Good Morning, Univers!

i dont know if i've ever felt like that :)

Thursday, November 28, 2013

ANDRA

Part of Broken Butterfly by Alaine Any



Andra Ramantra. Siapa yang tidak kenal dengan remaja 19 tahun yang memiliki segudang teman di kampusnya? Andra yang tampan. Andra yang memiliki banyak kelebihan materi. Andra yang digilai banyak wanita. Andra yang bisa berganti wanita sesuai dengan keinginannya. Andra yang bisa menjalin hubungan dengan wanita manapun tanpa takut merasa patah hati. Hanya saja, satu yang tidak pernah orang-orang tahu, bahwa ia adalah Andra yang kesepian. Lucu memang ketika seseorang tertawa paling keras di tengah keramaian, namun ternyata justru merasakan kesepian yang begitu menyayat hati terdalamnya. Dari sekian banyak wanita yang hadir ke dalam hidupnya, tak pernah sekalipun ia membiarkan wanita itu menyentuh lebih jauh ke dalam relung hatinya. Lagipula, Andra sadar, wanita itu mendekatinya bukan sebatas tulusnya perasaan, hanya berdasarkan rasa nafsu dan materi. Terbukti jika Andra tidak mau benar-benar berhubungan dengan wanita yang memang mencintainya.
Ndra… kalau ada apa-apa, cerita aja ya, sama aku. Ya, walaupun sekarang kamu ngejauhin aku, tapi aku gak dendam sama kamu, aku akan selalu jadi teman terbaik buat kamu…” Andra tersenyum kecut sambil mematikan ponselnya. Voice note dari Kemmy ia dengar dalam perjalanan pulang ke rumah. Kemmy yang cantik, Kemmy yang malang. Andra meninggalkan Kemmy setelah ia tahu jika wanita berhati baik itu memberikan perasaan lebih padanya. Ia tidak mau tenggelam dalam kebaikan dan tulusnya perasaan Kemmy. Andra tidak ingin jatuh cinta dan terbelenggu dalam rasa patah hati. Ya… Andra takut patah hati. Sama seperti Tasya. Hari ini ia memutuskan hubungannya dengan Tasya ketika ia tahu jika Tasya mulai memiliki perasaan lebih dapanya. Hanya saja, Tasya tak setegar Kemmy.
Sambil mengemudikan mobilnya, satu tangan Andra mulai mencari-cari sebuah nama di dalam ponselnya. Ia menekan tombol dial setelah menemukan nama yang dicarinya. “Halo Fiola… hah? Tumben? Perasaan kamu aja kali. Hahaha… enak aja, kamu tuh yang sombong. Hmm… iya iya. Nih aku lagi di daerah rumah kamu. Oh… gak. Gak sibuk. Ya udah aku ke tempat kamu sekarang, ya…” Andra mematikan kembali ponselnya. Seperti itulah dirinya yang sebenarnya. Ia selalu menggunakan wanita-wanita itu jika perasaannya sedang kalut.
Tak lama ponselnya kembali berbunyi. Tanpa melihat siapa penelfonnya, Andra pun langsung menerimanya, “Apalagi sih, sayang?”
“Heh!” teriak penelfon di sebrang sana. Andra sedikit terkejut. Sepintas ia melihat ke layar ponsel dan tertawa geli setelah ia tahu jika Stanza lah yang menelfonnya. “Hahahaha. Iyaaaaa, Stanza sayang maksud gue? Ada apa, toh? Belum ada sejam pisah sama gue, lo udah nelfon gue. Pasti lo gak puas kan seharian ketemu sama gue…”
“Berisik lo! Lo dimanaaaaaa?”                   
“Tuh, kan? Dari nada suara lo aja, kayaknya lo pengen tau banget gue ada dimana.”
“Andra, gua serius…”
“Iya, iya, gue lagi di jalan mau ke rumahnya Fiola. Kenapa? Mau ikut? Jangan, ya. Gue gak biasa threesome. Hahahahaha.”
“Oh.” Tiba-tiba saja sambungan telfon terputus. Yah, dia ngambek. Andra tertawa geli. Ia sudah biasa meladeni sifat Stanza yang seperti itu. Stanza memang selalu seperti itu. Sering menelfoni teman-temannya, hanya sekedar bertanya lagi apa, dimana, bersama siapa, lalu mematikan sambungan telfon seenaknya saja. Entahlah, mungkin Stanza hanya iseng menelfon dirinya, pikir Andra lagi. Buru-buru ia membelokan stirnya memasuki kawasan Pondok Indah. Sudah ia putuskan, malam ini, ia akan bermalam di rumah Fiola.
