Good Morning, Univers!

i dont know if i've ever felt like that :)

Thursday, November 28, 2013

Curhat Buat Sahabat by DEE

Sahabat ku, usai tawa ini
Izinkan aku bercerita :

Telah jauh ku mendaki
Sesak udara di atas puncak khayalan
Jangan sampai kau di sana

Telah jauh ku terjatuh
Pedihnya luka di dasar jurang kecewa
Dan kini sampailah, aku disini...

Yang cuma ingin diam duduk di tempat ku
Menanti seorang yang biasa saja
Segelas air di tangannya, kala ku terbaring...sakit
Yang sudi dekat, mendekap  tangan ku
Mencari teduhnya dalam mataku
Dan berbisik, "Pandang aku, kau tak sendiri..."
Dan demi Tuhan, hanya itulah yang
Itu saja yang kuinginkan

Telah lama ku menanti
Satu malam sunyi untuk kuakhiri
Dan usai tangis ini, aku kan berjanji...

Untuk diam, duduk di tempat ku
Menanti seorang yang biasa saja
Segelas air di tangannya, kala ku terbaring.... sakit
Menentang malam, tanpa bimbang lagi
Demi satu dewi yang lelah bermimpi
Dan berbisik, "Selamat tidur, tak perlu bermimpi bersama ku..."

Wahai Tuhan, jangan bilang lagi itu terlalu tinggi... :)



this is for u al !

