Good Morning, Univers!

i dont know if i've ever felt like that :)

Tuesday, January 13, 2015

#RabuMenulis Siapa bilang mencintai itu tidak membutuhkan keberanian?

Siapa bilang mencintai itu tidak membutuhkan keberanian?

Awalnya aku hanya merasa jika apa yang diucapkan Melly pada ku hanya sebagian dari ribuan kalimat sederhana yang sering ia lontarkan, mengenai kisah asmaranya, hubungan percintaan antara dua manusia di dunia, atau hanya sekedar perasaan spele yang mudah datang dan pergi.
“Lo pikir mencintai pria yang sudah memiliki istri itu tidak butuh keberanian? Hahaha.”
Ah, Melly memang nekat. Terang saja ku bilang nekat. Apa lagi memang kata yang tepat kalau bukan nekat menyukai mantan teman semasa kuliahnya yang tengah memiliki seorang istri. Melly bertemu dengan Andra saat mereka tidak sengaja bertemu di sebuah mall setelah dua tahun tidak bertemu. Semenjak pertemuan itu, Melly mengaku pada ku jika ia terlibat hubungan emosional dengan pria yang baru saja lima bulan menikah.
“Dia itu sama istrinya dijodohin, Ra.”
“Ya, terus kenapa? Terus kalau hubungan pernikahan mereka berdasarkan perjodohan, jadi lo merasa tidak berdosa gitu masuk ke dalam hubungan mereka?”
“Bukan gue yang mau kali.”
Aku benar-benar tidak mengerti lagi. Aku juga mengenal Andra karna kita berteman dari SMA. Sampai akhirnya aku melanjutkan kuliah di tempat yang sama dengan Andra dan kemudian mempertemukan ku dengan Melly. Dan semenjak itu aku menjadi teman baik Melly. Melly orang yang sangat ceria. Orang yang sangat menikmati hidup. Dan yang paling aku suka darinya adalah, ia sangat jujur pada perasaannya sendiri. Tapi bukan berarti aku mendukung perasaannya pada Andra. Bagaimana pun juga, Andra juga teman ku. Aku tidak mau Melly merusak hubungan rumah tangga yang baru berjalan lima bulan.
“Andra bilang apa?”
“Dia bilang kalau dia naksir gue dari jaman-jaman kuliah.”
“Hah?”
“Hahahaha… lo tau kan kalau gue gak pernah lama sama cowok. Dikit-dikit ganti pacar. Dan itu yang bikin dia takut buat deketin gue.”
“Terus karna sekarang dia udah nikah, jadi dia berani deketin lo, gitu?”
“Gue kok yang deketin dia.” Melly terdiam sesaat seolah melambungi kenangannya yang sempat terlewati. “Waktu dia buat pengakuan seperti itu, gue merasa ingin membalas perasaannya yang dulu. Tapi siapa sangka gue pun sekarang mencintai dia.”
“Dan lo mau merebut Andra?”
“Ya, gak laaaahhh… yang namanya mencintai itu kan berarti membebaskan. Dan seperti yang gue bilang….” Melly menoleh pada ku. Mata kami bertemu. “Mencintai itu butuh keberanian. Termasuk keberanian untuk menjadi patah hati. Dari awal gue tidak menganggap hal ini merupakan kesenangan semata, kok. Gue tau yang gue lakukan itu butuh keberanian yang besar. Keberanian untuk membebaskan perasaan gue. Membiarkan ia mencintai sampai puas. Tidak mengekang dan juga menutupi. Setidaknya kalaupun rasa sakit itu akhirnya datang, gue akan merasakan sakit yang memang sudah sewajarnya, bukan karena perbuatan gue sendiri.”
“Maksudnya?”
“Masa lo gak paham, sih? Mencintai Andra itu otomatis memang akhirnya akan patah hati. Tapi bukan sakit yang terjadi karna kita dengan sengaja memendam perasaan itu.”
Tiba-tiba saja aku seolah dapat mengerti ucapan Melly barusan. Dan entah mengapa aku seolah memberi izin pada Melly untuk melakukan apa yang ia suka, yaa.. walaupun dengan atau tanpa izin ku, ia memang tetap akan melakukannya.
Dan sore itu, aku merasa telah memahami apa yang menurutku hanya sekedar kalimat sederhana. Ternyata benar adanya, mencintai seseorang itu memang butuh keberanian. Termasuk keberanian setelahnya.
Sayangnya… aku tidak pernah sebenari Melly.

Sainganku kini bertambah. Tanpa bersabarpun aku sudah kalah. Selamanya aku akan tetap mencintai Andra, secara diam-diam.