Good Morning, Univers!

i dont know if i've ever felt like that :)

Saturday, June 30, 2012

Welcome home

"Bodohnya..."
"Siapa? Aku?"
"Jelas saja. Memangnya ada orang lain yang sedang kita bicarakan?"
"Mungkin saja, ini tentang diriku, bukan kebodohan ku."

Tertawa. 
Ya... Bagaimana penafsiran yang baik ketika ia mencoba berbicara melalui cermin. Menatap dirinya sendiri. Yang terlihat, penuh kebodohan. Jelas saja berbicara pada cermin itu merupakan hal yang bodoh. 
"Setidaknya aku dapat menatap mata ku sendiri. Jauh di dalamnya. Apakah ada kejujuran di dalamnya?"

Baiklah. Kita mulai dari awal. Si bodoh pulang kembali ke salah satu rumahnya yang lama. Padahal, sebelumnya, ia berjanji, atau bahkan sebelumnya ia juga sempat mengucap sumpah untuk tak akan pernah menoleh, atau bahkan kembali ke rumahnya. Bersumpah tidak akan menoleh ke belakang ketika saat itu ia memutuskan meninggalkan rumahnya tersebut.
Namun ternyata ia harus melanggar sumpahnya sendiri hanya karna lelah. Perasaan lelah itu mematahkan sumpahnya sendiri. Ia tak sanggup lagi, atau bahkan tak sabar untuk terus berjalan dan mencari. Ia ingin singgah sebentar saja. Sebentar saja di rumah lamanya.

Tak lama...
Biarkan sesaat saja.
Sampai rasa lelah dan keinginan untuk menemukan rumah baru itu ada lagi.

 Akhir-akhir ini si Bodoh sangat cengeng. Tapi itu ada sebabnya :)
"Setiap kita membuka mata, Tuhan langsung menjatahkan kepada kita satu buah kotak tertawa di setiap harinya. Namun si bodoh selalu menghabiskannya di siang hari. Sehingga, ia tidak bisa apa-apa di malam hari selain dengan menangis..."


Untuk kalian... The Woman Who Can't Be Move :)

ZONA ITU


Ada satu zona dimana... sebenarnya aku bisa memasukinya dengan mudah. Dengan berbekal apa yang dimiliki dalam dirimu. Namun, hanya saja ada dua hasil...
PERTAMA, Aku akan menjadi seperti orang asing yang dianggap teman namun tak dihiraukan. Atau, aku bisa saja bersikap dan berucap bagaikan mereka, namun aku tahu, itu hanya kepura-puraan yang bukan diriku dan tentu saja aku tak akan merasa nyaman.

Dan sialnya, saat ini aku terlanjur masuk di dalamnya tanpa memikirkan akan ada dua pilihan itu. Tak ada yang ku pilih. Aku diam. Mencoba menjadi diri sendiri. Namun aku sakit. Sakit karna aku mulai merasa jika aku berada di pilihan yang pertama. Dimana aku seperti berbeda. Aku tak tersentuh dan aku tidak tersinggah dengan baik di dalamnya.

Aku seperti orang asing. Aku seperti diacuhkan namun aku merasa tidak bisa keluar dari zona tersebut. Mereka akan melihat aku ada, namun tidak perlu ada tindakan atau perlakuan yang menegaskan bila saat ini aku berada di dalam wilayah mereka. Seperti mereka menahan sesuatu yang berharga dalam diriku. Maka tanpa adanya perlakuan mereka, semenyakitkan apapun pengacuhan itu, aku tidak akan bisa meninggalkan zona tersebut. 

Aku terperangkap.

Dan aku merasa sangat sakit. Hati ku sakit. Melihat. Mendengarkan segala yang berasal dari mereka yang tidak bisa aku lakukan. Sesuatu yang memang bukan menjadi wilayahku. Sesuatu yang seharusnya aku akan biasa saja melihat atau mendengarnya bila sebelum saat aku memasuki zona tersebut. Ironis ketika aku berdiri mendekat meminta sebuah tangan saja menggapai ku namun hasilnya tidak?

Dan kemudian tentang pilihan KEDUA.

Aku tak dihiraukan namun aku mencoba. Sedikit saja menyentuh mereka. Berucap dengan kata-kata terbaik yang aku miliki agar terlihat hebat, namun yang terhasil mereka tersenyum, namun sama sekali tak ada kata pembalasan. Aku memang tidak merasa begitu sakit dengan pilihan pertama, namun aku merasa sangat bodoh. Aku bodoh dengan kebodohan yang ku buat untuk membodohi diriku dengan kepura-puraan yang bodoh pula...