ANDRA

Part of Broken Butterfly by Alaine Any



Andra Ramantra. Siapa yang tidak kenal dengan remaja 19 tahun yang memiliki segudang teman di kampusnya? Andra yang tampan. Andra yang memiliki banyak kelebihan materi. Andra yang digilai banyak wanita. Andra yang bisa berganti wanita sesuai dengan keinginannya. Andra yang bisa menjalin hubungan dengan wanita manapun tanpa takut merasa patah hati. Hanya saja, satu yang tidak pernah orang-orang tahu, bahwa ia adalah Andra yang kesepian. Lucu memang ketika seseorang tertawa paling keras di tengah keramaian, namun ternyata justru merasakan kesepian yang begitu menyayat hati terdalamnya. Dari sekian banyak wanita yang hadir ke dalam hidupnya, tak pernah sekalipun ia membiarkan wanita itu menyentuh lebih jauh ke dalam relung hatinya. Lagipula, Andra sadar, wanita itu mendekatinya bukan sebatas tulusnya perasaan, hanya berdasarkan rasa nafsu dan materi. Terbukti jika Andra tidak mau benar-benar berhubungan dengan wanita yang memang mencintainya.
Ndra… kalau ada apa-apa, cerita aja ya, sama aku. Ya, walaupun sekarang kamu ngejauhin aku, tapi aku gak dendam sama kamu, aku akan selalu jadi teman terbaik buat kamu…” Andra tersenyum kecut sambil mematikan ponselnya. Voice note dari Kemmy ia dengar dalam perjalanan pulang ke rumah. Kemmy yang cantik, Kemmy yang malang. Andra meninggalkan Kemmy setelah ia tahu jika wanita berhati baik itu memberikan perasaan lebih padanya. Ia tidak mau tenggelam dalam kebaikan dan tulusnya perasaan Kemmy. Andra tidak ingin jatuh cinta dan terbelenggu dalam rasa patah hati. Ya… Andra takut patah hati. Sama seperti Tasya. Hari ini ia memutuskan hubungannya dengan Tasya ketika ia tahu jika Tasya mulai memiliki perasaan lebih dapanya. Hanya saja, Tasya tak setegar Kemmy.
Sambil mengemudikan mobilnya, satu tangan Andra mulai mencari-cari sebuah nama di dalam ponselnya. Ia menekan tombol dial setelah menemukan nama yang dicarinya. “Halo Fiola… hah? Tumben? Perasaan kamu aja kali. Hahaha… enak aja, kamu tuh yang sombong. Hmm… iya iya. Nih aku lagi di daerah rumah kamu. Oh… gak. Gak sibuk. Ya udah aku ke tempat kamu sekarang, ya…” Andra mematikan kembali ponselnya. Seperti itulah dirinya yang sebenarnya. Ia selalu menggunakan wanita-wanita itu jika perasaannya sedang kalut.
Tak lama ponselnya kembali berbunyi. Tanpa melihat siapa penelfonnya, Andra pun langsung menerimanya, “Apalagi sih, sayang?”
“Heh!” teriak penelfon di sebrang sana. Andra sedikit terkejut. Sepintas ia melihat ke layar ponsel dan tertawa geli setelah ia tahu jika Stanza lah yang menelfonnya. “Hahahaha. Iyaaaaa, Stanza sayang maksud gue? Ada apa, toh? Belum ada sejam pisah sama gue, lo udah nelfon gue. Pasti lo gak puas kan seharian ketemu sama gue…”
“Berisik lo! Lo dimanaaaaaa?”                   
“Tuh, kan? Dari nada suara lo aja, kayaknya lo pengen tau banget gue ada dimana.”
“Andra, gua serius…”
“Iya, iya, gue lagi di jalan mau ke rumahnya Fiola. Kenapa? Mau ikut? Jangan, ya. Gue gak biasa threesome. Hahahahaha.”
“Oh.” Tiba-tiba saja sambungan telfon terputus. Yah, dia ngambek. Andra tertawa geli. Ia sudah biasa meladeni sifat Stanza yang seperti itu. Stanza memang selalu seperti itu. Sering menelfoni teman-temannya, hanya sekedar bertanya lagi apa, dimana, bersama siapa, lalu mematikan sambungan telfon seenaknya saja. Entahlah, mungkin Stanza hanya iseng menelfon dirinya, pikir Andra lagi. Buru-buru ia membelokan stirnya memasuki kawasan Pondok Indah. Sudah ia putuskan, malam ini, ia akan bermalam di rumah Fiola.
Andra lupa kapan ia menjalin hubungan dengan gadis kelahiran Sunda Jerman itu. Yang ia ingat, ia tidak lama berpacaran dengan Fiola, dan saat itu Fiola sendiri juga sudah memiliki kekasih. Namun setelah kekasih Fiola kembali ke Indonesia, mereka pun sepakat mengakhiri hubungan mereka. Dan, apakah Andra merasa kehilangan? Tentu tidak. Baginya, selama bersama Fiola, Fiola hanya teman tidur dan berbagi kesenangannya saja. Fiola hanya tertarik dengan ketampanan dan hubungan seks, tidak lebih. Lagipula, Andra bisa mendatangi Helen, Sisca, Dara, Julia, dan sederet nama teman wanita lainnya.
“Halo… iya sayang. Udah, kok, udah. Nih udah mau tidur…” samar-samar suara Fiola terdengar di telinga Andra. Entah sudah berapa lama ia berada di kamar Fiola. Yang pasti, sesampainya ia di rumah besar wanita ini, Fiola langsung menganjak Andra ke kamarnya dan melakukan sesuatu yang memang seolah menjadi keharusan bagi mereka bila bertemu. Andra berada di atas tempat tidur. Ia memiringkan badannya membelakangi Fiola. Memandangi pakaian mereka yang tersebar di lantai. Entah, bagaimana prosesnya baju itu bisa berserakan dilantai. Andra sendiri merasa jika pikirannya pun entah berada dimana.
“Udah, udah aku kunci semua. Mami sama Papi masih di Boston. Makanya kamu cepat balik ke Jakarta…” Fiola sedang asik menelfon kekasihnya di sudut ruangan. Tubuh mulusnya hanya ditutupi oleh selembar selimut. Sesekali tawa centilnya menggelitik di telinga Andra. Ia sama sekali tidak cemburu. Hanya saja, ia mulai merasa bosan berada di kamar ini. Andra turun dari tempat tidurnya dan mulai memakai pakaiannya. Mata Fiola terus memperhatikan gerak-gerik Andra sambil terus menelfon. “Sayang, sebentar, ya. Aku pengen pipis, nih. Nanti aku telfon balik.”
Buru-buru Fiola mendekati Andra. Seolah tidak rela harus melihat kepergian Andra malam ini.
“Kamu mau kemana, sih?”
Andra tersenyum manis. Senyum yang mampu menyembunyikan seluruh kegundahan dalam hatinya. “Kamu marah, ya, aku cuekin?” Fiola memeluk Andra manja. Satu tangannya tetap memegangi selumut yang sedang membungkus tubuhnya.
