Good Morning, Univers!

i dont know if i've ever felt like that :)

Thursday, November 28, 2013

KANAYA

Part of Broken Butterfly by Alaine Any

Sebuah mobil yang tengah menunggu di pintu gerbang kampus sudah menunggu pemiliknya untuk mengantarkan pulang. Kanaya langsung merangkul lengan Kevin dengan mesra dan berjalan beriringan masuk ke dalam mobil tersebut. Tentu saja, diiringi dengan sejumlah pasang mata yang tengah memandang iri ke arah mereka. Baru beberapa bulan menjadi mahasiswa baru di kampus tersebut, Kanaya dan Kevin sudah menjadi pusat perhatian orang banyak. Bukankah dicintai orang yang paling kita cintai itu merupakan kebahagiaan terbesar dalam hidup ini? Melengkapi apa yang memang sudah terlihat begitu sempurna. Itu lah kehidupan Kanaya.
Dan hampir seluruhnya tahu jika Kanaya dan Kevin merupakan pasangan kekasih. Bahkan kabarnya mereka sudah bertunangan dan juga tinggal satu rumah. Dimana ada Kanaya, disitu ada Kevin. Mereka seolah tak terpisahkan. Walaupun sudah berhubungan lama, kedua orang itu selalu terlihat seperti pasangan yang sedang jatuh cinta. Dan lagi-lagi, banyak orang yang iri dengannya.
Iri dengan keadaan yang tak ada satu orangpun mengetahui kebenarannya.

***
Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Sedetikpun Kanaya tidak melepaskan pelukannya pada lengan Kevin. Walaupun mereka sedang berada dalam satu mobil, Kanaya tidak akan pernah melepaskan pelukannya walau hanya sebentar saja. Seolah-olah Kevin akan lari bila ia melepaskan pelukannya.
 “Lepasin tangan aku…” suara dingin Kevin seolah harus memaksa Kanaya untuk bangun dari mimpi indahnya. Mimpi indah? Kevin memang hanya mimpi indahnya. Tidak ada yang tahu. Tidak ada yang curiga. Kevin hanya sebatas mimpi indah yang tertahan oleh kenyataan pahit dalam hidupnya. Kevin bukan benar-benar tunangan ataupun kekasihnya. Bahkan jika mimpi indah ini berakhir, Kevin seolah bukan siapa-siapa di dalam hidupnya, sekalipun hanya sekedar seorang teman.
Kanaya terdiam. Perlahan ia melepaskan pelukannya dan duduk dengan posisi yang benar. “Di sini udah gak ada temen-temen lo. Harusnya lo gak perlu nempel-nempel terus sama gue. Ngerti lo!” ribuan pisau terasa menghujam jantung Kanaya saat itu. Tenang, tenang, batinnya perlahan. Tidak ada yang salah dengan perlakuan Kevin. Tidak ada yang salah dengan ucapan Kevin. Dan bukan pertama kalinya ia mendengar hal yang serupa.
Orang tuanya memang menjodohkan dirinya dengan Kevin tiga tahun yang lalu. Hutang keluarga Kevin yang begitu besar saat Ayahnya melakukan pinjaman untuk menyelamatkan perusahaan dari kebangkrutan menjadi permulaan kisah ini. Tidak segan-segan orang tua Kanaya membantu melunasi hutang-hutang tersebut untuk menyelamatkan keluarga Kevin dari kemiskinan. Perjodohan mereka sendiri pun bukan atas syarat balas budi tersebut, namun orang tua Kanaya menginginkan Kevin untuk menikahi putri semata wayang dari keluarga Bramantya, Kanaya Bramantya.
Sebagai anak laki satu-satunya sekaligus penerus kekayaan orangtuanya, tentu Kevin tak banyak bicara atas keinginan orangtuanya tersebut. Kevin sangat patuh dan penurut. Di depan orangtuanya dan juga keluarga Bramantya, Kevin sangat perhatian dan senang dengan Kanaya. Ucapannya lembut. Sikapnya begitu manis, membuat kedua belah pihak itu merasa sangat tepat dengan keputusan yang telah mereka buat. Dimata mereka, Kevin dan Kanaya saling mencintai. Kanaya yang tidak punya kakak atau adik. Kanaya yang selalu ditinggal kedua orangtuanya bekerja. Kanaya yang tidak memiliki banyak teman. Dan Kanaya yang selalu merasa kesepian, mungkin akan merasa jika Kevin lah pelipur laranya. Apalagi kini keluarga Bramantya menampung Kevin untuk tinggal di rumahnya selama orangtuanya berada di luar negri. Dan Kanaya jatuh cinta pada Kevin untuk yang pertama kalinya mereka bertemu.