Andra lupa kapan ia menjalin hubungan dengan gadis kelahiran Sunda Jerman itu. Yang ia ingat, ia tidak lama berpacaran dengan Fiola, dan saat itu Fiola sendiri juga sudah memiliki kekasih. Namun setelah kekasih Fiola kembali ke Indonesia, mereka pun sepakat mengakhiri hubungan mereka. Dan, apakah Andra merasa kehilangan? Tentu tidak. Baginya, selama bersama Fiola, Fiola hanya teman tidur dan berbagi kesenangannya saja. Fiola hanya tertarik dengan ketampanan dan hubungan seks, tidak lebih. Lagipula, Andra bisa mendatangi Helen, Sisca, Dara, Julia, dan sederet nama teman wanita lainnya.
“Halo… iya sayang. Udah, kok, udah. Nih udah mau tidur…” samar-samar suara Fiola terdengar di telinga Andra. Entah sudah berapa lama ia berada di kamar Fiola. Yang pasti, sesampainya ia di rumah besar wanita ini, Fiola langsung menganjak Andra ke kamarnya dan melakukan sesuatu yang memang seolah menjadi keharusan bagi mereka bila bertemu. Andra berada di atas tempat tidur. Ia memiringkan badannya membelakangi Fiola. Memandangi pakaian mereka yang tersebar di lantai. Entah, bagaimana prosesnya baju itu bisa berserakan dilantai. Andra sendiri merasa jika pikirannya pun entah berada dimana.
“Udah, udah aku kunci semua. Mami sama Papi masih di Boston. Makanya kamu cepat balik ke Jakarta…” Fiola sedang asik menelfon kekasihnya di sudut ruangan. Tubuh mulusnya hanya ditutupi oleh selembar selimut. Sesekali tawa centilnya menggelitik di telinga Andra. Ia sama sekali tidak cemburu. Hanya saja, ia mulai merasa bosan berada di kamar ini. Andra turun dari tempat tidurnya dan mulai memakai pakaiannya. Mata Fiola terus memperhatikan gerak-gerik Andra sambil terus menelfon. “Sayang, sebentar, ya. Aku pengen pipis, nih. Nanti aku telfon balik.”
Buru-buru Fiola mendekati Andra. Seolah tidak rela harus melihat kepergian Andra malam ini.
“Kamu mau kemana, sih?”
Andra tersenyum manis. Senyum yang mampu menyembunyikan seluruh kegundahan dalam hatinya. “Kamu marah, ya, aku cuekin?” Fiola memeluk Andra manja. Satu tangannya tetap memegangi selumut yang sedang membungkus tubuhnya.
“Aku harus pergi, nih. Stanza bbm aku. Dia bilang lagi butuh bantuan aku.” Fiola langsung melepaskan pelukannya. Andra mengecup kening Fiola. “Kapan aja kan aku bisa ke tempat kamu.” Fiola mengangguk mengiyakan. “Aku pergi dulu, ya.” Dalam sekejap Andra pun segera meninggalkan rumah Fiola. Saat keluar dari kamar pun, samar-samar Andra mendengar suara Fiola yang kembali menelfon kekasihnya. Kemudian Andra langsung menuju rumahnya. Stanza tidak benar-benar meminta bantuannya. Ia hanya beralasan pada Fiola.
Ada apa dengan, Andra? Mengapa Andra seperti ini? Terlihat sepi. Terlihat kosong. Terlihat hampa. Padahal usianya masih terbilang muda, tetapi Andra sudah terjebak dalam pergaulan yang teramat bebas, tanpa larangan. Andra pernah berfikir, jika memang benar setiap harinya Tuhan selalu menjatahkan satu kotak tertawa pada manusia, rasanya ia hanya bisa membuka kotak tertawanya bila sedang bersama teman-temannya.
