Good Morning, Univers!

i dont know if i've ever felt like that :)

Wednesday, December 17, 2014

#RabuMenulis Siapa suruh...

Gemblong, Kemarin, dan Cinta
Hari ini aku dilempari gemblong.
“Pluk!” gemblong lengket berwarna coklat mendarat mulus di kepalaku. Aku tahu siapa pelakunya. Pasti si tukang gemblong sialan itu.
“Heh! Sembarangan!” teriak ku lantang pada si pemilik tubuh kurus kering yang biasa menjajakan jualan gemblong di pasar becek dekat stasiun kereta. “Lihat, nih! Gara-gara kamu rambut saya jadi lengket.”
Ia pura-pura tak mendengarkan amarah ku. Dan yang membuat ku semakin kesal, justru ia menatapku dengan tatapan sengit. Mengajak ribut! Kesal! Semua ini gara-gara majikan ku yang jarang di rumah. Aku jadi keliling mencari makanan tiap sore. Dan kemudian bertemulah aku dengan si tukang gemblong sialan itu.
“Hih, dia pikir dia siapa?”  curhat ku pada Mimin, teman ku yang sering berkeliaran di dekat penjual kue basah. “Aku kan tidak tertarik dengan gemblong sialan itu! Tidak juga dengan si penjualnya yang bau tanah itu.”
“Memang apa yang membuat kamu dilempari gemblong?”
“Aku...” sesaat aku ragu mengatakannya pada Mimin. “Aku menghamili Junet.”
“Apaaaaa????” Pantas saja ia begitu kesal kepadamu.
“Tapi kan aku tidak sengaja. Aku dan Junet pun saling mencintai.”
“Tapi kan kamu tau kalau si tukang gemblong bau apek itu suka sayang sekali pada Junet.”
“Biar saja!”
Aku kesal. Sepertinya Mimin tak memihak ke padaku. Ku pulang saja. Siapa tahu majikan ku sudah pulang dari acara arisan berliannya bersama ibu-ibu komplek.
“Guguuu...! mau makan, nggak?” suara majikan ku dari kejauhan membuat ku berlari semakin kencang. Tiba-tiba saja suara itu lebih menarik dari cinta kemarin. Dan membuatku lupa pada si tukang gemblong sialan itu.

“Pusss... sini kucing manis...!” lagi-lagi teriakan gemas dari majikan ku membuat ku melupakan kejadian hari ini. Siapa suruh kucing kampung suka sama kucing keren seperti aku.

Tuesday, December 9, 2014

Senja Terakhirnya #RABUMENULIS

Senja Terakhirnya
Awan putih tampak menggantung di atas langit jingga. Menari-nari indah memenuhi senja. Aku menatap haru seraya mengikuti gerak bianglala yang berdiri tegak menatap angkasa. Sejam yang lalu, aku masih berada di putarannya. Bersama kekasih yang paling ku cinta.
“Mengapa kau membawa ku ke sini?” matanya menatap penuh tanya.
“Tak, apa.” Jawabku sembari diikuti senyum tipis. Sesekali angin meniup halus rambutku. “Aku hanya ingin tahu, seberapa besar cintamu pada ku?”
“Apa maksudmu? Kamu masih meragukan aku?”
“Tidak juga, sih. Kecuali kalau...,”
Dia menatap bingung. Semakin tak sabar dengan lanjutan kalimatku. “Kecuali apa?”
“Kecuali kalau kamu mau lompat dari atas sini.”
“Kau gila!” teriaknya tak percaya.
“Itu pun kalau kau lebih mencintai dia. Karena tadi malam, baru saja ku dorong dia dari atas gedung apartemennya.”
“Ka..., kamu......?!” dia semakin ketakutan. Dan aku semakin kegirangan. Posisi ku tepat berada di atas. Ku buka pengait pintu bianglalaku, dan ku dorong ia dengan cepat. Dapat ku lihat wajahnya yang ketakutan bersama teriakannya dan suara gaduh orang di bawah sana.
“Apa yang terjadi?” suara seorang pengunjung membuyarkan lamunanku.
Segera ku memasang wajah sendu. “Dia memaksa mengajakku menikah, tetapi aku tak mau. Lalu ia mengancam loncat dari atas. Aku sudah mencegahnya, tetapi ia nekat, dan tenaganya lebih kuat. Lalu... lalu....” aku terisak. Senangnya orang itu terlihat iba dengan ku. Sama seperti para petugas kepolisian yang sempat menanyaiku keterangan. Mereka membebaskanku. Mayatnya pun sudah dibawa pergi.