Sayangnya, Kevin tidak.
Saat itu Kanaya masih bisa mengerti posisi Kevin yang mungkin saja, belum siap dengan perjodohan ini. Ia pun mengerti alasan Kevin untuk mengajaknya berpura-pura mesra setiap kali mereka berhadapan dengan keluarga Bramantya ataupun keluarga Kevin sendiri. Semua berjalan dengan lancar. Semua memainkan peran dengan baik. Bahkan di depan teman-teman Kanaya pun, Kevin akan bersikap bahwa ia adalah pria terbaik untuk Kanaya. Pria yang sangat mencintai Kanaya. Tak heran bila banyak orang yang sangat iri dengan hubungan mereka. Iri dengan kemesraan mereka. Andai saja kami benar saling mencintai, itu lah yang selalu terlintas di dalam hati Kanaya setiap kali ia sedang bersama Kevin di muka umum.
Tawa, senyum, pelukan, cium, genggaman, canda, kasih, hanya itu yang mereka dapatkan bila melihat kebersamaan Kanaya dan Kevin di depan teman-temannya. Andai kalian tahu, Kevin memang sedang bersama ku, tapi aku tidak tahu dimana hatinya saat ini berada, batin Kanaya kembali berbicara.
Sayangnya, Kanaya tidak bisa profesional dengan perannya sendiri. Ia mencintai Kevin. Ia tidak bisa menolak perasaan itu. Ia membiarkan rasa itu terus menggerogoti hatinya. Ia membiarkan rasa itu bernaung dalam dirinya walaupun terasa sakit. Seolah bagai menyimpan seekor lintah penghisap darah dalam tubuhnya sendiri. Ia tahu jiwanya tersiksa, tapi sedikitpun ia tidak sanggup jika harus mengusir paksa rasa yang telah bernaung di dalam hatinya. Kevin menerimanya hanya bentuk balas budi.  Dan, apa pernah Kanaya mengadukan hal ini kepada orangtuanya? Jawabannya tidak. Ia tidak akan pernah tega untuk memberi tahu orangtuanya. Ada kecemasan dan rasa takut dalam hatinya bila mereka tahu jika Kevin tidak mencintainya. Kanaya takut jika orangtuanya justru akan melepaskan Kevin.
“Kenapa sih, selama kepura-puraan kita atas hubungan ini, gak lo manfaatin untuk mencari cowok lain di luar sana?”
“Karna gue cintanya sama lo, Vin.”
Kevin terdiam setelah mendengar pengakuan Kanaya waktu itu. Ia merasa jika telah salah membiarkan hatinya jatuh cinta kepadanya.
“Gue gak bisa bohong, Vin. Gue jatuh cinta sama lo dari awal pertemuan kita.”
“Tapi kan lo gak tau kalau sedikitpun gue gak ada perasaan apa-apa sama lo.”
“Tolong biarkan gue seperti ini. Biarkan gue menikmati kepura-puraan ini.”
Saat itu Kevin diam. Dan Kanaya pun memang menikmati kepura-puraannya ini untuk benar-benar mencintai Kevin. Bahkan semakin menikmatinya. Ia semakin senang jika berada bersama Kevin di depan orang yang mereka kenal. Karna hanya saat-saat itu Kevin akan memperlakukannya sebagaimana hatinya meminta. Bahkan Kanaya merasa jika ia mendapati dua orang Kevin yang berbeda. Aku menyukai Kevin, sekalipun ia hanya aku miliki jika kami berada di tengah orang-orang yang kami kenal. Setidaknya lebih baik, daripada aku tidak bisa memilikinya sama sekali. Kanaya tahu dirinya kesepian. Maka dari itu, Kanaya membutuhkannya.
“Gue mohon, hanya di depan orang tua kita dan juga teman-teman, bersikaplah jika lo memang benar-benar seperti kekasih gue…” itulah yang Kanaya minta saat Kevin selalu meminta Kanaya untuk melepaskannya. “Gue tidak akan meminta lo untuk nantinya menikah dengan gue. Gue akan melepaskan lo perlahan. Tapi mohon, bersikaplah dengan baik di depan mereka, Vin.” Dan jadilah mereka sepasang kekasih yang bahagia di depan orang-orang. Bahkan terlalu bahagia.