“Aku harus pergi, nih. Stanza bbm aku. Dia bilang lagi butuh bantuan aku.” Fiola langsung melepaskan pelukannya. Andra mengecup kening Fiola. “Kapan aja kan aku bisa ke tempat kamu.” Fiola mengangguk mengiyakan. “Aku pergi dulu, ya.” Dalam sekejap Andra pun segera meninggalkan rumah Fiola. Saat keluar dari kamar pun, samar-samar Andra mendengar suara Fiola yang kembali menelfon kekasihnya. Kemudian Andra langsung menuju rumahnya. Stanza tidak benar-benar meminta bantuannya. Ia hanya beralasan pada Fiola.
Ada apa dengan, Andra? Mengapa Andra seperti ini? Terlihat sepi. Terlihat kosong. Terlihat hampa. Padahal usianya masih terbilang muda, tetapi Andra sudah terjebak dalam pergaulan yang teramat bebas, tanpa larangan. Andra pernah berfikir, jika memang benar setiap harinya Tuhan selalu menjatahkan satu kotak tertawa pada manusia, rasanya ia hanya bisa membuka kotak tertawanya bila sedang bersama teman-temannya.
Harusnya tidak seperti ini. Tidak jika Bella masih ada di sisinya. Empat tahun yang lalu, saat ia masih duduk di kelas satu SMA. Ia bertemu dengan perempuan tercantik dalam hidupnya. Kakak kelasnya yang berusia dua tahun lebih tua darinya, Bella. Mereka berpacaran. Bagi Andra, Bella lah pengganti sosok ibunya yang telah lama meninggal. Bella yang baik hati. Bella yang sederhana. Andra tidak perduli jika Bella hanya seorang anak penjual sayur di Pasar. Tak perduli dengan cibiran teman-temannya. Baginya, Bella lah yang terbaik.
Karna faktor ekonomi, Bella tidak melanjutkan kejenjang yang lebih tinggi. Ia hanya tercatat sebagai lulusan SMA. Dan mereka masih menjalin hubungan selama kurang lebih satu tahun. Tapi sayang, cinta memang tetap menjadi cinta, namun materi tetaplah menomor satukan harga diri bagi orang-orang yang mementingkan kenikmatan hidup. Bella menerima lamaran seorang duda kaya yang tertarik padanya. Dengan menikahi duda tersebut, derajat keluarga Bella akan segera terangkat. Orang tuanya pun tak perlu berjualan lagi di pasar. Bahkan pria itu pun berniat memboyong Bella untuk menikah di Belanda.
“Kamu… mau nikah?”
“Iya, Ndra. Maafin aku. Harus ada yang bisa aku lakukan untuk membahagiakan orang tua aku. Kami ini keluarga miskin. Kami butuh uang untuk mencukupi hidup kami. Kami juga capek jadi orang kesusahan terus.”
“Bella, aku yakin kamu bukan orang seperti itu. Kalau soal uang, aku bisa bantu. Kamu gak perlu nikah sama orang yang gak kamu cintai. Ada aku disini.”
“Apa yang bisa aku harapkan dari anak sekolah seperti kamu? Uang aja aku yakin kamu masih minta sama orang tua kamu. Dan soal cinta? Aku yakin, cinta itu akan datang dengan sendirinya. Dan mulai sekarang, jangan pernah ingat-ingat aku lagi…”
Untuk pertama kalinya, Andra tahu bagaimana rasanya patah hati. Dan, apakah karna itu Andra mati rasa? Bukan. Bukan karna Bella pergi meninggalkannya. Ia masih berusaha untuk bangkit. Ia masih mencoba berdiri dengan sisa-sisa kepingan hatinya yang sudah tak terbentuk. Namun, kenyataan pahit lainnya harus ia dapatkan. Pria yang dinikahi Bella adalah… Papahnya.
Hubungan Andra dengan Papahnya pun tak terlalu dekat. Sang Ayah sendiri berpendapat jika Andra hanya membutuhkan uangnya saja, tak lebih. Dan Andra akui, ia memang hanya membutuhkan uang si tua bangka ini. Papahnya hanya manusia biasa. Mamahnya meninggal dalam kecelakaan pesawat saat ia berusia 10 tahun. Tentu Papahnya membutuhkan pendamping baru untuknya. Ya… walaupun yang ia nikahi sama sekali tidak memiliki sosok keibuan. Papahnya menikahi Bella untuk teman hidupnya, bukan mencarikan Ibu baru untuk Andra.
Apa Andra dendam dengan Papahnya karna telah menikahi Bella? Jawabannya tidak. Andra tahu, Papahnya tidak pernah tahu jika Bella adalah kekasihnya, namun Andra yakin, Bella sangat tahu jika yang ia nikahi adalah Ayah kandung dari kekasihnya. Andra tidak akan pernah bisa membunuh perasaannya sendiri meskipun saat ini ia sangat membenci Bella. Kenangan yang ditorehkan terlalu dalam. Andra menyimpan baik-baik kenangan manisnya bersama Bella. Namun, wanita yang kini bersama Ayahnya, tak lain ia sebut sebagai jalang.
Jam menunjukan pukul dua malam saat ia masuk ke dalam rumahnya. Ia sempat melihat mobil Papahnya di depan rumah. Dan itu tandanya, di dalam rumah ini ada Bella. Sambil menahan kantuk, Andra melangkahkan kakinya ke dalam rumah. Lampu-lampu meja hanya menjadi penerang kala itu. Tak mau berpapasan dengan siapapun di dalam rumah, Andra langsung berlari menaiki anak tangga menuju lantai dua, kamarnya. Ia melempar jaketnya saat melewati sofa. Wangi Fiola yang begitu menyengat rupanya menempel pada jaket yang dipakainya, dan itu sedikit membuatnya merasa mual. Entah mengapa jika berjauhan dengan wanita-wanita itu, perut Andra selalu merasa mual. Mual mengingat perbuatannya sendiri.
Andra menutup pintu keras-keras. Saat ia menyalakan lampu kamar, betapa terkejutnya ia ketika ada seseorang yang langsung memeluknya dari belakang. “Aaaargghhh…” Andra berusaha melepaskan pelukannya itu. Dan dilihatnya sosok Bella yang menatap nakal padanya. Bella pasti menunggunya pulang. Menyebalkan, pikir Andra dalam hati. Bella memakai baju tidur yang sangat seksi. Warna lipsticknya merah merona. Rambutnya berwarna coklat terang. Benar-benar sosok wanita penggoda. Lagi-lagi Andra ingin mual melihat Bella yang seperti itu. Beda sekali dengan Bella yang pertama ia kenal. Dulu Bella berambut hitam dan… sepertinya, memakai bedak pun tak pernah. Oh, tapi lihatlah Bella yang sekarang.
“Kamu kemana, sih, Ndra? Aku nungguin kamu udah dari tadi. Papah kamu udah tidur di kamarnya. aku sengaja datang ke kamar kamu, karna aku pengen tidur sama kamu.” Andra sontak menyingkirkan wajah Bella yang hendak menyiumnya. Bella sangat bernafsu kala itu.
