Good Morning, Univers!

i dont know if i've ever felt like that :)

Wednesday, January 23, 2013

Harusnyaa.. :)

Cinta ini harusnya bisa begitu sangat sederhana…

Sepenggal kalimat iulah yang menjadi impiantak pernah menginginkan lebih dalam ambang batas realita yang beradu pada lamunan. Menyatakan segala rasa. Mengucap asa dari cawan yang berisi buliran cerita kehidupan. 

Terasa rumit…

Bisakah kita tetap beradu dengan perjudian hidup yang terkadang hanya menawarkan realita tak bersahabat. Disaat apa yang kita minta hanyalah sttfyyjnjnjhnnjjuatu hal yang sangat sederhana namun kita tahu berapa harga yang harus kita bayar untuk melembarkan mimpi menjadi buku kehidupan. 

Semahal itukah impian kita?

Ketika aku mencoba berpijak di atas himpitan awan kelam dengan mata-mata sayu yang meragukan keyakinan. Berpegangan dalam batas ambang yang sulit tereja. Melalui mulut ini ku teriakan bisika n hati yang tak bersuara. Pecahan malam berganti fajar tak juga dapat membayar itu semua. 

Ketika kamu mulai menapaki butiran senja dimana hingar bingar meluap mengoyakan puing keangkuhan akan harga, lantas tak juga terdengar asal muasal kegelisahan yang hampir mengoyakan rasa. Mereka tahu kita berusaha.

Bagaimana cara kita menapaki semua itu? Bagaimana cara kita mengejar kehampaan yang semakin meluap tak bersuara? Bagaimana kita menghalau semua perjudian hidup yang mengorbankan harapan kita?  Tanya itu tak berguna. 

Kita tak berguna. Kita tak terucap. Kita mungkin binasa. 

Lantas, terjarak kita akan relungan waktu yang tak bisa rengkuh? Aku terdiam ketika semua kelu beradu di batas sendu. Aku tahu duka itupun datang pada kamu yang mulai terbawa dalam perjudian waktu. Pada kamu yang mulai berani menentang arogansi mata sendu. 

Serumit itukah cerita yang ditawarkan pada kita?

Mengapa tak biarkan saja kita bercerita. 
Dengan impian kita yang biasa saja. 
Cinta ini harusnya bisa menjadi sangat sederhana…


lucu yaaa...
padahal kita tidak ingin seperti orang-orang.
kita tidak iri dengan cerita lainnya...
bahkan kita hanya berharap cerita yang paling sederhana...

Setidaknya... ketika hidup menawarkan cerita yang rumit pada kita, kita harus ingat jika akan ada sebuah akhir dari segala cerita. 