(tidak untuk siapa-siapa... hanya berbagai kalimat ambigu yang terlintas begitu saja.)
   

Sometimes :)

SOMETIMES... 
 
I wish i could just be a little kid again.
So... when life gets tough you can just play pretend.
I WANNA GO BACK to when your Daddy was the only boy you ever kissed. When Disney World was the best place to be. When the only movies you could see were rated G.  WHEN YOUR BIGGEST PROBLEM WAS LEARNING TO WRITE YOUR NAME and people didnt change... and your FRIENDS were the same.
And every time you were sad or you had a bad day, you could just run to your Mommy and it would be okay...
I WANNA GO BACK TO NO HURT... and no pain. JUST LAUGHTER. 
When everyone always lives happily ever after...



Wednesday, June 27, 2012

Cerita Pendek - Finding Farah 5

“Ibu pemilik warung yang menelfon kami mengatakan kalau Wina, anak kami, ada bersama kamu. Pemilik warung tersebut sudah tahu sekali siapa kami dan bagaimana kondisi anak kami. Terimakasih sudah membawa Wina ke sini. Entah apa yang terjadi jika Wina bertemu dengan orang jahat.”
“Memang apa yang terjadi dengan Kak Wina, om? Dan kemana perginya Farah?” Nika terlihat sedih dan bingung ketika ia sempat melirik saat ini Wina tidak lagi berteriak histeris, namun Wina menangis sambil tertawa. Tatapannya kosong. Beda sekali dengan kondisinya seharian ini saat bersamanya.
“Hubungan Wina dan Farah memang tidak begitu dekat. Namun sayangnya, Wina baru menyadari betapa ia menyayangi Farah saat Farah sudah tidak ada. Tahun lalu saat pergi merayakan ulang tahun-nya dengan teman-teman, Farah mengalami kecelakaan dan tidak terselamatkan. Bahkan dihari pemakamannya pun, Wina tidak ada. Ia baru menyadari kepergian Farah satu minggu setelah kejadian itu berlangsung. Maka dari itu ia selalu mengatakan kepada orang-orang jika ia sudah kehilangan adik-nya selama satu minggu. Dan ia berfikir jika adik-nya pergi dari rumah karna ulahnya. Wina mengalami depresi yang cukup parah sehingga ia harus melakukan pengobatan kejiwaan.”
Dua orang pria berbaju itu menggiring Wina untuk keluar dari kantor polisi. Nika menangis saat Wina melewatinya. Ia tidak menyangka apa yang telah terjadi pada Wina. Ia baru sadar mengapa tadi orang percetakan sempat mengusir Wina. Atau Ibu pemilik rumah makan yang segera menyuruh membawa Wina ke kantor polisi.
        Ternyata Wina sudah sering mencari Farah di sekitar sini. Kedua orang tua Wina bekali-kali mengucapkan terimakasih kepadanya. Nika menyadari jika perasaan Wina sebagai Kakak begitu besar terhadap adiknya, Farah. Nika sangat menyesal karna ia telah menyia-nyiakan kasih sayang dari Kak Sasha, apalagi saat ini ia hanya tinggal berdua dengan Sasha.
“Kak Sasha, aku mau pulang. Maafin aku ya, Kak. Aku sayang sama Kak Sasha.” Nika tidak dapat membendung air matanya. Ia menangis setelah menelfon Kakaknya, Sasha.