“Apa sih, Bel!” bentak Andra setengah berbisik. “Lo udah gila, ya? Keluar lo dari kamar gue sekarang juga.”
“Udah, lah, Ndra. Emang aku gak tau? Kamu masih cinta kan sama aku?”
“Gak! Bagi gue, lo tuh udah lama mati. Kan lo sendiri yang bilang kalau kita harus menjalankan hidup kita masing-masing.”
“Oh, ya?” Bella tertawa sinis. “Lalu ngapain kamu manggil-manggil nama aku sewaktu kamu tertidur?” Andra terdiam. Benarkah ia memanggil nama Bella saat sedang tertidur. Seperti itukah dirinya setiap malam? Tersiksa dalam mimpi dan memanggil-manggil nama Bella? Memalukan!
Lagi-lagi Bella berusaha merengkuh wajah Andra dan berusaha untuk menciumnya. Bibirnya hampir saja bersentuhan dengan bibir Bella. “Ndra, plis. Jangan tolak aku lagi. Aku kangen sama kamu, Ndra. Kamu tau kan alasan aku nikah sama Papah kamu itu hanya karna materi. Aku cintanya sama kamu, Ndra.” Andra kesal. Ia merasa jijik. Sangat jijik. Buru-buru dilepaskannya cengkraman Bella. “Lepasin gue!” teriak Andra dengan suara keras. Ditariknya tangan Bella dan membawanya keluar dari kamarnya. Bella menahan diri. Namun Andra berhasil membawanya keluar kamar.
“Jangan pernah sentuh gue lagi!”
Bella langsung memeluk Andra dengan kuat. Dan Andra pun langsung mendorong tubuh Bella dengan kuat. Namun hal yang tidak diinginkan pun terjadi, Papah Andra yang terbangun, rupanya tengah berjalan ke lantai atas dan kini memergoki mereka berdua. Dan saat itu Andra tengah memegangi kedua lengan Bella.
“Andra! Bella!” teriaknya keras. Rambutnya sudah hampir memutih keseluruhan. Dahinya berkerut. Tubuhnya tinggi besar. Dan kini matanya terlihat tajam memandang keduanya. Andra langsung melepaskan pegangannya. Bella menangis dan berlari ke pelukan suaminya.
“Lihat, apa yang dilakukan anak mu! Dia kembali mencoba merayuku, sayang. Aku sedang menonton televisi di ruang ini, ia datang dan kemudian merayuku.” Suara Bella terdengar parau. Rupanya, selain menjadi jalang, Bella berbakat menjadi seorang aktris, batin Andra dalam hati. Dan entah apa yang dikatakan Bella lagi kepada Papahnya. Membela diripun tak ada gunanya. Papahnya akan selalu mendengarkan perkataan istri mudanya itu. Dan seperti sudah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, Andra pun tetap diam di tempat. Menanti sang Ayah mendekatinya.
“Anak kurang ajar!” sebuah bogem mentah langsung melayang ke pipi Andra. Hatinya menangis. Sakit sekali. Berkali-kali Papahnya memukuli dirinya. Dari sudut matanya, Andra melihat Bella yang tersenyum sinis padanya. Kemudian perlahan menuruni anak tangga. “Sudah ku bilang, jangan pernah berani mengganggu Bella!” Andra tersungkur. Hidungnya mengeluarkan darah. Rahangnya terasa sakit. Tak lama badannya terasa begitu lemas. Papahnya menghentikan pukulannya setelah ia merasa hukuman yang diberikan cukup. “Besok aku dan Bella akan kembali ke Belanda.” Ucapnya kesal dan kemudian pergi meninggalkan Andra.
Dadanya terasa sesak. Nafasnya tersengal-sengal. Ia menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya. Ini bukan pertama kalinya Papahnya memukulinya seperti ini. Baginya, ini seperti sebuah hukuman karna ia tidak pernah mau menuruti permintaan Bella. Bella yang licik. Bella yang selalu berada di belakang Papahnya. Mengatakan kebohongan. Melampiaskan amarah karna keinginannya tak tercapai. Dan ini lah yang sebenarnya terjadi. Ia selalu berkata pada teman-temannya jika luka memar yang ia dapat karna dihajar oleh kekasih wanita-wanitanya itu hanya bohong belaka. Papahnya lah yang menorehkan luka ini. Dan luka terdalamnya, Bella yang mengkaryakannya. Bella ibarat seniman sejati. Ukuran yang ia buat di dalam hati Andra akan tetap abadi.
“Stan…”
“Apa?”
Andra mencoba menghubungi Stanza dengan telfon genggamnya. Ia harus bicara dengan seseorang. Harus. Bukan untuk mengadukan apa yang telah terjadi. Ia hanya ingin berbicara dengan seseorang, itu saja.
“Sori ya, gue nelfon jam segini.”
“Iya, lagian gue masih di jalan, kok.”
“Lagi dimana?”
“Dimana-mana hati ku senang…”
“Yeee… nyebelin. Ternyata begini, ya, rasanya jadi lo kalau lagi mau ngomong malah dibecandain.”
“Ciyeee, kepikiran gue, ya?”
“Udah deh jangan bercanda dulu, lagi gak bisa bercanda nih, sakit mulut gue.”
“Hahahaha… makanya, jangan kebanyakan ciuman.”
“Iya. Dicium sama pacarnya Fiola.”
What???? Lo threesome sama cowoknya Fiola? Eh, gilaaaaaa, lo Ndra. Hahahahaha. Sumpah, gue ketawa beneran, gak bohooooong.”
“Lo gilaaaaaaaa.”
“Hahaha. Udah, deh Ndra…” Suara Stanza mulai terdengar melemah. “Lo bebas kok pacaran sama cewek manapun yang lo mau, tapi kalau bisa jangan sama kekasih orang lain. Jaga-jaga aja, supaya jangan ada yang tersakiti.”
“Iya, nih. Gue yang tersakiti, soalnya gue yang ditonjok.”
“Ya udah, jangan lupa dikompres, ya lukanya…”
“Ya, udah. Sampai ketemu di kampus.”
“Sampai ketemu juga, Ndra.”
Andra meletakan ponselnya di atas tempat tidur. Ia kembali bersandar pada sisi ranjang sambil memegangi perutnya. Sakit. Terasa sangat sakit. Namun yang ia rasakan bukanlah sakit pada luka memar yang ada di tubuhnya, melainkan hati terdalamnya. Tadinya ia berfikir akan sedikit mengalihkan perhatiannya dengan menelfon salah satu temannya. Namun rasa sakit ini terlalu dasyat. Terlalu merajai jiwanya.
Andra kembali menangis. Ia menangis dalam ruang yang kosong. Menangis dalam kesendirian. Andra merasa sangat kesepian. Pelipur laranya memang telah berubah menjadi ujung tombak yang selalu menusukan runcingnya tepat di dalam hatinya. Tak ada bedanya dengan wanita jalang di luar sana. Namun rasa kebencian itu terasa sakit. Sakit sekali. Karna saat ini, Andra begitu merindukan pelipur laranya. Andra merindukan Bella. Rindu yang tak akan tersampaikan. Rindu yang mengoyak jiwa kesepiannya.
Dan Andra, tersiksa.