Monday, January 21, 2013

Cerita Pendek - Si Bodoh dan Si Penjahat 1

Part 1


Sore hari. Di sebuah sekolah.
“Fabian…”
“Apa sih, Tara? Aku buru-buru nih.”
Tara sempat menunggu Fabian di luar kelas. Namun saat Fabian keluar, Fabian seolah tidak menghiraukan Tara, dan terus saja berjalan meninggalkan kekasihnya itu. Tara agak kesal. Dengan cepat ia langsung mengikuti langkah kaki Fabian.
“Masa aku minta tolong sama kamu sekali aja kamu gak bisa sih?” Tara terus saja mengikuti langkah kaki Fabian yang semakin cepat. Wajahnya kesal. Entah mengapa ia selalu harus memohon tiap kali meminta pertolongan pada Fabian. Ia tidak perduli beberapa pasang mata yang tengah melihat ke arahnya. Bubaran usai sekolah membuat lorong-lorong tampak ramai dengan siswa-siswa lainnya.
“Ya emang gak bisa sekarang. Kalau aku bilang nggak bisa ya berarti emang aku gak bisa.” Fabian tidak menoleh sedikitpun pada Tara. Ia terus saja berjalan sambil menuruni anak tangga.
“Tapi kan kamu gak bisa cuma karna janjian sama Alina. Masa nganter Alina ke toko buku kamu bisa. Sedangkan aku, pacar kamu sendiri, susah banget kayaknya mau minta tolong sama kamu.”
Saat ini Tara sedang membawa sebuah kardus berukuran sedang yang berisi peralatan mading-nya. Ia tampak kesulitan dengan bawaannya tersebut. Belum lagi ia harus bejalan cepat mengikuti langkah kaki Fabian saat ini.
Tara sengaja meminta bantuan Fabian untuk mengantarnya pulang. Biasanya Tara memang jarang sekali meminta Fabian untuk mengantarnya pulang, namun karna kali ini bawaannya cukup banyak, dan ia tahu Fabian ke sekolah membawa mobil sendiri sehingga akan memudahkan Tara pulang ke rumah jika bersama Fabian mengingat ia harus membawa pulang kardus berisi peralatan mading-nya tersebut.
Fabian menghentikan langkahnya. Ia menatap Tara kesal.
“Kamu pulang naik taksi aja deh. Lagian kamu mau aja sih disuruh bawa pulang begituan.”
“Loh ini kan emang tugas aku. Kan kamu tahu sendiri aku pengurus mading.”
“Ya emang suruh yang lain gak bisa? Kan gak perlu ngerepotin aku kayak gini.”
“Oh. Kamu ngerasa direpotin sama aku sedangkan sekarang kamu mau pergi sama Alina.” Tarisa tersenyum tipis. Ia berusaha menahan amarahnya. “Kamu suka kan sama Alina?”
“Kalau ngomong jangan ngaco yah! Kalau aku suka sama Alina, yang ada kamu aku putusin dan aku pacaran sama si Alina. Ya asal kamu jangan bikin aku sampai suka sama Alina aja gara-gara aku kesal sama ucapan kamu barusan.”
Lalu Fabian berlalu begitu saja. Tara hanya menarik nafas perlahan. Kenapa ia sampai bertengkar dengan Fabian hanya karna memintanya untuk mengantarnya pulang. Entah mengapa ia tidak pernah merasa jika Fabian menyayanginya. Tidak seperti pasangan-pasangan yang lainnya. Sudah hampir satu tahun mereka berpacaran, tapi tetap saja Tara merasa jika Fabian terlalu cuek kepadanya. Namun perasaan suka telah membutakan Tara.
Kejadian barusan ternyata dilihat oleh sahabat-sahabat Tara, Monika dan Vanya. Mereka menghampiri Tarisa setelah tahu Fabian telah pergi. Mereka berdua seakan tidak heran melihat kejadian barusan. Sudah sering sekali meleka melihat Tara bertengkar dengan Fabian. Tapi yang mereka heran, entah mengapa Tara masih saja mempertahankan Fabian.
Monika menepuk pundak Tara sambil tersenyum kecil. Sedangkan Vanya seolah menatap kepergian Fabian dengan tatapan kesal.
“Gila ya si Fabian. Enak banget ngomong kayak gitu.” Sahut Vanya kesal.
Vanya, cewek cantik berambut pendek sebahu tampaknya memang mendengar jelas ucapan dari mulut Fabian tadi. Kemudian ia menatap Tara dengan pandangan kasihan. Tara nampak tidak perduli. Ia memang sering mendengar ucapan-ucapan seperti itu dari Vanya ataupun Monika. Tapi percuma saja, Tara  seolah-olah tidak menyadari sifat buruk Fabian terhadapnya.
“Gua sih ya, kalau jadi lo, udah gue tinggalin si Fabian itu.” Ucap Vanya sinis. “Lo juga sih Ra! Lo kenapa jadi bego banget sih? Harga diri lo kayak diinjak-injak banget deh. Cowok lo itu gak mau nganterin lo karna punya janjian jalan sama cewek lain. Emang lo gak cemburu apa?”
Tara sempat menghelang nafas panjang. “Ngapain gue cemburu. Fabian kan pacar gue. Dia udah jadi milik gue. Gak ada gunanya juga gue cemburu.” Dari cara bicara Tara, terdengar sekali jika kini ia berusaha untuk setenang mungkin. “Mungkin emang Fabian udah keburu punya janji sama Alina kali.”
“Astaga Tara…” Vanya seakan sempat kesulitan berkata-kata. Ia tidak menyangka tanggapan Tara akan seperti itu saja. “Satu sekolah juga tahu kali mereka dekatnya kayak bukan teman biasa. Gue sebagai sahabat lo cuma gak suka aja lihat lo kayak gini. Fabian tuh kayak gak pernah nganggep lo tahu gak? Fabian hanya ada disaat dia yang butuh lo. Tapi apa? Mana pernah dia ada disaat lo butuh dia. Bahkan untuk hal kecil kayak gini aja dia gak bisa kan?”
“Kok lo jadi jelek-jelekin Fabian sih?”
“Gue? Jelek-jelekin cowok yang emang kelakuannya udah jelek itu? Gue lihat kenyataan kali. Lo tuh dipelet kali ya sampai segitunya sama Fabian. Dia hanya manfaatin lo aja, Ra. Masih banyak cowok yang benar-benar tulus sayang sama lo. Contohnya si Kian. Kenapa sih gak lo tinggalin Fabian dan lo kasih kesempatan buat Kian deketin lo?”
“Kok lo jadi ngatur hidup gue sih? Gak usah sok tahu ya, Nya. Pacar aja lo gak punya. Tahu apa sih lo soal hubungan gue? Gak usah sok tahu deh.”
Vanya sempat terdiam. Ia sadar jika dirinya memang tidak punya kekasih. Ia semakin kesal dengan sahabatnya yang satu ini.
“Gue lebih milih jomblo, dari pada punya pacar tapi jadi orang bego kayak lo.”
“Terserah lo!” sahut Tara cuek. Monika yang dari tadi diam jadi merasa serba salah.
Dengan kesal Vanya langsung pergi meninggalkan koridor sekolah. Ia kesal dengan Tara yang susah sekali untuk dinasehati. Padahal Vanya sayang sekali dengan Tara. Monika yang hanya diam dari tadipun jadi merasa tidak enak. Ini bukan pertama kalinya Vanya dan Tara bertengkar hanya karna urusan Fabian. Monika sendiri juga tidak menyangkal apa yang diucapkan Vanya barusan. Hanya saja ia tidak terlalu berani mengucapkan terang-terangan seperti itu pada Tarisa.
Tiba-tiba cowok yang tadi sempat disebut oleh Vanya datang. Ia adalah Kian. Cowok tampan yang ramah ini memang sudah lama menyukai Tara. Namun Kian adalah cowok yang sopan dan baik hati. Ia tidak pernah memaksa Tara untuk mau menjadi pacarnya.
“Tara. Ini puisi yang mau gue sumbangin buat di mading.” Kian menyodorkan selembar kertas yang berisi penuh dengan tulisan tangan. Karna Tara kesulitan menerima kertas tersebut, Monika langsung mengambilnya dan menyelipkannya ke dalam kardus yang sedang dibawa Tarisa.
“Oke. Makasih ya.” Ucap Tara sambil tersenyum pada Kian.
“Oh iya. Ngomong-ngomong, lusa nanti lo ada acara gak? Di balai kota ada pameran lukisan gitu loh. Lo mau datang nggak sama gue?” ajak Kian sopan.
Mendengar ajakan Kian, justru Monika yang terlihat tersenyum senang. Sebenarnya ai juga lebih menyukai Kian daripada Fabian, tapi apa daya, tampaknya Tara belum mau membuka hatinya untuk Kian.
“Maaf ya Kian. Lo tahu kan gue udah punya cowok. Apa kata orang kalau gue jalan sama orang lain?”
Kian langsung mengangguk. Setelah mengucapkan terimakasih ia langsung pergi meninggalkan Tara dan Monika. Monika menatap Tara heran. Heran dengan ucapan Tara barusan.
“Lo mikirin apa kata orang?” tanya Monika heran.
“Terus apa kabar sama Fabian yang jalan sama cewek lain?” sahutnya kemudian. Tara langsung melirik sebal pada Monika. Namun Monika buru-buru mengalihkan pembicaraan. “Eh. Yuk. Lo pulang bareng gue aja ya?”
Tara langsung mengangguk perlahan.

