Good Morning, Univers!

i dont know if i've ever felt like that :)

Wednesday, March 18, 2015

#RABUMENULIS JANJI YANG HARUS DITEPATI

JANJI YANG HARUS DITEPATI


"Mira, aku harus pergi sebelum ibumu datang."
"Jangan tinggalin aku, Mas!"
"Besok aku akan datang lagi. Aku janji."
"Nggak, Mas. Kamu nggak boleh pergi meninggalkan aku!"
Suara langkah terdengar jelas mengarah ke pintu kamar Mira. Mira dan Gama saling berpandangan. Mira menangis. Ia perpegangan erat pada lengan Gama. Ia berharap pria yang dicintainya itu akan segera membawanya pergi.
"Aku sudah berjanji akan selalu bersamamu, Mas. Kemana pun kau berada!"
"Maaf, Mira! Tapi ibumu membawa seseorang yang sangat kuat. Orang yang dapat memisahkan kita untuk selamanya."
"Mas...." Gama melepas paksa genggaman tangan Mira. Beruntung ia berhasil melepaskannya saat pintu kamar Mira terbuka. Ana muncul bersama seorang Pak Tua yang berwajah sangar. Ia memakai kalung batu dan juga cincin besar. Jenggotnya yang panjang menamba kesangaran wajahnya.
"HEI! PERGI KAU DARI KAMAR MIRA!!!" Teriaknya lantang.
"MAS GAMAAAA.....!!! JANGAN TINGGALIN AKUUUUU.....!!!"
"Lepasin, nak! Relakan, suamimu. Dia sudah meninggal!!!"
Ana memeluk anak gadisnya yang tampak lusuh. Ia tidak tahan lagi melihat kondisi Mira yang semakin hari semakin tak menentu. Apalagi harus mendengar Mira yang selalu berteriak tiap malam memanggil nama mendiang suaminya yang meninggal hampir setengah tahun lalu.
"Tapi aku mau ikut Mas Gama, Bu," Mira terisak sembari berusaha melepaskan pelukan ibunya. "Lepasin Mira, Bu. Kasihan Mas Gama menunggu Mira setiap malam."
"Sadar, sayang! Nggak ada Mas Gama. Mas Gama sudah nggak ada!"
"Mas Gamaaaa!!! Jangan tinggalin Miraaaaa, Mas!!!" Mira berteriak ke arah sudut ruangan. Matanya seolah menangkap sesosok yang hendak meninggalkannya. Ana mencari sumber tatapan Ana. Dilihatnya hanya ada lemari tua berdiri tegak di sudut ruangan. Ia tidak melihat siapa-siapa.
Sementara si Pak Tua terus membacakan mantra sembari menyiprat-nyipratkan air dari dalam kendi kecil yang dibawanya. Matanya mendelik ke seluruh ruangan.
"Hey, kau! Pergi!!! Jangan ganggu penghuni rumah ini lagi! Alammu sudah berbeda! Pergilah kau!"
Teriakan Mira semakin keras. Ia seperti orang kesurupan. Ana terus menangis sambil memeluk Mira. Ia berharap anaknya dapat sembuh dari halusinasinya. Pak Tua beralih pada Mira. Sambil membacakan mantra, ia memegangi kepala Mira. Tak lama Mira pun tak sadarkan diri. Ana berkali-kali mengucap syukur. Akirnya Mira dapat ditenangkan.
"Hantu pria itu sudah pergi." sahut Pak Tua dengan nada perlahan.
"Syukurlah..." Ana bernafas lega sembari mengusap kepala Mira yang terkulai lemas.

***

"Saya pamit dulu, Bu Anna."
"Terima kasih banyak, Pak."
Pak Tua pun pergi meninggalkan rumah Ana. Jam menunjukan hampir pukul 3 pagi. Ana berharap ia masih dapat beristirahat sebelum matahari muncul dari peraduannya.
Sungguh malang nasib Mira. Baru menikah selama satu minggu, ia sudah ditinggal suaminya untuk selama-lamanya. Gamma meninggal akibat ditusuk di bagian perut oleh preman yang ditemuinya saat pulang ke rumah. Semenjak itu, Mira selalu berhalusinasi melihat sosok Gama setiap malam. Bahkan ia sering berteriak meminta Gama untuk membawanya pergi.
"Ibu...,"
Ana menoleh. Dilihatnya Mira berdiri di pintu kamarnya. Matanya berkaca-kaca. Ia tampak lemah dan hampir rapuh. "Bu...," panggilnya sekali lagi.
Buru-buru Mira langsung menghampiri Ana dan memeluknya.
"Miraaa! Ini kamu, nak? Kamu sudah sadar, nak?"
"Apa yang terjadi, Bu....?"
"Sudah, nak. Tidak ada apa-apa." Mira tak dapat membendung air matanya. Ia lega karna Mira yang ada di dalam pelukannya benar-benar Mira anaknya.
"Ibu senang akhirnya ka......." Ana terdiam. Dilepasnya pelukan Ana. Perlahan ia melihat ke arah perutnya. Sebuah pisau tertancap sempurna di perutnya. Darah segar mengalir dengan derasnya. Ana kehabisan kata-kata. Tubuhnya tak lagi mampu menopangnya untuk berdiri tegap. Ia terkulai lemas. Di sisa-sisa napasnya, ia mendengar Mira tertawa lantang. Menertawai kebodohannya.
"Maaf, Bu. Aku tidak mau ibu menghalangiku lagi. Aku sudah berjanji pada Mas Gama akan selalu bersamanya. Hahahahaha....."
"Mi......., Mira........"