KANAYA

Part of Broken Butterfly by Alaine Any

Sebuah mobil yang tengah menunggu di pintu gerbang kampus sudah menunggu pemiliknya untuk mengantarkan pulang. Kanaya langsung merangkul lengan Kevin dengan mesra dan berjalan beriringan masuk ke dalam mobil tersebut. Tentu saja, diiringi dengan sejumlah pasang mata yang tengah memandang iri ke arah mereka. Baru beberapa bulan menjadi mahasiswa baru di kampus tersebut, Kanaya dan Kevin sudah menjadi pusat perhatian orang banyak. Bukankah dicintai orang yang paling kita cintai itu merupakan kebahagiaan terbesar dalam hidup ini? Melengkapi apa yang memang sudah terlihat begitu sempurna. Itu lah kehidupan Kanaya.
Dan hampir seluruhnya tahu jika Kanaya dan Kevin merupakan pasangan kekasih. Bahkan kabarnya mereka sudah bertunangan dan juga tinggal satu rumah. Dimana ada Kanaya, disitu ada Kevin. Mereka seolah tak terpisahkan. Walaupun sudah berhubungan lama, kedua orang itu selalu terlihat seperti pasangan yang sedang jatuh cinta. Dan lagi-lagi, banyak orang yang iri dengannya.
Iri dengan keadaan yang tak ada satu orangpun mengetahui kebenarannya.