Harusnya tidak seperti ini. Tidak jika Bella masih ada di sisinya. Empat tahun yang lalu, saat ia masih duduk di kelas satu SMA. Ia bertemu dengan perempuan tercantik dalam hidupnya. Kakak kelasnya yang berusia dua tahun lebih tua darinya, Bella. Mereka berpacaran. Bagi Andra, Bella lah pengganti sosok ibunya yang telah lama meninggal. Bella yang baik hati. Bella yang sederhana. Andra tidak perduli jika Bella hanya seorang anak penjual sayur di Pasar. Tak perduli dengan cibiran teman-temannya. Baginya, Bella lah yang terbaik.
Karna faktor ekonomi, Bella tidak melanjutkan kejenjang yang lebih tinggi. Ia hanya tercatat sebagai lulusan SMA. Dan mereka masih menjalin hubungan selama kurang lebih satu tahun. Tapi sayang, cinta memang tetap menjadi cinta, namun materi tetaplah menomor satukan harga diri bagi orang-orang yang mementingkan kenikmatan hidup. Bella menerima lamaran seorang duda kaya yang tertarik padanya. Dengan menikahi duda tersebut, derajat keluarga Bella akan segera terangkat. Orang tuanya pun tak perlu berjualan lagi di pasar. Bahkan pria itu pun berniat memboyong Bella untuk menikah di Belanda.
“Kamu… mau nikah?”
“Iya, Ndra. Maafin aku. Harus ada yang bisa aku lakukan untuk membahagiakan orang tua aku. Kami ini keluarga miskin. Kami butuh uang untuk mencukupi hidup kami. Kami juga capek jadi orang kesusahan terus.”
“Bella, aku yakin kamu bukan orang seperti itu. Kalau soal uang, aku bisa bantu. Kamu gak perlu nikah sama orang yang gak kamu cintai. Ada aku disini.”
“Apa yang bisa aku harapkan dari anak sekolah seperti kamu? Uang aja aku yakin kamu masih minta sama orang tua kamu. Dan soal cinta? Aku yakin, cinta itu akan datang dengan sendirinya. Dan mulai sekarang, jangan pernah ingat-ingat aku lagi…”
Untuk pertama kalinya, Andra tahu bagaimana rasanya patah hati. Dan, apakah karna itu Andra mati rasa? Bukan. Bukan karna Bella pergi meninggalkannya. Ia masih berusaha untuk bangkit. Ia masih mencoba berdiri dengan sisa-sisa kepingan hatinya yang sudah tak terbentuk. Namun, kenyataan pahit lainnya harus ia dapatkan. Pria yang dinikahi Bella adalah… Papahnya.
Hubungan Andra dengan Papahnya pun tak terlalu dekat. Sang Ayah sendiri berpendapat jika Andra hanya membutuhkan uangnya saja, tak lebih. Dan Andra akui, ia memang hanya membutuhkan uang si tua bangka ini. Papahnya hanya manusia biasa. Mamahnya meninggal dalam kecelakaan pesawat saat ia berusia 10 tahun. Tentu Papahnya membutuhkan pendamping baru untuknya. Ya… walaupun yang ia nikahi sama sekali tidak memiliki sosok keibuan. Papahnya menikahi Bella untuk teman hidupnya, bukan mencarikan Ibu baru untuk Andra.
Apa Andra dendam dengan Papahnya karna telah menikahi Bella? Jawabannya tidak. Andra tahu, Papahnya tidak pernah tahu jika Bella adalah kekasihnya, namun Andra yakin, Bella sangat tahu jika yang ia nikahi adalah Ayah kandung dari kekasihnya. Andra tidak akan pernah bisa membunuh perasaannya sendiri meskipun saat ini ia sangat membenci Bella. Kenangan yang ditorehkan terlalu dalam. Andra menyimpan baik-baik kenangan manisnya bersama Bella. Namun, wanita yang kini bersama Ayahnya, tak lain ia sebut sebagai jalang.
Jam menunjukan pukul dua malam saat ia masuk ke dalam rumahnya. Ia sempat melihat mobil Papahnya di depan rumah. Dan itu tandanya, di dalam rumah ini ada Bella. Sambil menahan kantuk, Andra melangkahkan kakinya ke dalam rumah. Lampu-lampu meja hanya menjadi penerang kala itu. Tak mau berpapasan dengan siapapun di dalam rumah, Andra langsung berlari menaiki anak tangga menuju lantai dua, kamarnya. Ia melempar jaketnya saat melewati sofa. Wangi Fiola yang begitu menyengat rupanya menempel pada jaket yang dipakainya, dan itu sedikit membuatnya merasa mual. Entah mengapa jika berjauhan dengan wanita-wanita itu, perut Andra selalu merasa mual. Mual mengingat perbuatannya sendiri.