Seputar bianglala pun sudah dibersihkan dan ditutup sementara. Namun aku masih diam menatapi bianglala yang berputar di langit senja. Aku tersenyum kecil. Siapa suruh berselingkuh dengan sahabatku sendiri. Karena ku sayang kalian, maka ku persatukan kalian. Di bawah bianglala ini, ku kenang saat-saat terakhir bersamamu.

Tuesday, December 2, 2014

Di Sini Aku Berada.... (Tantangan #RABUMENULIS GagasMedia)

Di sini aku berada, hanya berdiri di sini, ketika apa yang aku ingin lakukan adalah hal yang dilarang. Aku menatap bumi dari kejauhan. Ku lihat hamparan awan biru menggantung di langit luas. Menunggu perintah Tuanku untuk menemani manusia kala mengakhiri waktunya. Aku hanya diperbolehkan mengepakan sayap dan kemudian menapakan kaki ke bumi  kala mendapatkan perintah dari Tuanku. Semua ku lakukan berdasarkan perintah. Namun, tidak dengan hari ini. Tidak juga dengan nanti.

Aku tak bisa menurut seperti biasanya ketika ku tahu siapa yang harus ku temani hari ini. Aku sadar apa yang menjadi keputusanku akan membuatku kehilangan segalanya. Aku tak akan bisa lagi terbang bebas dan menikmati tiap air mata yang keluar dari sosok lemah tak berdaya di bumi. Mungkin, sebentar lagi aku akan menjadi salah satu dari mereka. Sosok perasa yang mudah mengeluarkan air mata.

Aku tahu aku berdosa. Tak ada pula yang berani bertanya mengapa. Mereka hanya tahu yang ku lakukan adalah hal yang terlarang. Dengan sengaja, ku biarkan dia hidup. Dia yang selalu ku pandangi dari jauh. Dia yang ingin ku lihat hidupnya lebih lama lagi. Dia yang ku biarkan menghirup udara dan berpijak lebih lama. Karena dia, satu-satunya manusia yang mengingatkan aku bahwa aku masih punya rasa. Untuk pertama dan terakhir kalinya aku lancang mengabaikan apa yang sudah menjadi kewajibanku.  Aku…, malaikat maut yang tidak mau mematuhi perintah tuannya. 

-love, anye 1203-

Monday, June 9, 2014

Hallo me... oh i mean its you :)

Aku tak lagi menghitung berapa banyak detik terlewati kala aku tak lagi memikirkan mu.
Ya, memang kian banyak detik terlampaui semenjak aku memutuskan untuk menjauh.
Dan, apakah aku benar-benar menjauh?
Aku rasa belum terlalu.
Masih dapat ku lihat sekilas lepas tentang kita bagai senja yang mulai meredup.
Setidaknya masih bisa ku lihat, bukan?
Lalu lantas tanya itu kembali merayu, harus berapa langkah agar bisa terbutakan pada senja itu?
Bisa saja tanpa ku sadari, memang aku yang sengaja.
Sengaja memperlambat langkah ini agar masih dapat melihat sisa-sisa rasa yang kini kian memudar.
Memudar bukan karna termakan usia, tapi aku yang menyepuhnya dengan paksa.
Lucunya, tanpa ku sadari pula, perjalanan ke depan ku lakukan dengan berjalan mundur.
Kau mengerti apa yang aku maksud bukan? Mungkin dengan begitu, masih dapat ku rasakan sisa-sisa senja di akhir penantian ku. Ku lakukan itu sampai senja tak lagi terlihat.
Dan ku yakin, saat tu mungkin saja aku akan menemukan senja lainnya.
Oh, tidak.
Tak pernah ada senja yang paling indah selain.......
Dalam gundah kembali aku ingin menyapa diri ku dalam langkah ini.
Atau mungkin, ingin ku menyapa kamu.
Mungkinkah kau melihat ku bagaikan senja juga? Atau selama ini, sesungguhnya kau tidak pernah melihat?