***
Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Sedetikpun Kanaya tidak melepaskan pelukannya pada lengan Kevin. Walaupun mereka sedang berada dalam satu mobil, Kanaya tidak akan pernah melepaskan pelukannya walau hanya sebentar saja. Seolah-olah Kevin akan lari bila ia melepaskan pelukannya.
 “Lepasin tangan aku…” suara dingin Kevin seolah harus memaksa Kanaya untuk bangun dari mimpi indahnya. Mimpi indah? Kevin memang hanya mimpi indahnya. Tidak ada yang tahu. Tidak ada yang curiga. Kevin hanya sebatas mimpi indah yang tertahan oleh kenyataan pahit dalam hidupnya. Kevin bukan benar-benar tunangan ataupun kekasihnya. Bahkan jika mimpi indah ini berakhir, Kevin seolah bukan siapa-siapa di dalam hidupnya, sekalipun hanya sekedar seorang teman.
Kanaya terdiam. Perlahan ia melepaskan pelukannya dan duduk dengan posisi yang benar. “Di sini udah gak ada temen-temen lo. Harusnya lo gak perlu nempel-nempel terus sama gue. Ngerti lo!” ribuan pisau terasa menghujam jantung Kanaya saat itu. Tenang, tenang, batinnya perlahan. Tidak ada yang salah dengan perlakuan Kevin. Tidak ada yang salah dengan ucapan Kevin. Dan bukan pertama kalinya ia mendengar hal yang serupa.
Orang tuanya memang menjodohkan dirinya dengan Kevin tiga tahun yang lalu. Hutang keluarga Kevin yang begitu besar saat Ayahnya melakukan pinjaman untuk menyelamatkan perusahaan dari kebangkrutan menjadi permulaan kisah ini. Tidak segan-segan orang tua Kanaya membantu melunasi hutang-hutang tersebut untuk menyelamatkan keluarga Kevin dari kemiskinan. Perjodohan mereka sendiri pun bukan atas syarat balas budi tersebut, namun orang tua Kanaya menginginkan Kevin untuk menikahi putri semata wayang dari keluarga Bramantya, Kanaya Bramantya.
Sebagai anak laki satu-satunya sekaligus penerus kekayaan orangtuanya, tentu Kevin tak banyak bicara atas keinginan orangtuanya tersebut. Kevin sangat patuh dan penurut. Di depan orangtuanya dan juga keluarga Bramantya, Kevin sangat perhatian dan senang dengan Kanaya. Ucapannya lembut. Sikapnya begitu manis, membuat kedua belah pihak itu merasa sangat tepat dengan keputusan yang telah mereka buat. Dimata mereka, Kevin dan Kanaya saling mencintai. Kanaya yang tidak punya kakak atau adik. Kanaya yang selalu ditinggal kedua orangtuanya bekerja. Kanaya yang tidak memiliki banyak teman. Dan Kanaya yang selalu merasa kesepian, mungkin akan merasa jika Kevin lah pelipur laranya. Apalagi kini keluarga Bramantya menampung Kevin untuk tinggal di rumahnya selama orangtuanya berada di luar negri. Dan Kanaya jatuh cinta pada Kevin untuk yang pertama kalinya mereka bertemu.
Sayangnya, Kevin tidak.
Saat itu Kanaya masih bisa mengerti posisi Kevin yang mungkin saja, belum siap dengan perjodohan ini. Ia pun mengerti alasan Kevin untuk mengajaknya berpura-pura mesra setiap kali mereka berhadapan dengan keluarga Bramantya ataupun keluarga Kevin sendiri. Semua berjalan dengan lancar. Semua memainkan peran dengan baik. Bahkan di depan teman-teman Kanaya pun, Kevin akan bersikap bahwa ia adalah pria terbaik untuk Kanaya. Pria yang sangat mencintai Kanaya. Tak heran bila banyak orang yang sangat iri dengan hubungan mereka. Iri dengan kemesraan mereka. Andai saja kami benar saling mencintai, itu lah yang selalu terlintas di dalam hati Kanaya setiap kali ia sedang bersama Kevin di muka umum.
Tawa, senyum, pelukan, cium, genggaman, canda, kasih, hanya itu yang mereka dapatkan bila melihat kebersamaan Kanaya dan Kevin di depan teman-temannya. Andai kalian tahu, Kevin memang sedang bersama ku, tapi aku tidak tahu dimana hatinya saat ini berada, batin Kanaya kembali berbicara.
Sayangnya, Kanaya tidak bisa profesional dengan perannya sendiri. Ia mencintai Kevin. Ia tidak bisa menolak perasaan itu. Ia membiarkan rasa itu terus menggerogoti hatinya. Ia membiarkan rasa itu bernaung dalam dirinya walaupun terasa sakit. Seolah bagai menyimpan seekor lintah penghisap darah dalam tubuhnya sendiri. Ia tahu jiwanya tersiksa, tapi sedikitpun ia tidak sanggup jika harus mengusir paksa rasa yang telah bernaung di dalam hatinya. Kevin menerimanya hanya bentuk balas budi.  Dan, apa pernah Kanaya mengadukan hal ini kepada orangtuanya? Jawabannya tidak. Ia tidak akan pernah tega untuk memberi tahu orangtuanya. Ada kecemasan dan rasa takut dalam hatinya bila mereka tahu jika Kevin tidak mencintainya. Kanaya takut jika orangtuanya justru akan melepaskan Kevin.
“Kenapa sih, selama kepura-puraan kita atas hubungan ini, gak lo manfaatin untuk mencari cowok lain di luar sana?”
“Karna gue cintanya sama lo, Vin.”
Kevin terdiam setelah mendengar pengakuan Kanaya waktu itu. Ia merasa jika telah salah membiarkan hatinya jatuh cinta kepadanya.
“Gue gak bisa bohong, Vin. Gue jatuh cinta sama lo dari awal pertemuan kita.”
“Tapi kan lo gak tau kalau sedikitpun gue gak ada perasaan apa-apa sama lo.”
“Tolong biarkan gue seperti ini. Biarkan gue menikmati kepura-puraan ini.”
Saat itu Kevin diam. Dan Kanaya pun memang menikmati kepura-puraannya ini untuk benar-benar mencintai Kevin. Bahkan semakin menikmatinya. Ia semakin senang jika berada bersama Kevin di depan orang yang mereka kenal. Karna hanya saat-saat itu Kevin akan memperlakukannya sebagaimana hatinya meminta. Bahkan Kanaya merasa jika ia mendapati dua orang Kevin yang berbeda. Aku menyukai Kevin, sekalipun ia hanya aku miliki jika kami berada di tengah orang-orang yang kami kenal. Setidaknya lebih baik, daripada aku tidak bisa memilikinya sama sekali. Kanaya tahu dirinya kesepian. Maka dari itu, Kanaya membutuhkannya.
“Gue mohon, hanya di depan orang tua kita dan juga teman-teman, bersikaplah jika lo memang benar-benar seperti kekasih gue…” itulah yang Kanaya minta saat Kevin selalu meminta Kanaya untuk melepaskannya. “Gue tidak akan meminta lo untuk nantinya menikah dengan gue. Gue akan melepaskan lo perlahan. Tapi mohon, bersikaplah dengan baik di depan mereka, Vin.” Dan jadilah mereka sepasang kekasih yang bahagia di depan orang-orang. Bahkan terlalu bahagia.
Mobil telah sampai di depan rumah megah milik keluarga Bramantya. Seorang penjaga rumah tergesa-gesa membukakan pintu untuk Kanaya. Bagaikan seorang putri, perlahan Kanaya keluar dari mobil. Dilihatnya Kevin yang tengah berjalan cepat ke dalam rumah. Ia tahu, Kevin menghindarinya. Semenjak mencintai Kevin, ia selalu merasa sedih jika harus kembali pulang ke rumah. Itu tandanya, ia harus mendapati Kevin yang bagaikan orang asing untuknya. Tapi kesedihannya sedikit menghilang bila mengingat waktu makan malam. Walau tidak setiap saat, setidaknya ia bisa mendapati perlakuan Kevin yang baik padanya di depan Ayah dan Ibunya.
