Good Morning, Univers!

i dont know if i've ever felt like that :)

Tuesday, November 8, 2011

Mempermalukan untuk Dipermalukan - part 2

“Halo, sayang. Kamu masih di jalan?”
“Hai Raka, iya aku mau jemput Angga dulu. Kamu udah di rumah aku ya?”
“Baru sampai kok.”
“Oke. Tunggu ya.”
“Oke. Take care.”
Ane tersenyum kecil sambil meletakan telfon genggamnya ke jok yang ada di sebelahnya. Malam ini ia ada janji makan malam special dengan Raka. Cowok yang dipacarinya beberapa bulanyang lalu. Ane bertemu dengan Raka saat team basket sekolah Raka bertanding dengan team basket sekolahnya. Di situlah awal perkenalan mereka. Ane dan Raka sering bertemu dan akhirnya mereka resmi berpacaran. Dan Ane merasa sangat senang karna malam ini Raka mengajaknya untuk makan malam di rumah Raka sekaligus mengenalkan Ane pada Mamah nya Raka yang baru pulang dari luar negri.
Ane memarkirkan mobilnya tepat di depan gedung sekolah Angga. Sepertinya sekolah sudah bibar dari setengah jam yang lalu. Berkali-kali Ane mencoba menghubungi Angga tapi tidak pernah ada jawaban.
“Kemana sih tuh anak!” Ane benar-benar kesal karna sudah hampir lima kali ia menelfon Angga tapi tidak pernah ada jawaban. Apalagi menunggu adalah hal yang paling tidak disukainya.
Ane membuka jendela mobilnya ketika ia melihat beberapa teman Angga. Ane masih ingat wajahnya karna beberapa kali Angga pernah membawa teman-temannya ke rumah.
“Arka!” sekali teriak, Arka langsung menoleh pada Ane. Tahu kalau Ane yang memanggil.
“Eh, Kakak cantik. Tumben banget nih kesini? Mau ketemu gue ya?”
“Gigi lo botak! Mana Angga?” Tanya Ane ketus.
Arka menggaruk-garuk kepalanya. ia mengingat-ingat kemana perginya Angga. “Hmm. Bukannya tadi udah pulang ya, Kak?”
“Yeee. Mana gue tau. Yang satu sekolah sama dia kan lo.”
“Iya Kak Ane. Adik lo itu udah pulang.”
“Naik apa tuh anak?”
“Gak tau! Bus tronton kali.”
“Oke! Tengkyu.” Ucap Ane singkat dan ia langsung mengas mobilnya dengan kencang. Arka hanya bisa menggeleng-geleng kepalanya. walaupun baru beberapa kali bertemu dengan Ane, tapi Arka seperti bisa memaklumi sifat Ane barusan.
Ane semakin kesal. Sudah dijemput, pulang duluan lagi. Satu-satunya yang ia lakukan adalah kembali menelfon Raka dan menceritakan kekesalannya.
“Aku kesel banget sama dia. Pasti dia jalan sama si tante-tante itu deh.”
“Hei, kenapa? Tante-tante siapa?”
“Aku belum cerita ya sama kamu. Belum lama Angga ketahuan pacaran sama anak kuliahan. Papah ku tahu. Dia marah banget sama sama Angga. Dikasih mobil buat pergi ke sekolah, tapi malah buat antar jemput si pacarnya itu. Makanya sekarang Angga nggak dibolehin pakai mobil lagi. Aku deh disuruh jemput dia.”
“Kenapa nggak suruh supir yang jemput sih?”
“Ah, nggak tahu deh tuh Papah. Sekarang aku udah cape-cape ke sekolahnya, orangnya malah pulang duluan. Ngeselin banget kan.”
Ane terus menyetir mobilnya sambil terus menelfon. Tapi tiba-tiba pandangannya beralih pada sisi jalan yang sedang ia perhatikan. “Kayaknya aku lihat Angga.” Ucap Ane singkat lalu ia segera memarkirkan mobilnya pada sisi jalan.
Ane melihat Angga sedang makan bersama seorang cewek di sebuah foodcourt yang terlihat dari sisi jalan. Maka dari itu Ane buru-buru memarkirkan mobilnya dan pergi menemui Angga.
Angga begitu terkejut mengetahui jika Kakaknya berada disini. Begitupun teman yang bersama Angga. Ane langsung bertolak pinggang ketika tahu kalau yang ia lihat itu benar Adiknya.
“Gila! Bangus banget ya lo masih jalan sama nih orang.” Spontan Angga langsung bangun dari kursi yang didudukinya. Ia tahu Ane pasti akan terus berbicara dengan suara keras dan tidak akan perduli dengan orang-orang yang ada di sekitarnya.
“Oke. Kita bicarain di rumah, Kak.”