***

Seminggu setelah kejadian tersebut.
Saat pulang sekolah entah mengapa ingin rasanya Nika mampir ke tempat pertama kali ia brtemu dengan Wina. Udara sore sedikit menyejukan hatinya saat itu. Diantara hiruk pikuk kota tua, Nika menemukan sosok Wina yang sedang duduk di area Museum Fatahilah. Nika tersenyum saat melihat keberadaan Wina. Wina tampah tengah duduk di sebuah kursi taman sambil memegangi sebuah kertas-kertas. Ia memakai baju yang sepertinya seperti baju pasien berwarna biru muda. Di dekatnya ada seorang suster yang sedang menemaninya. Dengan langkah perlahan Nika mendekati Wina.
Wina tersenyum manis kepadanya. Rupanya Wina tidak mengingat siapa dirinya. Wina memberikan selembar kertas itu kepada Nika.
Kertas bertuliskan pencarian orang hilang.
Nika berusaha menahan air matanya. Ia menerima selembar kertas itu sambil menatap iba pada Wina.
“Kalau nanti aku bertemu sama Farah, aku akan bilang sama dia kalau Kakak nya sedang mencarinya ya.”
Wina tersenyum kecil. Saat itu pula, Nika mendengar sebuah klakson mobil yang memangil dirinya. Kak Sasha telah menjemputnya. Nika memeluk Wina erat tanpa Wina sadari apa yang sedang terjadi.
Kemudian Nika langsung melangkah perlahan menuju mobil Sasha. Dalam hati ia tertegun. Peristiwa yang dialami oleh Wina telah menyadarkannya. Pencarian seorang Farah yang tidak kunjung datang, membuat ia tersadar, ia tidak akan pernah lagi menyia-nyiakan segala hal yang berharga dalam hidupnya. Ia tidak akan pernah menutup hati untuk cinta yang datang kepadanya, cinta seorang Kakak kepadanya.

Cerita Pendek - Finding Farah 4

Wina mulai menitikan air mata. Nika sangat merasa sedih dengan cerita Wina. Kebalikan dengan dirinya yang tidak pernah mau mengerti dan memperhatikan Kakak-nya yang begitu sayang kepadanya. Ia tahu Wina sangat menyesal. Ada perasaan terpukul yang juga dirasakan Nika saat itu. Tiba-tiba saja ia merasa bersalah pada Sasha. Dan ia berfikir, sedang apa Kak Sasha sekarang? Kenapa sikapnya bisa begitu kasar kepada Kakak kandungnya sendiri?
Belum sempat Wina meneruskan ucapannya, perhatiannya seolah teralihkan dengan hal lain. Ia seperti melihat seseorang di luar jendela. Seperti melihat sesuatu, ia langsung bangun dari kursinya dan berusaha mengejar apa yang baru saja dilihatnya.
“Itu Farah!” teriaknya kencang. Nika jadi ikut terkejut. Buru-buru ia bangun dari kursiya dan menyusul Wina. Tapi saat melewati meja kasir, ia berniat ingin membayar makanan-nya dulu. Ia maklum kalau Wina pergi begitu saja tanpa membayar karna Wina begitu takut kehilangan jejak Farah.
“Berapa, Bu?”
“Udah neng gak usah. Ibu tahu pasti neng teman-nya nak Farah. Cepat kejar non Wina. Takut ada yang jahat sama non Wina. Ibu nanti telfon ke Mamah-nya non Wina supaya menjemputnya. Neng ajak aja untuk melaporkan kehilangan Farah di kantor polisi dekat sana. Cepat neng!”
Nika makin bingung. Nika tidak begitu paham dengan ucapan si Ibu pemilik rumah makan. Ia juga tidak tahu mengapa Ibu itu menyangka jika dirinya adalah temannya Farah. Tapi sebelum dirinya kehilangan Wina, buru-buru menyusul keluar rumah makan untuk mengejar Wina.  Dilihatnya Wina seperti orang kebingungan. Ia kehilangan jejak orang yang diduganya sebagai Farah.
Nika langsung memeluk Wina yang menangis tersedu-sedu. Nika ikut sedih. Tapi ia ingat perkataan Ibu tadi untuk menyuruh nya mengajak Wina mencari Farah di kantor polisi. Lagipula sebentar lagi hari mulai gelap. Lalu pergilah mereka ke kantor polisi yang tidak jauh dari rumah makan tersebut.