Mobil telah sampai di depan rumah megah milik keluarga Bramantya. Seorang penjaga rumah tergesa-gesa membukakan pintu untuk Kanaya. Bagaikan seorang putri, perlahan Kanaya keluar dari mobil. Dilihatnya Kevin yang tengah berjalan cepat ke dalam rumah. Ia tahu, Kevin menghindarinya. Semenjak mencintai Kevin, ia selalu merasa sedih jika harus kembali pulang ke rumah. Itu tandanya, ia harus mendapati Kevin yang bagaikan orang asing untuknya. Tapi kesedihannya sedikit menghilang bila mengingat waktu makan malam. Walau tidak setiap saat, setidaknya ia bisa mendapati perlakuan Kevin yang baik padanya di depan Ayah dan Ibunya.
Kanaya akan terlihat begitu senang, begitu ceria, dan begitu menikmati setiap kebersamaannya dengan orang-orang yang ada di dekatnya. Tidak lain dan tidak bukan, karna ia merasa jika saat itu Kevin benar-benar menyayanginya. Ia sadar jika ini tidak nyata, tapi sedetikpun Kanaya tidak akan pernah rela meninggalkannya. Dengan perlahan Kevin menuangkan air putih ke dalam gelas miliknya. Kemudian mengambilkan makanan di atas piringnya. Saat itu Kanaya akan menceritakan kegiatannya di kampus dengan wajah riang. Raut wajah senang pun terpancar dari kedua orangtuanya. Selain senang mendengar cerita Kanaya, mereka juga senang melihat dua sejoli yang ada di hadapan mereka saat ini. Bahkan sesekali Kanaya dan Kevin dapat bercanda dengan saling pukul bila sedang ada di meja makan. Dan tawa pun akan terdengar dari ruangan itu.
Namun sebelum Kanaya benar-benar paham dengan situasinya ini, ia pun pernah marah dengan Kevin. Marah dengan ketidak nyamanan yang ia rasakan. Tapi, Kevin selalu mengatakan hal yang dapat menampar dirinya dengan keras. Tamparan yang memaksanya untuk bangun. “Gue ada bersama lo bukan karna keinginan gue. Bukan karna hati gue. Secara tidak langsung, orang tua lo lah yang telah membayar keberadaan gue saat ini. Gue ada di sini karna orang tua gue berhutang banyak sama keluarga lo.” Jelas Kevin sama sekali tidak mencintainya.
“Ada cerita apa tentang kalian hari ini?” tanya sang bunda kepada anak semata wayangnya. Kanaya menghentikan makannya, ia melirik Kevin yang ada di sebelahnya, seolah berkata, drama apa yang akan kita ceritakan padanya hari ini?
Dengan senyum mengembang, dengan segera Kevin langsung menjawab pertanyaan Mamahnya Kanaya, “Hari ini dia sibuk sama teman-temannya.” Jawaban Kevin langsung disambut tawa oleh Kanaya. Tentu saja tawa itu termasuk di dalam drama mereka setiap waktu makan malam.
“Kevin nya aja yang gak pernah mau gabung sama temen-temen, ku.”
“Aku gak enak, Nay. Kan kamu tahu kalau diantara kalian cuma kamu yang punya pacar. Hahaha…” Mamah pun ikut tertawa sembari mendengar perkataan Kevin barusan. Benar-benar makan malam yang menyenangkan, ucap Kanaya dalam hati, menyenangkan bila semua perasaan ini nyata.
“Loh, bukannya Andra, temen kamu itu punya pacar?” tanya Mamah.
“Andra sih jangan ditanya. Saking banyaknya, aku aja gak tahu mana yang pacar dia dan mana yang bukan.”
Playboy kelas berat tuh temen mu.”
“Kamu gak berniat untuk ganti-ganti kekasih kayak Andra?” tatapan mata Kevin sekaligus perkataannya barusan sangat mengena di hatinya. Mungkin bagi Mamah akan terdengar seperti bercandaan kala itu. Tapi Kanaya sadar sekali, mata Kevin ikut berbicara kala itu. Menatapnya dengan tajam. Memojokan dirinya. Menyindir. Sekaligus seolah terdengar selayaknya sebuah permintaan.
