Good Morning, Univers!

i dont know if i've ever felt like that :)

Thursday, June 14, 2012

Im Give Up For Many Times !

Biarkan ia mengadu... Sedikit sajaaa... !!!

Suatu pembicaraan yang terkadang aku tak merasa diikut sertakan. Ketika ada deru antara hati dan pikiran. Mungkinkah mereka sedang memperdebatkan satu hal? Bila mana terekam perasaan bosan. Bosan yang terlalu lama akan sebuah keputusan yang terulang untuk kesekian kalinya. Seperti menonton sebuah film lama berkali-kali yang sudah bisa tahu bagian akhirnya. Kedua hal yang disebut hati dan pikiran itu seolah terjebak dalam lingkup bernama jiwa kesepian. Tak urung mereka menginginkan satu tindakan untuk menyelamatkan jiwanya.Apakah jiwa meminta? Tidak. Jiwa yang kesepian itu hanya menunggu. Menunggu dengan mendengarkan perdebatan hati dan pikiran.


Aku mulai penat dengan hingar bingar itu. Sekalipun mereka berkata "Biarkan saja!". Aku bosan dengan ucapan-ucapan itu. Hati yang selalu minta izin untuk dapat mengibarkan bendera putih sementara pikiran mulai mencetuskan satu hal yang menjadi panutannya. Dengan berani berkata jika "True Fighter Never Give Up!". Tak menunggu sampai senja berganti warna, kemudian ku dengar teriakan persetan yang bersorak antara menang. Aku hanya bisa tersenyum sinis dengan kata yang telah terekam lama itu. Bisa bilang apa jika pikiran sudah meneriakan kalimat andalannya. Hati pun tak didenganya. 

Ku coba untuk diam sejenak. Perhatian teralihan oleh benalu-benalu yang terbelenggu di dalam jiwa yang sepi. Nyanyian setan dan hawa nafsu bergulir menandakan kemenangan. Dilihatnya tak senyum sedikitpun hati. "Apalagi yang harus ku teriakan? Bisakan kita tidak lagi menyerah dengan kebodohan akan perasaan takut?". Hening dan sunyi. Pikiran kembali berkata, "Setidaknya kan kau sudah berusaha..." . Okay, rupanya kalimat tolol itu telah diterima baik. Senyum picik muncul dengan keadaan yang terdengar terlalu memaksa. Ya... ironis. Mereka selalu terdengar memaksa keadaan. 

Hati tersentak. Rupanya ia tidak mau lagi terkendali oleh pikiran yang dijadikan sahabat setia berbagi percikan emosi. Tak lagi kini. Ia berkata sekarang tidak lagi. APA? MENYERAH LAGI? Hawa kendur kepesimisan membuat pikiran mematahkan kaki semangatnya untuk berdiri tegap pada pendirian. "Terserah kau. Lantas mengapa semikian?"

Aku mulai tertawa kecil pada perdebatan itu. Seketika mengingat jika aku sedang tak diikut sertakan, namun rupanya aku mulai terbuai dengan pembicaraan yang berlandaskan atas wacana kebodohan akan cinta. Ku dengar hati menyeruak dengan tak lantang. Namun semilir kata yang terdengar bagaikan alunan mengalir jelas disetiap kata. Ia terdengar amat kelelahan. Tidak mau mengaku jika menyerah. Dia hanya menegaskan jika dirinya cukup lelah dengan semua. "Aku tidak berpedoman pada kata putus asa. Aku hanya lelah. Terlalu lelah. Itu saja..."

Memang seperti apa cinta itu sehingga membuat ia terdengar begitu lelah? Begitu beratnya kah perjuangan hati sampai tak tereka oleh pikiran. Atau sebegitu hebatnyakah cinta itu sampai pikiran begitu mempertahankan namun hati tak bisa mengejanya? 

"Lagipula untuk yang satu ini, aku tidak tahu bagaimana caranya berjuang. Aku selalu mengikuti mu untuk kembali berani mendekati hati yang terindah itu, tapi apa? Apakah lamuanan kita mengarah padanya?" aku tak tertawa lagi mendengar hati bicara. Yang ku tahu pikiran pun membalikan badan seraya menyuruh punggungnya yang mewakilkan diri mendengarkan suara hati. Hati tidak egois. Ia memang jarang bicara. Biarkan saja kini ia mencoba mengadukan air matanya.

"Persetan!" kudengar pikiran melangkah pergi. Tak urung membuat hati mengehentikan ucapnya. Ia bukan menyerah akan cinta yang selalu dibanggakannya itu dan yang selalu dirajakan oleh pikiran, namun lebih mengarah pada dimana ia menyerah pada perjuangan itu.Dan ya tentu saja, ia berhenti menghadirkan cinta itu pada jiwa yang kesepian. Bagaimana selanjutnya? Haruskah tertahan pada pendirian masing-masing. Aku masih bergulir dengan waktu. Menoleh untuk yang kesekian kalinya. Apakah masih ada pembicaraan antara mereka?










(...kepada kamu, yang sulit sekali aku tinggalkan)

No comments:

Post a Comment