Tuesday, January 13, 2015

#RabuMenulis Siapa bilang mencintai itu tidak membutuhkan keberanian?

Siapa bilang mencintai itu tidak membutuhkan keberanian?

Awalnya aku hanya merasa jika apa yang diucapkan Melly pada ku hanya sebagian dari ribuan kalimat sederhana yang sering ia lontarkan, mengenai kisah asmaranya, hubungan percintaan antara dua manusia di dunia, atau hanya sekedar perasaan spele yang mudah datang dan pergi.
“Lo pikir mencintai pria yang sudah memiliki istri itu tidak butuh keberanian? Hahaha.”
Ah, Melly memang nekat. Terang saja ku bilang nekat. Apa lagi memang kata yang tepat kalau bukan nekat menyukai mantan teman semasa kuliahnya yang tengah memiliki seorang istri. Melly bertemu dengan Andra saat mereka tidak sengaja bertemu di sebuah mall setelah dua tahun tidak bertemu. Semenjak pertemuan itu, Melly mengaku pada ku jika ia terlibat hubungan emosional dengan pria yang baru saja lima bulan menikah.
“Dia itu sama istrinya dijodohin, Ra.”
“Ya, terus kenapa? Terus kalau hubungan pernikahan mereka berdasarkan perjodohan, jadi lo merasa tidak berdosa gitu masuk ke dalam hubungan mereka?”
“Bukan gue yang mau kali.”
Aku benar-benar tidak mengerti lagi. Aku juga mengenal Andra karna kita berteman dari SMA. Sampai akhirnya aku melanjutkan kuliah di tempat yang sama dengan Andra dan kemudian mempertemukan ku dengan Melly. Dan semenjak itu aku menjadi teman baik Melly. Melly orang yang sangat ceria. Orang yang sangat menikmati hidup. Dan yang paling aku suka darinya adalah, ia sangat jujur pada perasaannya sendiri. Tapi bukan berarti aku mendukung perasaannya pada Andra. Bagaimana pun juga, Andra juga teman ku. Aku tidak mau Melly merusak hubungan rumah tangga yang baru berjalan lima bulan.
“Andra bilang apa?”
“Dia bilang kalau dia naksir gue dari jaman-jaman kuliah.”
“Hah?”
“Hahahaha… lo tau kan kalau gue gak pernah lama sama cowok. Dikit-dikit ganti pacar. Dan itu yang bikin dia takut buat deketin gue.”
“Terus karna sekarang dia udah nikah, jadi dia berani deketin lo, gitu?”
“Gue kok yang deketin dia.” Melly terdiam sesaat seolah melambungi kenangannya yang sempat terlewati. “Waktu dia buat pengakuan seperti itu, gue merasa ingin membalas perasaannya yang dulu. Tapi siapa sangka gue pun sekarang mencintai dia.”
“Dan lo mau merebut Andra?”
“Ya, gak laaaahhh… yang namanya mencintai itu kan berarti membebaskan. Dan seperti yang gue bilang….” Melly menoleh pada ku. Mata kami bertemu. “Mencintai itu butuh keberanian. Termasuk keberanian untuk menjadi patah hati. Dari awal gue tidak menganggap hal ini merupakan kesenangan semata, kok. Gue tau yang gue lakukan itu butuh keberanian yang besar. Keberanian untuk membebaskan perasaan gue. Membiarkan ia mencintai sampai puas. Tidak mengekang dan juga menutupi. Setidaknya kalaupun rasa sakit itu akhirnya datang, gue akan merasakan sakit yang memang sudah sewajarnya, bukan karena perbuatan gue sendiri.”
“Maksudnya?”
“Masa lo gak paham, sih? Mencintai Andra itu otomatis memang akhirnya akan patah hati. Tapi bukan sakit yang terjadi karna kita dengan sengaja memendam perasaan itu.”
Tiba-tiba saja aku seolah dapat mengerti ucapan Melly barusan. Dan entah mengapa aku seolah memberi izin pada Melly untuk melakukan apa yang ia suka, yaa.. walaupun dengan atau tanpa izin ku, ia memang tetap akan melakukannya.
Dan sore itu, aku merasa telah memahami apa yang menurutku hanya sekedar kalimat sederhana. Ternyata benar adanya, mencintai seseorang itu memang butuh keberanian. Termasuk keberanian setelahnya.
Sayangnya… aku tidak pernah sebenari Melly.

Sainganku kini bertambah. Tanpa bersabarpun aku sudah kalah. Selamanya aku akan tetap mencintai Andra, secara diam-diam.