Alhasil, Kanaya hanya membalas ucapan Kevin dengan senyum simpul. Dan kini ia hanya mendengar suara obrolan Mamah bersama Kevin sepanjang makan malam. Makan malam yang selalu penuh dengan drama. Drama yang menyakitkan sekaligus tak bisa ia tinggalkan begitu saja.
Usai makan malam, Kevin kembali ke kamarnya. Malam ini Kanaya benar-benar merindukan Kevin. Cara merindukan seseorang paling buruk adalah dengan berada di dekat orang tersebut, tapi ia tahu jika sampai kapanpun ia tidak akan benar-benar bisa menyentuhnya. Ia tidak bisa menyentuh hati Kevin.
 “Vin…” Kanaya mengintip di balik pintu kamar Kevin. “Vin, lagi apa? Gue masuk, ya?” dilihatnya Kevin sedang duduk di depan meja. Tubuhnya membelakangi Kanaya saat itu. Perlahan Kanaya masuk ke dalam dan menutup pintu kamar Kevin. Dilihatnya jendela kamar Kevin yang dibiarkan terbuka. Tirai gorden berwarna putih seolah menari perlahan tertiup angin malam.
“Tutup, ya, Vin? Angin malam, tuh, gak bagus.” Kanaya mulai menutup jendela kamar Kevin. “Nanti kalau lo sakit gimana?”
“Ah, gak apa-apa, kok. Lagian sering kebuka gitu.”
Kanaya menoleh. Dilihatnya Kevin tengah membungkus sebuah kotak dengan pita berwarna coklat muda. Walaupun tidak tersenyum, wajah Kevin terlihat senang saat itu. Ketika kita sangat mencintai seseorang, mungkinkah kita seolah bisa masuk ke dalam matanya. Melihat yang tertera dalam hati melalui pandangannya. Termasuk tatapan palsu yang selalu Kanaya dapati jika ia sedang bersama Kevin di tengah banyak orang.
“Ada apa?” tanya Kevin dengan wajah datar. Ia membuka laci meja dan kemudian meletakan kotak berpita tersebut ke dalamnya. Mata Kanaya terus mengikuti kemana kotak itu pergi. “Kenapa, Nay?” tanya Kevin lagi.
“Buat siapa?”
“Temen.”
“Cewek, ya?”
“Kalau iya, emang kenapa?” Kanaya benci tatapan itu. Tatapan yang seolah sedang menantangnya. Menantang dirinya sembari berkata, kalau gue suka sama cewek lain, terus, lo mau apa?
“Pacar?”
“Pacar gue atau bukan, itu bukan urusan lo.” Kevin menjauhi Kanaya. Ia mendekati sofa yang tidak jauh dari tempat tidurnya. Kevin mulai menyibukan diri dengan membuka-buka sebuah majalah. Kanaya terlihat tidak puas dengan jawaban yang ia dapat. Hatinya mendadak tidak tenang. Bertahun-tahun ia mencintai Kevin, bertahun-tahun ia berpura-pura menjadi kekasih Kevin, ia memang tidak pernah sedikitpun mendengar ada nama wanita lain. Dan kini, hal yang paling ia takuti mungkin saja terjadi.
Kanaya terdiam. Ia terlihat menahan rasa kesalnya. Walau tak tahu kebenarannya tentu saja rasa cemburu itu seketika singgah di dalam dirinya. Baru saja ia akan membuka mulutnya, Kevin lebih dahulu memanggilnya.
“Kanaya…” Kevin menutup majalahnya. Dilihatnya Kevin tersenyum kecil. Senyum pada keadaan, bukan pada dirinya. “Gue…” saat itu jantung Kanaya seolah melemah. Tak kuat berdetak. Perasaannya semakin tidak enak. Jangan katakan apapun, jangan!
“Gue...” Kevin menggantung kalimatnya. Dan ia…tertawa kecil. Kevin tertawa, dan ia terlihat bahagia. Entah apa yang saat itu dibayangkannya, dan tak mampu bagi Kanaya untuk ikut membayangkannya pula.
Kevin kembali menatapnya. “Gue jatuh cinta.”
Demi Tuhan, dunia Kanaya seolah runtuh saat itu juga. Butiran air mata seolah sudah berkumpul di ujung matanya dan bersiap untuk ditumpahkan. “Oh, ya? Sama siapa?” Demi Tuhan, Kevin. Jangan pernah katakan siapa nama wanita itu. Jangan pernah memberi tahu aku, siapa orang terkutuk itu. Orang yang telah merampas keseluruhan hati mu disaat aku sedang mengumpulkannya sedikit demi sedikit.