***

Jam menunjukan pukul tujuh malam. Sudah hampir dua jam Nika bersama Wina berada di dalam kantor polisi. Anehnya polisi yang menjaga disitu tidak banyak bertanya megenai apa yang terjadi. Dirinya hanya mengatakan jika Wina sedang mencari adik-nya yang hilang, setelah itu, polisi tersebut hanya menyuruh mereka duduk dan menunggu.
Tidak banyak yang Nika lakukan dari tadi. Dia hanya duduk terdiam sedangkan dilihatnya Wina yang duduk di kursi panjang sambil mengangkat kaki dan memeluk lututnya. Wajahnya disembunyikan, tapi Nika bisa tahu kalau Wina sangat sedih.
“Adik sebaiknya pulang dan beristirahat saja. Pasti nona ini sudah merepotkan anda hari ini. Sebentar lagi keluarga nya akan menjemput.” Nika sedikit terkejut mendengar ucapan seorang polisi yang sedang duduk di belakang sebuah mesin tik-nya. Ucapan polisi barusan benar-benar membuat Nika makin bingung. Polisi itu berkata seolah-olah ia tahu apa yang sedang terjadi saat itu. Nika tidak mau pergi sebelum ia tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Namun seluruh pertanyaan yang ada di benak Nika segera terjawab ketika sepasang suami istri datang ke kantor polisi tersebut bersama dua orang pria berpakaian segaram putih.
“Wina!” teriak sang istri ketika melihat Wina. Rupanya ia adalah orang tua Wina. Nika makin bertanya ketika sang istri menangis sambil memeluk Wina. Saat itu tangis Wina mendadak histeris. Dua orang pria yang tadi ikut datang bersama kedua orang tua Wina juga sibuk memegangi kedua lengan Wina. Ternyata Wina langsung histeris dan berteriak kecang. Itu alasan dua orang pria berbaju putih itu memenggangi lengan Wina.
“Sadar nak. Ikhlas-in. Ikhlas-in nak.” Sang istri tidak hentinya menangis sambil memeluk Wina. Nika berusaha mencari tahu ada apa sebenarnya. Dilihatnya sang suami berbicara pada polisi tadi. Namum melihat kegelisahan Nika, sang suami itu menghampiri Nika dan tersenyum kecil. Dari wajahnya saja Nika bisa melihat ada perasaan sedih diwajah pria ini.