“Di rumah? Tapi di luar lo masih jalan sama nih cewek? Sekalian aja kita bicarain disini.” Ane semakin tidak perduli dengan orang-orang yang menatap ke arah mereka. Sedangkan Angga sebisa mungkin bersikap tenang. Benar-benar kakak beradik yang sangat memiliki sifat berbeda. Mungkin orang mengira kalau Ane adalah pacar Angga. Ane marah-marah karna melihat pacarnya jalan dengan wanita lain.
“Papah tuh udah ngelarang lo pacaran sama nih cewek.”
“Bisa nggak sih lo manggil dia pake nama. Dia punya nama, Kak. Namanya Arina.”
“Penting y ague tahu namanya?” Ane makin geram. Cewek bernama Arina terlihat sekali seperti sedang menahan emosi, tapi ia tetap duduk diam membiarkan Ane dan Angga berbicara. “Selain punya nama, punya apa lagi dia?” Ane tersenyum sinis. “Tapi kayaknya gue nggak yakin kalau cewek lo tang tuir ini punya malu.”
Arina menggebrak meja dan langsung bangun dari kursinya. “Eh lo kalau ngomong yang sopan ya? Yang nggak punya malu lo apa gue? Maki-maki orang di tempat umum.”
Pandangan Ane langsung berubah kepada Arina.
“Jadi menurut lo maki-maki orang di tempat ini disebut nggak tahu malu? Terus apa kabar sama lo yang macarin anak sekolah. Kelas satu SMA, woy!!!”
Arina mengepalkan tinjunya. Ingin rasanya ia menonjok wajah Ane yang terlihat sangat mengesalkan itu. Tapi ia harus bisa mengontrol diri. Di satu sisi, ia masih ingat kalau Ane adalah Kakak pacarnya.
“Emang nggak ada cowok seumuran lo apa yang bisa lo pacarin.” Ane kembali beralih pada Angga. “Lo lagi Ngga! Kenapa selera lo yang beginian sih? Udah abis cewek cantik di sekolah lo? Masa iya perlu gue kenalin lo sama salah satu temen gue? Tapi yang jelas seribu kali lebih bagus dari dia ya.”
“Kak, lo yang sopan dikit dong sama Arina. Dia tuh pacar gue. Gue juga nggak pernag ngusik kehidupan lo sama cowok lo.”
“Oh tentu saja, karna gue pacaran sama orang yang benar, nggak seperti lo.”
“Bisa nggak sih lo lebih sopan sedikit aja. gimanapun juga Arina lebih tua dari lo, Kak!”
Mendengar ucapan Angga barusan, Ane seperti mendapat sebuah gelitikan. “Hahaha. Nyadar ya lo kalau cewek lo tua.”
“Lo punya mulut di sekolahin nggak sih? Emang apa salahnya kalau gue pacaran sama Angga? Toh gue nggak main-mainin Angga. Gue sayang sama Angga.” Ucap Arina kesal. Hanya saja suara Arina tidak meledak-ledak seperti Ane.
“Mulut-mulut gue, kenapa lo yang sibuk? Udahlah lo nggak usah ngejar-ngejar adik gue lagi. Inget umur juga kali. Kalau lo ngerasa lebih tua dari gue ya seharusnya lo mikir, tindakan lo macarin cowok yang umurnya jauh dibawah lo itu bener apa nggak!”
Ucapan Ane terakhir sepertinya benar-benar menyakitkan hati Arina. Ia juga sudah tidak tahan dengan banyak pasang mata yang memandang kepadanya. Belum lagi orang-orang yang berbisik-bisik membicarakan mereka. Arina langsung pergi dengan mata yang berkaca-kaca. Sedangkan Ane, ia merasa kalau kata-kata yang diucapkannya tadi bukan masalah besar.
“Masuk mobil gue lo sekarang!” perintah Ane kesal.
“Nggak! Gue bisa pulang sendiri!”
“Heh! Lo tuh udah nyita waktu gue banyak ya! Gue tuh punya acara lagi selain ngurusin lo.”
“Gue nggak pernah minta lo ngurusin gue. Dan gue malah sangat amat berharap lo nggak pernag ngurusin hidup gue. Bahkan kalau perlu lo nggak usah ada di hidup gue!”
“Oke kalau mau lo begitu. Tapi lo nggak lupa kan kalau Papah akan sangat mendengarkan setiap perkataan Kakak lo yang cantik dan pintar ini. Kayaknya kalau lo masih ngelawan ada baiknya gue kasih saran ke Papah supaya mindahin lo ke Sydney sama Nenek ya.”
Angga terdiam. Ia merasa itu adalah sebuah ancaman untuknya. Tanpa perlawanan lagi ia segera berjalan ke mobil Ane yang terparkir tidak jauh darinya.

bersambung....

No comments:

Post a Comment