Dan air mata Kanaya akhirnya jatuh juga.
“Lo benar-benar mau tau?”
“Bilang sama gue siapa orang itu?”
Kevin menghelang nafasnya. “Lo gak harusnya sedih, Nay. Lo tahu kan cepat atau lambat hal ini akan datang juga.” Perlahan Kevin mendekati Kanaya. Berdiri berhadapan dengan Kanaya. Ia tahu hati wanita ini terluka, tapi ia pun ingin membahagiakan hatinya sendiri. Ia tidak bisa terus berpura-pura dengan Kanaya.
“Kenapa lo harus cari orang lain, sih, Vin? Jelas-jelas lo tau ada gue di dekat lo! Gue yang paling mencintai lo! Kenapa lo gak pernah menoleh sedikitpun ke gue, Vin?” Kanaya setengah berteriak. Ia sadar, jika di balik pintu kamar Kevin ada orang lain, pasti orang tersebut akan dengan sangat jelas dapat mendengar percakapan mereka.
Kevin tak bergeming. Ia menatap Kanaya dengan datar. “Lo ingat, gue pernah tanya sama lo, kenapa lo bisa jatuh cinta sama gue? Dan lo menjawab, lo gak tau, karna cinta itu yang memilih gue, bukan lo.” Kanaya terdiam. Ia ingat. “Dan sekarang pun gue mengerti kenapa lo menjawab seperti itu. Karna gue pun merasakan hal demikian. Bukan gue yang memilih, tapi cinta itu sendiri yang memilih orang itu. Dan orang itu bukan lo.”
“Tapi lo gak akan pernah bisa menikah sama dia!” Kanaya mulai merasakan amarah dalam dirinya. Ia tidak terima. Tidak akan pernah terima jika ada wanita lain yang bertahta di dalam hati Kevin. “Lo gak lupa kan kalau orang tua kita sudah menjodohkan kita.”
“Lo…?” Kevin langsung terdiam. Ia merasa tengah diancam.
“Iya, gue tau. Yang kemarin emang pura-pura. Dan gue pernah bilang, asalkan lo mau bersikap baik di depan teman-teman gue, di depan orang-orang, gue gak masalah kalau memang hanya pura-pura. Tapi apa lo pikir gue akan melepaskan lo begitu aja?” ditatapnya Kevin dengan mata berkaca-kaca. “Gak, Vin! Gue berubah pikiran! Gue akan tetap mempertahankan lo. Gak perduli lo menerima atas balas budi atau gak, tapi lo harus tau, Vin… Ini cinta, Vin. Cinta….” Kanaya menangis sambil menunjuk dadanya. Kanaya tidak pernah percaya dengan kata-kata ‘cinta tidak harus memiliki’, karna cinta itu pasti ingin memiliki. Ia mencintai Kevin, dan ia ingin memilikinya. Ia lupa dengan perjanjiannya. Ia lupa dengan kepura-puraannya. Tapi kali ini, mendengar Kevin jatuh cinta dengan orang lain, itu terdengar seperti ancaman untuknya.
“Gue akan jujur sama orang tua gue. Dan gue juga akan jujur sama orang tua lo. Gue akan kerja keras, cari uang yang banyak untuk menggantikan hutang-hutang bokap gue yang udah dibayar sama keluarga lo.” mata Kevin terlihat sangat sedih, dan itu terlihat begitu menusuk di hati Kanaya. Sebegitunyakah Kevin ingin melepas diri darinya. Sebesar itukan rasa cinta Kevin terhadap wanita itu sehingga mampu membuat diri ingin memberontak. Ya, saat ini yang Kanaya lihat, Kevin tengah memberontak.
Kevin tersenyum sinis. “Jangan lo pikir selama ini gue gak tersiksa sama perasaan gue sendiri, Nay. Gue coba, Nay. Gue pernah kok coba untuk bisa catuh cinta sama, lo. Tapi emang gak pernah bisa!” Rahang Kevin mengeras. Matanya merah. Kesal sedih bercampur di dalam dirinya. Ia tidak sedang melawan Kanaya. Ia sedang melawan perasaan Kanaya yang mengikat dirinya.