Kanaya akan terlihat begitu senang, begitu ceria, dan begitu menikmati setiap kebersamaannya dengan orang-orang yang ada di dekatnya. Tidak lain dan tidak bukan, karna ia merasa jika saat itu Kevin benar-benar menyayanginya. Ia sadar jika ini tidak nyata, tapi sedetikpun Kanaya tidak akan pernah rela meninggalkannya. Dengan perlahan Kevin menuangkan air putih ke dalam gelas miliknya. Kemudian mengambilkan makanan di atas piringnya. Saat itu Kanaya akan menceritakan kegiatannya di kampus dengan wajah riang. Raut wajah senang pun terpancar dari kedua orangtuanya. Selain senang mendengar cerita Kanaya, mereka juga senang melihat dua sejoli yang ada di hadapan mereka saat ini. Bahkan sesekali Kanaya dan Kevin dapat bercanda dengan saling pukul bila sedang ada di meja makan. Dan tawa pun akan terdengar dari ruangan itu.
Namun sebelum Kanaya benar-benar paham dengan situasinya ini, ia pun pernah marah dengan Kevin. Marah dengan ketidak nyamanan yang ia rasakan. Tapi, Kevin selalu mengatakan hal yang dapat menampar dirinya dengan keras. Tamparan yang memaksanya untuk bangun. “Gue ada bersama lo bukan karna keinginan gue. Bukan karna hati gue. Secara tidak langsung, orang tua lo lah yang telah membayar keberadaan gue saat ini. Gue ada di sini karna orang tua gue berhutang banyak sama keluarga lo.” Jelas Kevin sama sekali tidak mencintainya.
“Ada cerita apa tentang kalian hari ini?” tanya sang bunda kepada anak semata wayangnya. Kanaya menghentikan makannya, ia melirik Kevin yang ada di sebelahnya, seolah berkata, drama apa yang akan kita ceritakan padanya hari ini?
Dengan senyum mengembang, dengan segera Kevin langsung menjawab pertanyaan Mamahnya Kanaya, “Hari ini dia sibuk sama teman-temannya.” Jawaban Kevin langsung disambut tawa oleh Kanaya. Tentu saja tawa itu termasuk di dalam drama mereka setiap waktu makan malam.
“Kevin nya aja yang gak pernah mau gabung sama temen-temen, ku.”
“Aku gak enak, Nay. Kan kamu tahu kalau diantara kalian cuma kamu yang punya pacar. Hahaha…” Mamah pun ikut tertawa sembari mendengar perkataan Kevin barusan. Benar-benar makan malam yang menyenangkan, ucap Kanaya dalam hati, menyenangkan bila semua perasaan ini nyata.
“Loh, bukannya Andra, temen kamu itu punya pacar?” tanya Mamah.
“Andra sih jangan ditanya. Saking banyaknya, aku aja gak tahu mana yang pacar dia dan mana yang bukan.”
Playboy kelas berat tuh temen mu.”
“Kamu gak berniat untuk ganti-ganti kekasih kayak Andra?” tatapan mata Kevin sekaligus perkataannya barusan sangat mengena di hatinya. Mungkin bagi Mamah akan terdengar seperti bercandaan kala itu. Tapi Kanaya sadar sekali, mata Kevin ikut berbicara kala itu. Menatapnya dengan tajam. Memojokan dirinya. Menyindir. Sekaligus seolah terdengar selayaknya sebuah permintaan.
Alhasil, Kanaya hanya membalas ucapan Kevin dengan senyum simpul. Dan kini ia hanya mendengar suara obrolan Mamah bersama Kevin sepanjang makan malam. Makan malam yang selalu penuh dengan drama. Drama yang menyakitkan sekaligus tak bisa ia tinggalkan begitu saja.
Usai makan malam, Kevin kembali ke kamarnya. Malam ini Kanaya benar-benar merindukan Kevin. Cara merindukan seseorang paling buruk adalah dengan berada di dekat orang tersebut, tapi ia tahu jika sampai kapanpun ia tidak akan benar-benar bisa menyentuhnya. Ia tidak bisa menyentuh hati Kevin.
 “Vin…” Kanaya mengintip di balik pintu kamar Kevin. “Vin, lagi apa? Gue masuk, ya?” dilihatnya Kevin sedang duduk di depan meja. Tubuhnya membelakangi Kanaya saat itu. Perlahan Kanaya masuk ke dalam dan menutup pintu kamar Kevin. Dilihatnya jendela kamar Kevin yang dibiarkan terbuka. Tirai gorden berwarna putih seolah menari perlahan tertiup angin malam.
“Tutup, ya, Vin? Angin malam, tuh, gak bagus.” Kanaya mulai menutup jendela kamar Kevin. “Nanti kalau lo sakit gimana?”
“Ah, gak apa-apa, kok. Lagian sering kebuka gitu.”
Kanaya menoleh. Dilihatnya Kevin tengah membungkus sebuah kotak dengan pita berwarna coklat muda. Walaupun tidak tersenyum, wajah Kevin terlihat senang saat itu. Ketika kita sangat mencintai seseorang, mungkinkah kita seolah bisa masuk ke dalam matanya. Melihat yang tertera dalam hati melalui pandangannya. Termasuk tatapan palsu yang selalu Kanaya dapati jika ia sedang bersama Kevin di tengah banyak orang.
“Ada apa?” tanya Kevin dengan wajah datar. Ia membuka laci meja dan kemudian meletakan kotak berpita tersebut ke dalamnya. Mata Kanaya terus mengikuti kemana kotak itu pergi. “Kenapa, Nay?” tanya Kevin lagi.
“Buat siapa?”
“Temen.”
“Cewek, ya?”
“Kalau iya, emang kenapa?” Kanaya benci tatapan itu. Tatapan yang seolah sedang menantangnya. Menantang dirinya sembari berkata, kalau gue suka sama cewek lain, terus, lo mau apa?
“Pacar?”
“Pacar gue atau bukan, itu bukan urusan lo.” Kevin menjauhi Kanaya. Ia mendekati sofa yang tidak jauh dari tempat tidurnya. Kevin mulai menyibukan diri dengan membuka-buka sebuah majalah. Kanaya terlihat tidak puas dengan jawaban yang ia dapat. Hatinya mendadak tidak tenang. Bertahun-tahun ia mencintai Kevin, bertahun-tahun ia berpura-pura menjadi kekasih Kevin, ia memang tidak pernah sedikitpun mendengar ada nama wanita lain. Dan kini, hal yang paling ia takuti mungkin saja terjadi.
Kanaya terdiam. Ia terlihat menahan rasa kesalnya. Walau tak tahu kebenarannya tentu saja rasa cemburu itu seketika singgah di dalam dirinya. Baru saja ia akan membuka mulutnya, Kevin lebih dahulu memanggilnya.
“Kanaya…” Kevin menutup majalahnya. Dilihatnya Kevin tersenyum kecil. Senyum pada keadaan, bukan pada dirinya. “Gue…” saat itu jantung Kanaya seolah melemah. Tak kuat berdetak. Perasaannya semakin tidak enak. Jangan katakan apapun, jangan!
“Gue...” Kevin menggantung kalimatnya. Dan ia…tertawa kecil. Kevin tertawa, dan ia terlihat bahagia. Entah apa yang saat itu dibayangkannya, dan tak mampu bagi Kanaya untuk ikut membayangkannya pula.
Kevin kembali menatapnya. “Gue jatuh cinta.”
Demi Tuhan, dunia Kanaya seolah runtuh saat itu juga. Butiran air mata seolah sudah berkumpul di ujung matanya dan bersiap untuk ditumpahkan. “Oh, ya? Sama siapa?” Demi Tuhan, Kevin. Jangan pernah katakan siapa nama wanita itu. Jangan pernah memberi tahu aku, siapa orang terkutuk itu. Orang yang telah merampas keseluruhan hati mu disaat aku sedang mengumpulkannya sedikit demi sedikit.
Dan air mata Kanaya akhirnya jatuh juga.
“Lo benar-benar mau tau?”
“Bilang sama gue siapa orang itu?”