Andra menutup pintu keras-keras. Saat ia menyalakan lampu kamar, betapa terkejutnya ia ketika ada seseorang yang langsung memeluknya dari belakang. “Aaaargghhh…” Andra berusaha melepaskan pelukannya itu. Dan dilihatnya sosok Bella yang menatap nakal padanya. Bella pasti menunggunya pulang. Menyebalkan, pikir Andra dalam hati. Bella memakai baju tidur yang sangat seksi. Warna lipsticknya merah merona. Rambutnya berwarna coklat terang. Benar-benar sosok wanita penggoda. Lagi-lagi Andra ingin mual melihat Bella yang seperti itu. Beda sekali dengan Bella yang pertama ia kenal. Dulu Bella berambut hitam dan… sepertinya, memakai bedak pun tak pernah. Oh, tapi lihatlah Bella yang sekarang.
“Kamu kemana, sih, Ndra? Aku nungguin kamu udah dari tadi. Papah kamu udah tidur di kamarnya. aku sengaja datang ke kamar kamu, karna aku pengen tidur sama kamu.” Andra sontak menyingkirkan wajah Bella yang hendak menyiumnya. Bella sangat bernafsu kala itu.
“Apa sih, Bel!” bentak Andra setengah berbisik. “Lo udah gila, ya? Keluar lo dari kamar gue sekarang juga.”
“Udah, lah, Ndra. Emang aku gak tau? Kamu masih cinta kan sama aku?”
“Gak! Bagi gue, lo tuh udah lama mati. Kan lo sendiri yang bilang kalau kita harus menjalankan hidup kita masing-masing.”
“Oh, ya?” Bella tertawa sinis. “Lalu ngapain kamu manggil-manggil nama aku sewaktu kamu tertidur?” Andra terdiam. Benarkah ia memanggil nama Bella saat sedang tertidur. Seperti itukah dirinya setiap malam? Tersiksa dalam mimpi dan memanggil-manggil nama Bella? Memalukan!
Lagi-lagi Bella berusaha merengkuh wajah Andra dan berusaha untuk menciumnya. Bibirnya hampir saja bersentuhan dengan bibir Bella. “Ndra, plis. Jangan tolak aku lagi. Aku kangen sama kamu, Ndra. Kamu tau kan alasan aku nikah sama Papah kamu itu hanya karna materi. Aku cintanya sama kamu, Ndra.” Andra kesal. Ia merasa jijik. Sangat jijik. Buru-buru dilepaskannya cengkraman Bella. “Lepasin gue!” teriak Andra dengan suara keras. Ditariknya tangan Bella dan membawanya keluar dari kamarnya. Bella menahan diri. Namun Andra berhasil membawanya keluar kamar.
“Jangan pernah sentuh gue lagi!”
Bella langsung memeluk Andra dengan kuat. Dan Andra pun langsung mendorong tubuh Bella dengan kuat. Namun hal yang tidak diinginkan pun terjadi, Papah Andra yang terbangun, rupanya tengah berjalan ke lantai atas dan kini memergoki mereka berdua. Dan saat itu Andra tengah memegangi kedua lengan Bella.
“Andra! Bella!” teriaknya keras. Rambutnya sudah hampir memutih keseluruhan. Dahinya berkerut. Tubuhnya tinggi besar. Dan kini matanya terlihat tajam memandang keduanya. Andra langsung melepaskan pegangannya. Bella menangis dan berlari ke pelukan suaminya.
“Lihat, apa yang dilakukan anak mu! Dia kembali mencoba merayuku, sayang. Aku sedang menonton televisi di ruang ini, ia datang dan kemudian merayuku.” Suara Bella terdengar parau. Rupanya, selain menjadi jalang, Bella berbakat menjadi seorang aktris, batin Andra dalam hati. Dan entah apa yang dikatakan Bella lagi kepada Papahnya. Membela diripun tak ada gunanya. Papahnya akan selalu mendengarkan perkataan istri mudanya itu. Dan seperti sudah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, Andra pun tetap diam di tempat. Menanti sang Ayah mendekatinya.
