Nika berjalan
beberapa langkah lebih awal dari Wina. Rasanya tas besar yang dibawanya itu
tidak terlalu membuat ia terbebani. Ia justru semangat sekali ketika masuk ke
dalam tempat percetakan. Bahkan ia sendiri melupakan tujuan utamanya yaitu
pergi mengungsi ke rumah temannya.
Kini ia sudah tiba di depan sebuah toko
percetakan. Seorang pegawai menyambutnya dengan ramah.
“Mas mau buat
selebaran orang hilang dong.”
“Siapa yang
ilang neng? Pacarnya ya?” canda si pegawai toko tersebut.
Nika tertawa
kecil. Ia tidak marah orang itu meledeknya. Tujuannya memang ingin membantu
Wina. “Adiknya temen ku.” Nika melihat-lihat jenis kertas-kertas yang ada di
dekatnya.
Sesaat Nika baru
menyadari tampaknya Wina belum ikut masuk ke dalam toko percetakan tersebut. Nika
langsung keluar dari dalam toko dan menarik lengan Wina untuk berjalan lebih
cepat. “Kak Wina buruan dong. Aku lagi tanya-tanya nih.” Wina hanya membalasnya
dengan tersenyum kecil.
Tiba-tiba hal
yang tidak diduga terjadi. Baru saja Nika dan Wina berada di depan pintu masuk
toko percetakan, seorang pegawai yang tadi sempat bercanda dengan Nika terlihat
sangat kesal melihat kedatangan Wina. Dan yang paling membuat Nika heran justru
pegawai itu tampaknya benar-benar kesal dan langsung mengusir mereka. Berbeda
seklai dengan perlakuan yang ia dapat sebelumnya.
“Ahhh… Sana,
sana! Ke tempat percetakan yang lain saja! Cari orang hilang mulu.” Omel
pegawai itu sambil mengahalu di pintu masuk. Nika jelas kebingungan. Dan ia
juga jadi ikut kesal kepada si pegawai itu.
“Loh! Emang kenapa
kalau mau cari orang hilang? Kita kan bayar!”
“Ah. Mau bayar
mau gak. Sana-sana. Jangan disini!”
Wina langsung
mengajak Nika meninggalkan tempat itu. Ia tidak mau Nika jadi bertengkar dengan
pegawai toko tersebut gara-gara dirinya.
“Udah. Udah. Kita cari tempat lain saja yuk.”
Akhirnya Wina berhasil mengajak Nika untuk segera pergi dari tempat itu. Nika
sendiri masih bertanya kenapa sikap si pegawai tiba-tiba berubah saat melihat
Wina datang.
“Kak Wina emang
sebelumnya pernah datang ke tempat itu?” Wina hanya mengangguk perlahan. “Terus
kenapa orang itu marah-marah? Kak Wina gak bayar?”
Wina tersenyum
lagi. Raut wajah Nika terlihat sangat lucu di matanya. “Udah gak apa-apa.
Sekarang kita makan aja yuk. Udah mau sore pasti kamu belum makan deh.”
Nika hanya
menuruti ajakan Wina saat itu. Ia benar-benar masih bingung mengapa pemilik
percetakan toko sangat kesal saat mereka datang. Dan Wina pun bersikap
seolah-olah ada sesuatu yang ia sembunyikan. Dan mendengar Wina mengajaknya
makan, Nika berfikir jika itu hanya entuk pengalihan perhatian yang dilakukan
oleh Wina agar dirinya tidak bertanya lagi.
Dan kini Wina
tengah mengajak Nika menuju sebuah rumah makan. Nika hanya menurut saja. Ia
baru ingat kalau ia sendiri belum makan dari tadi pagi. Pencarian ini mulai
membuat ia sedikit kelelahan. Tas yang dibawanya juga mulai terasa berat. padahal
sebelumnya ia bersemangat sekali kesana kemari sambil membawa tas besar
miliknya.
Si Ibu pemilik
rumah makan tersenyum ramah melihat kedatangan mereka. Sepertinya Wina sudah dikenal
di rumah makan ini karna saat Wina mengajaknya masuk, si Ibu langsung menyuruh
salah satu pegawainya untuk membawakan makanan.
“Din, non Wina dateng
nih. Cepat kasih makanan yang seperti biasa.”
“Makasi, Bu.”
Ucap Wina ramah. Ia langsung mengajak Nika untuk duduk di kursi yang berdekatan
dengan jendela. Nika sedikit heran karna entah mengapa ia merasa kalau banyak mata
yang memperhatikan mereka. Ditambah dengan ucapan si Ibu barusan. Seolah-olah
mereka sudah tahu apa yang akan dipesan oleh Wina tanpa menanyakan pesanan
makanan Wina. Tapi karna ia sudah lelah, ia cuek saja dengan perasaannya itu.
“Kak Wina sering
makan di sini ya?”
“Iya. Ini tempat
makan favorit Mamah sam Papah aku. Farah juga suka makan disini. Nasi goreng
ayam nya enak loh. Nah yang dimaksud makanan yang biasa itu ya, nasi goreng
kesukaan aku itu, Nik.”
Nika mengangguk
perlahan. Dan tanpa menunggu lama, seorang pelayan pun dengan cepat mengantar
dua piring nasi goreng tersebut serta dua gelas es teh manis ke atas meja mereka.
Kemudian mereka pun mulai mengobrol kembali.
“Nika punya
Kakak atau Adik?” tanya Wina.
“Aku punya Kakak
perempuan juga satu. Sama kayak Kak Wina sama Farah. Cuma aja aku hanya tinggal
berdua sama Kakak ku. Orang tua kami udah lama meninggal.”
Wina menunjukan
wajah sedih. “Kamu yang tabah ya. Tapi yang penting masih ada Kakak kamu. Pasti
dia sayang banget sama kamu. Karna Kak Wina tahu bagaimana perasaan seorang
Kakak terhadap adiknya. Hanya saja aku bukan Kakak yang baik. Aku sendiri
penyebab kepergian Farah dari rumah.”
Nika mulai
penasaran dengan cerita Wina. Entah mengapa tiba-tiba ia teringat pada Kak Sasha.
Ia melihat berapa sedihnya wajah Wina saat menceritakan bagaimana rasanya saat
ia kehilangan Farah. Ia makin tidak mau jujur pada Wina jika sebenarnya saat
ini ia pun sedang kabur dari rumah karna bertengkar dengan Kakak-nya.
“Aku jarang
sekali memperhatikan Farah, padahal aku kakak satu-satunya. Aku terlalu sibuk
dengan pekerjaan aku, dengan teman-teman ku. Bahkan waktu liburku aku
pergunakan untuk bermain bersama teman-teman. Aku hidup seperti anak tunggal.
Aku merasa seperti tidak punya adik, padahal Farah sangat perhatian kepada ku.
Dia tidak pernah melupakan hari ulang tahunku. Sedangkan aku, entah sudah
berapa kali aku melupakan hari ulang tahunnya. Dan pada suatu hari, tepat
dihari ulang tahun-nya, aku sama sekali lupa kalau hari itu ia berulang tahun.
Orang di rumah bilang, Farah pergi bersama teman-teman sekolahnya untuk
merayakan ulang tahunnya. Tapi malam itu dia gak pulang, dan sampai sekarang
dia gak pernah pulang.”