***

Waktu kita tidak bersama


Terdiam kita menyimpan beribu bahasa. Menyembah kebisuan merajai ketiadakataan. Aku di sini. Aku berdiam diri. Menyeruakan amarah melalui tatapan mata, namun enggan ku melihat kamu.
Sepengecutkah aku yang seperti itu? Lalu bagaimana dengan kamu yang tak berani menawarkan rasa pada sang pengecut seperti aku? 

Sampai akhirnya aku yang berteriak pada jiwa yang kesepian. Tatkala ku pandu semua persemayaman kata yang belum pernah tereja oleh lidah kelu. Kamu terdiam. Mematunglah kamu dengan sejuta perasaan yang sudah kau tinggalkan. Lalu berteriak mencaci waktu dan keadaan.

Dan kemudian…

Aku bersembunyi. Dari ketiadakataan rasa yang tak terucap aku bersembunyi. Cukup saja hati kita yang berteriak. Cukup hati kita yang mengadu pada ketidak adilan keadaan. Haruskah kita menangis? Mengemis pada remah waktu yang tak bisa kita gapai? Untuk apa kita mengejar? Untuk apa kita merangkak mengumpulkan butiran detik-detik yang telah kita ludahi sendiri.

Menerobos ruang lingkup yang bernama kehampaan. Kamu mencoba memaksakan. Namun aku tersakiti. Lagi-lagi kita berteriak mengadu pada ketiadakataan yang terlambat untuk tereka. Ini salah ku. Sudah aku ungkapkan ketidak adilan ini semua asalnya dari aku. Aku takut. Dan kemudian aku bersembunyi.

Hingar bingar di luar menerpa kesombongan hati yang tak juga mau mengakui bahwa kita sedang berjudi dengan himpitan keegoisan rasa. Kita yang selalu meneriakan kepada senja untuk mempercepat malam. Tak akan pernah takut dengan gelap yang dirasa. Seperti itulah kita. kesombongan itulah kita.

Hmmmm… sudahlah :)