Kevin menghelang nafasnya. “Lo gak harusnya sedih, Nay. Lo tahu kan cepat atau lambat hal ini akan datang juga.” Perlahan Kevin mendekati Kanaya. Berdiri berhadapan dengan Kanaya. Ia tahu hati wanita ini terluka, tapi ia pun ingin membahagiakan hatinya sendiri. Ia tidak bisa terus berpura-pura dengan Kanaya.
“Kenapa lo harus cari orang lain, sih, Vin? Jelas-jelas lo tau ada gue di dekat lo! Gue yang paling mencintai lo! Kenapa lo gak pernah menoleh sedikitpun ke gue, Vin?” Kanaya setengah berteriak. Ia sadar, jika di balik pintu kamar Kevin ada orang lain, pasti orang tersebut akan dengan sangat jelas dapat mendengar percakapan mereka.
Kevin tak bergeming. Ia menatap Kanaya dengan datar. “Lo ingat, gue pernah tanya sama lo, kenapa lo bisa jatuh cinta sama gue? Dan lo menjawab, lo gak tau, karna cinta itu yang memilih gue, bukan lo.” Kanaya terdiam. Ia ingat. “Dan sekarang pun gue mengerti kenapa lo menjawab seperti itu. Karna gue pun merasakan hal demikian. Bukan gue yang memilih, tapi cinta itu sendiri yang memilih orang itu. Dan orang itu bukan lo.”
“Tapi lo gak akan pernah bisa menikah sama dia!” Kanaya mulai merasakan amarah dalam dirinya. Ia tidak terima. Tidak akan pernah terima jika ada wanita lain yang bertahta di dalam hati Kevin. “Lo gak lupa kan kalau orang tua kita sudah menjodohkan kita.”
“Lo…?” Kevin langsung terdiam. Ia merasa tengah diancam.
“Iya, gue tau. Yang kemarin emang pura-pura. Dan gue pernah bilang, asalkan lo mau bersikap baik di depan teman-teman gue, di depan orang-orang, gue gak masalah kalau memang hanya pura-pura. Tapi apa lo pikir gue akan melepaskan lo begitu aja?” ditatapnya Kevin dengan mata berkaca-kaca. “Gak, Vin! Gue berubah pikiran! Gue akan tetap mempertahankan lo. Gak perduli lo menerima atas balas budi atau gak, tapi lo harus tau, Vin… Ini cinta, Vin. Cinta….” Kanaya menangis sambil menunjuk dadanya. Kanaya tidak pernah percaya dengan kata-kata ‘cinta tidak harus memiliki’, karna cinta itu pasti ingin memiliki. Ia mencintai Kevin, dan ia ingin memilikinya. Ia lupa dengan perjanjiannya. Ia lupa dengan kepura-puraannya. Tapi kali ini, mendengar Kevin jatuh cinta dengan orang lain, itu terdengar seperti ancaman untuknya.
“Gue akan jujur sama orang tua gue. Dan gue juga akan jujur sama orang tua lo. Gue akan kerja keras, cari uang yang banyak untuk menggantikan hutang-hutang bokap gue yang udah dibayar sama keluarga lo.” mata Kevin terlihat sangat sedih, dan itu terlihat begitu menusuk di hati Kanaya. Sebegitunyakah Kevin ingin melepas diri darinya. Sebesar itukan rasa cinta Kevin terhadap wanita itu sehingga mampu membuat diri ingin memberontak. Ya, saat ini yang Kanaya lihat, Kevin tengah memberontak.
Kevin tersenyum sinis. “Jangan lo pikir selama ini gue gak tersiksa sama perasaan gue sendiri, Nay. Gue coba, Nay. Gue pernah kok coba untuk bisa catuh cinta sama, lo. Tapi emang gak pernah bisa!” Rahang Kevin mengeras. Matanya merah. Kesal sedih bercampur di dalam dirinya. Ia tidak sedang melawan Kanaya. Ia sedang melawan perasaan Kanaya yang mengikat dirinya.
“Lo pikir dengan jujur sama mereka, hubungan lo dengan dengan wanita itu bisa berjalan dengan lancar. Gak semudah itu, Vin. Ingat! Udah berapa lama lo membohongi mereka? Terus sekarang tiba-tiba lo jujur ke orang tua lo, ke orang tua gue, kalau semua cuma pura-pura? Lo pikir mereka akan menerima gitu aja?” Kevin mulai merasa terpojok dengan perkataan Kanaya. “Gak semudah itu, Vin. Orang tua lo itu sudah terikat sama keluarga Bramantya. Usaha perhotelan di Belanda yang dijalankan orang tua lo itu sebenarnya adalah milik keluarga Bramantya. Keluarga lo itu udah gak punya apa-apa.”
“Gue gak perduli!” bentak Kevin. “Gue akan tetap membatalkan pertunangan ini!”
“Kevin…” suara lain terdengar dari arah pintu. Kanaya dan Kevin serempak menoleh ke asal suara itu. Dan saat itu tengah berdiri seorang wanita cantik berambut hitam dengan panjang sebahu di depan pintu kamar Kevin yang terbuka. Wanita itu menatap tajam pada Kevin.
“Mamah…” ucap Kevin perlahan.
Kanaya pun tak kalah terkejutnya. Entah sudah sejak kapan Maria berdiri di depan pintu kamar Kevin. Setahu Kanaya, kedua orang tua Kevin sedang berada di Belanda, dan ia tidak mendengar kabar mengenai kepulangan mereka ke Indonesia. Maria tersenyum pada Kanaya. Ia merentangkan tangannya seolah menyuruh Kanaya untuk segera memeluk dirinya.
Awalnya Kanaya ragu. Mungkinkah ia mendengar semua percakapannya dengan Kevin? “Sini sayang…” ucapnya dengan suara lembut. Perlahan Kanaya mendekat dan memeluk Maria dengan erat. Perlahan ia merasakan tangan Maria mengelus kepalanya dan kemudian berbisik, “Jangan menangis, sayang. Air mata kamu terlalu mahal. Pergilah keluar sebentar, biar tante yang berbicara dengan Kevin.”
Kanaya langsung keluar dari kamar Kevin setelah melepas pelukannya pada Maria. Dari balik celah pintu yang sedikit terbuka, Kanaya melihat Maria tengah menampar pipi Kevin dengan keras. Dan saat itu pula air mata Kanaya mengalir dengan deras. Samar-samar Kanaya mendengar pembicaraan di dalam sana. Rupanya Maria mendengar semua ucapannya dengan Kevin. Dan tentunya, ia sudah tahu dengan kepura-puraan ini.
Maaf, Vin. Maafin aku.
Dan sesungguhnya, disaat banyak orang yang mengirikan hubungannya dengan Kevin, justru ia pun juga merasa sangat iri dengan hubungan orang-orang. Hubungan yang nyata. Hubungan yang sederhana.
Kanaya masuk ke dalam kamarnya. Ia mengecek handphone. Rupanya ada missed call dari Maira. Kanaya langsung menelfon balik Maira. Ia duduk di lantai dengan menyandar badan tempat tidur. Sesekali menyeka air matanya. Ia berusaha melupakan pembicaraan bersama Kevin barusan dengan bercerita hal-hal yang menyenangkan bersama Maira.
Setelah mematikan sambungan telfonnya, baru Kanaya benar-benar menangis. Tangis yang tidak pernah ada satupun yang mengetahuinya. Tangis yang tak pernah dibayangkan oleh orang-orang yang memujanya. Namun, ini lah kenyataannya. Ini lah yang sebenarnya terjadi. Kanaya sadar, orang tua Kevin tak benar-benar menyayanginya. Mereka menyayangi harta dan kekayaannya. Mereka menjual Kevin demi menyelamatkan kembali hidup mewah mereka yang hampir lenyap. Hati kecilnya berbisik, tidak ada inisiatif perjodohan, ia lah yang meminta orang tuanya untuk menjodohkannya dengan Kevin.
Terlalu naif bila berfikiran jika cinta dapat dibeli dengan uang. Nyatanya, Kanaya mencintai Kevin, dan ia membelinya. Sekalipun hal itu tidak membuatnya benar-benar bahagia. Setidaknya, orang lain melihat kehidupannya mendekati sempurna. Atau bahkan hampir sempurna. Mereka tidak pernah tahu, pada malam harinya, berapa banyak air mata yang harus menggantikan senyum di pagi hari? Biarkan saja orang-orang itu memuja kepalsuan hubungannya.