menjemputnya. Mereka terlihat sangat bahagia. Dan Moza pun hanya dapat tersenyum. Walau hati menangis, ia berusaha tetap yakin.
Seorang pelayan yang sudah sangat mengenal Moza pun menghampirinya dengan sebuah teh hangat. Ia tertawa kecil memandang apa yang kini tengah dilihat Moza.
“Ya, ampun, mbak. Masih aja sih ngarepin si teman, mbak itu. Gila, loh nanti lama-lama.”
Moza tertawa kecil. “Memang, apa yang salah dari sebuah penantian?”
Si pelayan hanya tersenyum kecil sambil meninggalkan Moza.
Moza pun kembali pada lamunannya. “Aku tidak percaya jika merelakan merupakan bentuk dari mencintai. Aku yakin dengan mencintaimu. Aku tidak akan kemana-mana. Hingga sampai saatnya tiba nanti kau pulang ke padaku. Aku akan pastikan jika akan selalu ada orang di rumah. Selalu ada aku…”

Tak Tereka oleh Rasa




“Za…”
“Ya…”
“Pernah kamu membayangkan jika ada seseorang yang mampu menyentuh hidupmu dengan begitu hebat? Begitu tak terbayangkan sampai-sampai membuat kamu tidak menyesal karna telah dilahirkan ke dunia ini?”
“Aku…”
“Kamu harus tahu sesuatu…”
“Soal apa?”
Araka meraih kedua tangan Moza yang berada di atas meja. Perlahan, dan kemudian genggaman itu menjadi begitu erat. Sangat erat. Araka pun menatap mata Moza lekat-lekat. Dengan sangat berhati-hati ia memulai ucapannya kembali.
“Aku, Araka, bersumpah pada Tuhan, tidak akan mengkhianati seseorang yang telah dikirimkan untuknya padaku. Orang yang mampu merubah pandanganku akan dunia. Orang yang mampu menyentuh hatiku dengan begitu dalam. Orang yang mampu membuatku sangat berarti di dunia ini.”
Moza terdiam. Bibirnya kelu. Dan ia kembali mendengarkan ucapan Araka.
“Kamu lah orang itu. Aku yakin, datangnya kau di kehidupanku tidak dengan tanpa alasan. Aku mencintai…kamu.”
Moza tersenyum kecil pada Araka. Perlahanpun Araka mulai melepaskan pegangan tangannya.
Satu detik…
Dua detik…
Tiga detik…
Sepuluh detik…
“Hahahaha…” Tak lama Araka tertawa sambil mengacak rambut depan Moza. “Payah banget ya gue, mau nembak cewe aja harus latihan sama lo.”
“Iya, emang lo payah.” Canda Moza. “Ya sudah sana, biasanya kan jam segini dia udah keluar dari kampusnya.”
Araka langsung bangun dari kursi yang di dudukinya. “Oke. Doain gue ya. Terimakasih banget loh, Za.” Araka pun perlahan mulai meninggalkan kafe dimana kini ia dan Moza berada. Tak lama ia pun menoleh lagi pada Moza sambil tersenyum kecil.
“Hei. Gue tunggu kabar baik dari lo. Semoga lo juga cepat mendapatkan pendamping hidup.”
Moza hanya tersenyum kecil. Ia tidak menoleh. Selepas kepergian Araka, perlahan air matanya mulai terjatuh. Perasaan hati terdalamnya pun ikut menangis. Hati terdalamnya saat ini telah ditinggalkan. Bukan salah Araka. Araka memang tidak tahu jika Moza sebenarnya sangat menyukai dirinya. Dan kini, yang bisa Moza lakukan hanya mendoakan kebahagiaan Araka.