“Lo pikir dengan jujur sama mereka, hubungan lo dengan dengan wanita itu bisa berjalan dengan lancar. Gak semudah itu, Vin. Ingat! Udah berapa lama lo membohongi mereka? Terus sekarang tiba-tiba lo jujur ke orang tua lo, ke orang tua gue, kalau semua cuma pura-pura? Lo pikir mereka akan menerima gitu aja?” Kevin mulai merasa terpojok dengan perkataan Kanaya. “Gak semudah itu, Vin. Orang tua lo itu sudah terikat sama keluarga Bramantya. Usaha perhotelan di Belanda yang dijalankan orang tua lo itu sebenarnya adalah milik keluarga Bramantya. Keluarga lo itu udah gak punya apa-apa.”
“Gue gak perduli!” bentak Kevin. “Gue akan tetap membatalkan pertunangan ini!”
“Kevin…” suara lain terdengar dari arah pintu. Kanaya dan Kevin serempak menoleh ke asal suara itu. Dan saat itu tengah berdiri seorang wanita cantik berambut hitam dengan panjang sebahu di depan pintu kamar Kevin yang terbuka. Wanita itu menatap tajam pada Kevin.
“Mamah…” ucap Kevin perlahan.
Kanaya pun tak kalah terkejutnya. Entah sudah sejak kapan Maria berdiri di depan pintu kamar Kevin. Setahu Kanaya, kedua orang tua Kevin sedang berada di Belanda, dan ia tidak mendengar kabar mengenai kepulangan mereka ke Indonesia. Maria tersenyum pada Kanaya. Ia merentangkan tangannya seolah menyuruh Kanaya untuk segera memeluk dirinya.
Awalnya Kanaya ragu. Mungkinkah ia mendengar semua percakapannya dengan Kevin? “Sini sayang…” ucapnya dengan suara lembut. Perlahan Kanaya mendekat dan memeluk Maria dengan erat. Perlahan ia merasakan tangan Maria mengelus kepalanya dan kemudian berbisik, “Jangan menangis, sayang. Air mata kamu terlalu mahal. Pergilah keluar sebentar, biar tante yang berbicara dengan Kevin.”
Kanaya langsung keluar dari kamar Kevin setelah melepas pelukannya pada Maria. Dari balik celah pintu yang sedikit terbuka, Kanaya melihat Maria tengah menampar pipi Kevin dengan keras. Dan saat itu pula air mata Kanaya mengalir dengan deras. Samar-samar Kanaya mendengar pembicaraan di dalam sana. Rupanya Maria mendengar semua ucapannya dengan Kevin. Dan tentunya, ia sudah tahu dengan kepura-puraan ini.
Maaf, Vin. Maafin aku.
Dan sesungguhnya, disaat banyak orang yang mengirikan hubungannya dengan Kevin, justru ia pun juga merasa sangat iri dengan hubungan orang-orang. Hubungan yang nyata. Hubungan yang sederhana.
Kanaya masuk ke dalam kamarnya. Ia mengecek handphone. Rupanya ada missed call dari Maira. Kanaya langsung menelfon balik Maira. Ia duduk di lantai dengan menyandar badan tempat tidur. Sesekali menyeka air matanya. Ia berusaha melupakan pembicaraan bersama Kevin barusan dengan bercerita hal-hal yang menyenangkan bersama Maira.
Setelah mematikan sambungan telfonnya, baru Kanaya benar-benar menangis. Tangis yang tidak pernah ada satupun yang mengetahuinya. Tangis yang tak pernah dibayangkan oleh orang-orang yang memujanya. Namun, ini lah kenyataannya. Ini lah yang sebenarnya terjadi. Kanaya sadar, orang tua Kevin tak benar-benar menyayanginya. Mereka menyayangi harta dan kekayaannya. Mereka menjual Kevin demi menyelamatkan kembali hidup mewah mereka yang hampir lenyap. Hati kecilnya berbisik, tidak ada inisiatif perjodohan, ia lah yang meminta orang tuanya untuk menjodohkannya dengan Kevin.
Terlalu naif bila berfikiran jika cinta dapat dibeli dengan uang. Nyatanya, Kanaya mencintai Kevin, dan ia membelinya. Sekalipun hal itu tidak membuatnya benar-benar bahagia. Setidaknya, orang lain melihat kehidupannya mendekati sempurna. Atau bahkan hampir sempurna. Mereka tidak pernah tahu, pada malam harinya, berapa banyak air mata yang harus menggantikan senyum di pagi hari? Biarkan saja orang-orang itu memuja kepalsuan hubungannya.

No comments:

Post a Comment