“Anak kurang ajar!” sebuah bogem mentah langsung melayang ke pipi Andra. Hatinya menangis. Sakit sekali. Berkali-kali Papahnya memukuli dirinya. Dari sudut matanya, Andra melihat Bella yang tersenyum sinis padanya. Kemudian perlahan menuruni anak tangga. “Sudah ku bilang, jangan pernah berani mengganggu Bella!” Andra tersungkur. Hidungnya mengeluarkan darah. Rahangnya terasa sakit. Tak lama badannya terasa begitu lemas. Papahnya menghentikan pukulannya setelah ia merasa hukuman yang diberikan cukup. “Besok aku dan Bella akan kembali ke Belanda.” Ucapnya kesal dan kemudian pergi meninggalkan Andra.
Dadanya terasa sesak. Nafasnya tersengal-sengal. Ia menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya. Ini bukan pertama kalinya Papahnya memukulinya seperti ini. Baginya, ini seperti sebuah hukuman karna ia tidak pernah mau menuruti permintaan Bella. Bella yang licik. Bella yang selalu berada di belakang Papahnya. Mengatakan kebohongan. Melampiaskan amarah karna keinginannya tak tercapai. Dan ini lah yang sebenarnya terjadi. Ia selalu berkata pada teman-temannya jika luka memar yang ia dapat karna dihajar oleh kekasih wanita-wanitanya itu hanya bohong belaka. Papahnya lah yang menorehkan luka ini. Dan luka terdalamnya, Bella yang mengkaryakannya. Bella ibarat seniman sejati. Ukuran yang ia buat di dalam hati Andra akan tetap abadi.
“Stan…”
“Apa?”
Andra mencoba menghubungi Stanza dengan telfon genggamnya. Ia harus bicara dengan seseorang. Harus. Bukan untuk mengadukan apa yang telah terjadi. Ia hanya ingin berbicara dengan seseorang, itu saja.
“Sori ya, gue nelfon jam segini.”
“Iya, lagian gue masih di jalan, kok.”
“Lagi dimana?”
“Dimana-mana hati ku senang…”
“Yeee… nyebelin. Ternyata begini, ya, rasanya jadi lo kalau lagi mau ngomong malah dibecandain.”
“Ciyeee, kepikiran gue, ya?”
“Udah deh jangan bercanda dulu, lagi gak bisa bercanda nih, sakit mulut gue.”
“Hahahaha… makanya, jangan kebanyakan ciuman.”
“Iya. Dicium sama pacarnya Fiola.”
What???? Lo threesome sama cowoknya Fiola? Eh, gilaaaaaa, lo Ndra. Hahahahaha. Sumpah, gue ketawa beneran, gak bohooooong.”
“Lo gilaaaaaaaa.”
“Hahaha. Udah, deh Ndra…” Suara Stanza mulai terdengar melemah. “Lo bebas kok pacaran sama cewek manapun yang lo mau, tapi kalau bisa jangan sama kekasih orang lain. Jaga-jaga aja, supaya jangan ada yang tersakiti.”
“Iya, nih. Gue yang tersakiti, soalnya gue yang ditonjok.”
“Ya udah, jangan lupa dikompres, ya lukanya…”
“Ya, udah. Sampai ketemu di kampus.”
“Sampai ketemu juga, Ndra.”
Andra meletakan ponselnya di atas tempat tidur. Ia kembali bersandar pada sisi ranjang sambil memegangi perutnya. Sakit. Terasa sangat sakit. Namun yang ia rasakan bukanlah sakit pada luka memar yang ada di tubuhnya, melainkan hati terdalamnya. Tadinya ia berfikir akan sedikit mengalihkan perhatiannya dengan menelfon salah satu temannya. Namun rasa sakit ini terlalu dasyat. Terlalu merajai jiwanya.
Andra kembali menangis. Ia menangis dalam ruang yang kosong. Menangis dalam kesendirian. Andra merasa sangat kesepian. Pelipur laranya memang telah berubah menjadi ujung tombak yang selalu menusukan runcingnya tepat di dalam hatinya. Tak ada bedanya dengan wanita jalang di luar sana. Namun rasa kebencian itu terasa sakit. Sakit sekali. Karna saat ini, Andra begitu merindukan pelipur laranya. Andra merindukan Bella. Rindu yang tak akan tersampaikan. Rindu yang mengoyak jiwa kesepiannya.
Dan Andra, tersiksa.

No comments:

Post a Comment