Cerita Pendek - Finding Farah 3

Nika berjalan beberapa langkah lebih awal dari Wina. Rasanya tas besar yang dibawanya itu tidak terlalu membuat ia terbebani. Ia justru semangat sekali ketika masuk ke dalam tempat percetakan. Bahkan ia sendiri melupakan tujuan utamanya yaitu pergi mengungsi ke rumah temannya.
Kini ia sudah tiba di depan sebuah toko percetakan. Seorang pegawai menyambutnya dengan ramah.
“Mas mau buat selebaran orang hilang dong.”
“Siapa yang ilang neng? Pacarnya ya?” canda si pegawai toko  tersebut.
Nika tertawa kecil. Ia tidak marah orang itu meledeknya. Tujuannya memang ingin membantu Wina. “Adiknya temen ku.” Nika melihat-lihat jenis kertas-kertas yang ada di dekatnya.
Sesaat Nika baru menyadari tampaknya Wina belum ikut masuk ke dalam toko percetakan tersebut. Nika langsung keluar dari dalam toko dan menarik lengan Wina untuk berjalan lebih cepat. “Kak Wina buruan dong. Aku lagi tanya-tanya nih.” Wina hanya membalasnya dengan tersenyum kecil.
Tiba-tiba hal yang tidak diduga terjadi. Baru saja Nika dan Wina berada di depan pintu masuk toko percetakan, seorang pegawai yang tadi sempat bercanda dengan Nika terlihat sangat kesal melihat kedatangan Wina. Dan yang paling membuat Nika heran justru pegawai itu tampaknya benar-benar kesal dan langsung mengusir mereka. Berbeda seklai dengan perlakuan yang ia dapat sebelumnya.
“Ahhh… Sana, sana! Ke tempat percetakan yang lain saja! Cari orang hilang mulu.” Omel pegawai itu sambil mengahalu di pintu masuk. Nika jelas kebingungan. Dan ia juga jadi ikut kesal kepada si pegawai itu.
“Loh! Emang kenapa kalau mau cari orang hilang? Kita kan bayar!”
“Ah. Mau bayar mau gak. Sana-sana. Jangan disini!”
Wina langsung mengajak Nika meninggalkan tempat itu. Ia tidak mau Nika jadi bertengkar dengan pegawai toko tersebut gara-gara dirinya.
 “Udah. Udah. Kita cari tempat lain saja yuk.” Akhirnya Wina berhasil mengajak Nika untuk segera pergi dari tempat itu. Nika sendiri masih bertanya kenapa sikap si pegawai tiba-tiba berubah saat melihat Wina datang.
“Kak Wina emang sebelumnya pernah datang ke tempat itu?” Wina hanya mengangguk perlahan. “Terus kenapa orang itu marah-marah? Kak Wina gak bayar?”
Wina tersenyum lagi. Raut wajah Nika terlihat sangat lucu di matanya. “Udah gak apa-apa. Sekarang kita makan aja yuk. Udah mau sore pasti kamu belum makan deh.”
Nika hanya menuruti ajakan Wina saat itu. Ia benar-benar masih bingung mengapa pemilik percetakan toko sangat kesal saat mereka datang. Dan Wina pun bersikap seolah-olah ada sesuatu yang ia sembunyikan. Dan mendengar Wina mengajaknya makan, Nika berfikir jika itu hanya entuk pengalihan perhatian yang dilakukan oleh Wina agar dirinya tidak bertanya lagi.
Dan kini Wina tengah mengajak Nika menuju sebuah rumah makan. Nika hanya menurut saja. Ia baru ingat kalau ia sendiri belum makan dari tadi pagi. Pencarian ini mulai membuat ia sedikit kelelahan. Tas yang dibawanya juga mulai terasa berat. padahal sebelumnya ia bersemangat sekali kesana kemari sambil membawa tas besar miliknya.
Si Ibu pemilik rumah makan tersenyum ramah melihat kedatangan mereka. Sepertinya Wina sudah dikenal di rumah makan ini karna saat Wina mengajaknya masuk, si Ibu langsung menyuruh salah satu pegawainya untuk membawakan makanan.
“Din, non Wina dateng nih. Cepat kasih makanan yang seperti biasa.”
“Makasi, Bu.” Ucap Wina ramah. Ia langsung mengajak Nika untuk duduk di kursi yang berdekatan dengan jendela. Nika sedikit heran karna entah mengapa ia merasa kalau banyak mata yang memperhatikan mereka. Ditambah dengan ucapan si Ibu barusan. Seolah-olah mereka sudah tahu apa yang akan dipesan oleh Wina tanpa menanyakan pesanan makanan Wina. Tapi karna ia sudah lelah, ia cuek saja dengan perasaannya itu.
“Kak Wina sering makan di sini ya?”
“Iya. Ini tempat makan favorit Mamah sam Papah aku. Farah juga suka makan disini. Nasi goreng ayam nya enak loh. Nah yang dimaksud makanan yang biasa itu ya, nasi goreng kesukaan aku itu, Nik.”
Nika mengangguk perlahan. Dan tanpa menunggu lama, seorang pelayan pun dengan cepat mengantar dua piring nasi goreng tersebut serta dua gelas es teh manis ke atas meja mereka. Kemudian mereka pun mulai mengobrol kembali.
“Nika punya Kakak atau Adik?” tanya Wina.
“Aku punya Kakak perempuan juga satu. Sama kayak Kak Wina sama Farah. Cuma aja aku hanya tinggal berdua sama Kakak ku. Orang tua kami udah lama meninggal.”
Wina menunjukan wajah sedih. “Kamu yang tabah ya. Tapi yang penting masih ada Kakak kamu. Pasti dia sayang banget sama kamu. Karna Kak Wina tahu bagaimana perasaan seorang Kakak terhadap adiknya. Hanya saja aku bukan Kakak yang baik. Aku sendiri penyebab kepergian Farah dari rumah.”
Nika mulai penasaran dengan cerita Wina. Entah mengapa tiba-tiba ia teringat pada Kak Sasha. Ia melihat berapa sedihnya wajah Wina saat menceritakan bagaimana rasanya saat ia kehilangan Farah. Ia makin tidak mau jujur pada Wina jika sebenarnya saat ini ia pun sedang kabur dari rumah karna bertengkar dengan Kakak-nya.
“Aku jarang sekali memperhatikan Farah, padahal aku kakak satu-satunya. Aku terlalu sibuk dengan pekerjaan aku, dengan teman-teman ku. Bahkan waktu liburku aku pergunakan untuk bermain bersama teman-teman. Aku hidup seperti anak tunggal. Aku merasa seperti tidak punya adik, padahal Farah sangat perhatian kepada ku. Dia tidak pernah melupakan hari ulang tahunku. Sedangkan aku, entah sudah berapa kali aku melupakan hari ulang tahunnya. Dan pada suatu hari, tepat dihari ulang tahun-nya, aku sama sekali lupa kalau hari itu ia berulang tahun. Orang di rumah bilang, Farah pergi bersama teman-teman sekolahnya untuk merayakan ulang tahunnya. Tapi malam itu dia gak pulang, dan sampai sekarang dia gak pernah pulang.”