Saturday, September 8, 2012

Karma 2



Jam menunjukan pukul 2 malam. Dan Mami pun masih terjaga dari tidurnya. Ia mendapati tempat tidurnya yang masih kosong. Rupanya suami yang dicinta belum juga pulang. Mami memutuskan untuk melihat ke kamar Kina. Rasanya tadi ia belum puas memandang wajah anaknya itu.
Kamar Kina masih terang, namun ia sudah terlelap di atas tempat tidurnya. Anaknya sudah besar. Pasti sudah mengenal cinta. Pikirnya dalam hati. Namun dibalik senyum itu, tampak luka yang begitu mendalam. Apalagi saat Mami melihat frame foto Kina bersama seorang pria di atas meja kecil.
“Tapi sayang, Nak. Kamu memilih cinta yang salah…”
Mami pun tak berlama-lama berada di kamar Kina. Dan saat ia kembali ke kamarnya, rupanya suaminya pun tengah berada di dalam kamar. Wajahnya sangat lelah. Terlihat suntuk dan tak bergairah. Ingin rasanya Mami beradu mulut dengan Papi. Mengadukan seluruh kesah yang ada di hatinya.
Namun dibalik perasaan marah, masih terdapat cinta yang begitu mendalam. Mami memang dendam, tapi cinta itu menguatkannya. Sekalipun harus berbagi dengan orang lain. Mami terus yakin dan percaya, dan yakin jika hati suaminya ini masih tersisa sedikit untuknya.
Papi menoleh saat melihat kedatangan Mami. Ia tersenyum kecil sambil mendekati Mami dan mengecup keningnya perlahan. Mami pun diam saja. Ia yakin mereka sama-sama tahu. Namun mungkin untuk sementara, berpura-pura tidak ada apa-apa adalah sikap yang tepat.

Karma



Kina termenung saat memasuki ruang makan yang lengkap dengan makan malam istimewa. Semua masih tertata begitu rapi. Namun terlihat jelas jika semua makanan itu sudah tampak dingin. Ia melirik jam dinding menunjukan pukul 11 malam.
Ia sendiri baru pulang dari bertemu dengan seseorang. Ingin rasanya ia memakan semua makanan yang terlihat sia-sia ini. Seolah sudah tahu apa yang terjadi, perlahan Kina duduk di salah satu kursi. Ada raut sedih dalam wajahnya saat menatap makan malam yang ada di hadapannya ini. Makan malam yang terlihat khusus diperuntukan dua orang tersebut pasti telah disiapkan Maminya dari sore tadi. Tapi sayang, tampaknya Papi tidak pulang saat jam makan malam.
Kina bergerak perlahan menjauhi meja makan. Ingin rasanya ia melihat keadaan Maminya saat ini. lalu, naiklah ia ke lantai dua. Rumah mewah ini selalu tampak sepi. Dan hal ini pula yang membuat Kina tidak begitu menyukai saat-saat berada di rumah.
Dibukanya perlahan pintu kamar Mami. Terlihat Mami yang tengah tertidur di atas sebuah sofa panjang di dekat tempat tidur. Perlahan kakinya melangkah mendekati Mami.
“Mi…” bisik Kina perlahan, “Tidurnya pindah ke tempat tidur, ya.”
Mami membuka matanya cepat. Ia sedikit kaget. Sedikit malu karna Kina mendapatinya tertidur dengan pakaian yang rapi. Kina pun berusaha mengerti apa yang ada di pikiran Mami.
“Papi lagi ada meeting. Jadi pulang terlambat.”
Mami tersenyum kecut. “Kamu gak usah ngebela Papi kamu. Mami sudah menduga jika Papi kamu saat ini sedang bersama kekasihnya.” Perlahan Mami berjalan menuju tempat tidur. “Tapi Mami tak akan menyerah untuk mempertahankan rumah tangga kami.”
Kina terdiam. Ia tak banyak bicara. Setelah mendapati Mami di atas tempat tidur, ia pun langsung keluar kamar Mami. Ditutupnya perlahan pintu kamar Mami. Terdiam.
Perlahan kakinya terasa lemas. Ia memang sedang menutupi apa yang diperbuat oleh Papinya. Ia tahu betul dimana Papinya saat ini. Saat ia berada di luar rumah tadi, ia pun sempat melihat Papi bersama wanita lain di sebuah restaurant.
Kina menangis perlahan sambil menutup ke dua matanya. Dadanya sakit. dalam hati ia berkata, “Maaf, Mi. Maaf harus terus menutupi kesalahan Papi. Kina hanya merasa jika Kina sangat mengerti perasaan Papi lebih dari Kina merasakan penderitaan Mami. Seolah Kina merasa jika Kina adalah separuh dari Papi. Karna saat ini kekasih Kina adalah… suami orang lain.”